Sabtu, 06 Desember 2014

EFEK DEPOT-MEDROKSIPROGESTERON ASETAT PADA DEPRESI POST PARTUM


Abstrak:
Latar belakang : Depot-medroksiprogesterone acetate (DMPA) biasanya digunakan pada perempuan postpartum segera setelah melahirkan demi efektivitas yang lebih baik, digunakan merendahkan kadar estrogen tubuh. Belum jelas apakah  pemberian injeksi progesteron  yang mempengaruhi efek  pada serangkaian depresi postpartum (PPD), yang mana juga menjadi kecurigaan dipengaruhi oleh perubahan-perubahan hormon. Pada penelitian retrospektif ini , obyek yang ditentukan adalah apakah DMPA  diberikan segera setelah  post partum akan mempengaruhi perkembangan dari depresi postpartum.
Desain penelitian : Tinjauan retrospektif dari total 404  pasien yang terdaftar diarahkan untuk  mengunjungi  klinik pusat  setelah 6 minggu post partum,  yang mana  semua pasien ditanyakan secara rutin untuk menyelesaikan pemeriksaan Edinburg postnatal Depression Scale (EPDS). Skor rata-rata  pada pemeriksaan EPDS pada kunjungan-kunjungan tersebut dibandingkan pada pasien yang mendapatkan injeksi DMPA postpartum sebelum keluar dari rumah sakit, pada  pasien yang pernah diperiksa  dan pasien yang tidak menerima kontrasepsi hormon dengan menggunakan  tes - t  yang tidak berpasangan. Sebagai tambahan, perbandingan  wanita yang didiagnosis PPD dengan menggunakan skala  tersebut dibandingkan dengan tabel-tabel kemungkinan  yang bisa terjadi
Hasil : 55 perempuan yang menerima DMPA segera postpartum dibandingkan dengan 192 perempuan dengan tanpa kontrasepsi hormon setelah melahirkan. Kelompok yang memiliki paritas , ras dan cara melahirkan serta berat yang sama. Tetapi pada wanita yang mendapat injeksi DMPA secara bermakna  lebih muda ( 24.2 vs 26.2 tahun p=.03). rata-rata skor EPDS pada postpartum 6 minggu secara statistik tidak bermakna antara kelompok (5.02 vs 6.17), p=.16) 6 pasien (10.9%) yang menerima  DMPA segera postpartum didiagnosis dengan depresi postpartum berdasarkan skor EPDS lebih tinggi dari dan sama dengan 13, sementara 27 (14.1 %) pada kelompok perbandinggan  yang telah didiagnosis depresi postpartum (P=.88)
Kesimpulan : Pemberian DMPA segera setelah partus tidak menunjukkan predisposisi  pada wanita untuk menjadi depresi post partum
1.      Pendahuluan
Depot medroksiprogesteron asetat (DMPA) adalah kontrasepsi yang umum digunakan segera setelah partus, terutama  wanita yang menginginkan tetap bisa menyusui dan oleh karena itu harus memilih kontrasepsi  yang tidak ada estrogennya. Penggunaan  lama DMPA seperti yang telah digunakan  luas diseluruh dunia selama lebih dari 30 tahun dan di Amerika lebih dari 10 tahun telah menunjukkan amannya penggunaannya pada wanita, dapat ditoleransi , tetapi terdapat beberapa yang perlu diperhatikan yakni efek mood pada pasien, yang dicurigai adanya efek  gejala depresi.
Depresi postpartum mempengaruhi sekitar 10 % wanita, dan hal tersebut bermakna dalam memberikan gangguan aktivitas  pada  orang-orang yang baru menjadi ibu, termasuk  mempengaruhi ikatan emosional ibu dan bayi, masalah terhadap perkembangan bayi, stres pada ibu dan bahkan bisa sampai bunuh diri maupun pembunuhan bayi. Perubahan hormon  dicurigai berperan terhadap patogenesis terjadinya depresi postpartum, walaupun  tidak ada  faktor hormon khusus yang diidentifikasi sebagai agen dasar penyebab penyakit ini. Beberapa orang telah menggunakan terapi hormon untuk mencegah atau mengobati  gangguan mood.
Penelitian terhadap efek progesteron pada depresi postpartum masih terbatas dan sulit dimengerti. Pada suatu  percobaan acak terkontrol tahun 1998 dilakukan di Afrika Selatan, wanita yang  mendapat injeksi norethisterone enanthate vs  injeksi plasebo 48 jam setelah partus. Penelitian tersebut  menunjukkan bahwa pemberian  progestin sintetik dihubungkan dengan meningkatnya  resiko  depresi postpartum, jelasnya suatu penelitian pada tahun 2000 meneliti insersi Norplant dengan segera VS dengan penundaan postpartum pada postpartum remaja ditemukan bahwa penundaan insersi Norplan sebenarnya meningkatkan resiko depresi selama tahun pertama postpartum, walaupun demikian, beberapa ahli kontrasepsi merekomendasikan metode penundaan pemberian progesteron only untuk mengurangi resiko depresi postpartum sampai 6 minggu setelah melahirkan. Bagaimanapun terdapat data yang terbatas terhadap efek spesifik DMPA berhubungan dengan depresi postpartum. Obyektivitas penelitian ini diperiksa apakah ada atau tidak, pemberian progestin segera setelah melahirkan akan mempengaruhi  depresi post partum.
2.      Metode
Suatu penelitian retrospektif  klinik pusat kesehatan obstetri dan ginekologi  Universitas Ohio dilakukan, subyek terbatas pada  pasien-pasien yang telah diikuti selama minggu postpartum yang mengunjungi klinik dari tanggal 1 Novermber 2007 dan 30 Juni 2008, yang dilakukan pada waktu rentang tersebut untuk diteliti diklinik, pasien dikeluarkan dari sampel penelitian  jika mereka memiliki riwayat KJDR atau kematian bayi baru lahir, riwayat depresi atau kelahiran preterm, sebagaimana hal tersebut di masukkan pada faktor lain penyebab depresi post partum yang lebih tinggi.
Keterangan mengenai kontrasepsi postpartum, umur kehamilan dan keadaan umum anak yang berasal dari daftar postpartum standar. umur, paritas, cara melahirkan, berat dan ras yang juga ditentukan dari  daftar pasien. Sebagai tambahan, skor yang dicatat sebagai EPDS, suatu alat skrining  pada depresi postpartum bahwa seluruh pasien postpartum pada  suatu klinik ditanyakan secara rutin melengkapi ketika mereka hadir untuk kunjungan 6 minggu post partum. EPDS adalah 10  item kuesioner yang telah sah sebagai alat deteksi depresi selama periode postpartum. Setiap item pada skor EPDS 0,1,2 atau 3, jadi skor maksimum adalah 30. Skor lebih banyak dari dan sama dengan 13 adalah dipercaya untuk mengidentifikasi wanita dengan depresi postpartum.
Pasien yang menerima DMPA sebelum keluar dari rumah sakit dibandingkan kemudian dengan yang tidak dalam keadaan baru melahirkan atau kunjungan klinik postpartum. Pasien yang menggunakan kontrasepsi hormon yang lain selama interval ini dikeluarkan sesuai dengan waktu dimulainya dan heterogenitas dari kontrasepsi oral.  Skor EPDS dari kelompok ini adalah kemudian dibandingkan dengan menggunakan tes t untuk menentukan  apakah terdapat perbedaan pada skor rata-rata. Penelitian  yang dilakukan untuk mendeteksi suatu perbedaan 3 poin pada skor dengan 80 %  pada level signifikan .05, yang mana dibutuhkan terdapat paling sedikit 16 pasien pada setiap kelompok. Sebagai tambahan, proporsi wanita pada masing-masing kelompok didiagnosa dengan depresi postpartum dari skala ( skor lebih dari atau sama dengan  13 vs. lebih rendah dari 13) dibandingkan  melalui  tabel kemungkinan. Demografi dari 2 kelompok yang  ketika dibandingkan termasuk umur, paritas, ras, cara melahirkan dan berat bayi.

3.      Hasil
Tabel  keseluruhan 404 pasien klinik yang diteliti pada klinik Obgin  selama kunjungan 6 minggu postpartum antara tanggal 1 November 2007 – 30 juni 2008, yang ditinjau selama penelitian. Seluruh pasien  ditanyai untuk memenuhi seluruh nilai dari skor yang dicatat pada saat presentasi. Terlepas dari jumlah pasien, 254 pasien ditemukan memenuhi sarat untuk penelitian  yang berdasarkan kriteria ekslusi awal. Dari 150 pasien yang dikeluarkan dari penelitian, 82 pasien yang dikeluarkan karena persalinan preterm, 45 pasien  karena adanya riwayat depresi, 9  yang  karena KJDR atau kematian bayi baru lahir, dan 14   karena tidak mengisi lengkap formulir. Lebih lanjut 7 pasien yang  mana diresepkan progestin-only pills (norenthindrone) juga dikeluarkan dari penelitian, sebab tidak dapat ditentukan kapan pasien mulai memakai pil tersebut. Dari 247 pasien yang diteliti , 55 pasien menerima DMPA sebelum keluar dari RS setelah melahirkan, dan  192 pasien menerima DMPA tertunda sampai kunjungan RS selanjutnya dan tidak mendapatkan ligasi tuba. Mengilustrasikan karakteristik kedua kelompok ini, wanita yang menggunakan DMPA postpartum secara bermakna lebih muda dari grup yang tidak menerima DMPA.
Skor rata-rata  pada pasien yang menerima DMPA postpartum segera adalah 5.02, ketika dibandingkan dengan kelompok yang memiliki skor rata-rata 6.17. perbedaan tidak bermakna secara bermakna (=.16). sebagai tambahan, 6 (10.9%) dari 55 pasien  yang menerima DMPA segera didiagnosis dengan depresi postpartum berdasarkan skor EPDS lebih banyak dari dan sama dengan 13, pada 27 (14.1%) dari 192 pasien pada kelompok perbandingan didapatkan depresi postpartum. Perbedaan ini tidak lagi signifikan secara statistik.







Tabel 1.
Demografi Kelompok DMPA dan Kelompok kontrol yang tidak melahirkan
Karakteristik Kelompok
Grup DMPA
(n=55)
Kelompok Tanpa progesteron (n=192)
Nilai P
Rerata umur(SD),tahun
24.15(6.35)
26.23(6.14)
              .03
Rerata berat(SD),pon
179(47.9)
177(45.6)
               .77          

Paritas, n(%)
                                                                                       .97
Primipara
18.(32.7)
59(30.7)

Multipara
37(67.3)
133(69.3)

Metode melahirkan, n(%)
                                                                                       .31
Seksio sesar
12(21.8)
67(34.9)

Partus pervaginam
43(78.2)
125(65.1)

Ras, n(%)
                                                                                      .34
Asia
1(1.8)
8(4.2)

Kulit hitam
33(60)
91(47.4)

Hispanic/latino
2(3.6)
39(20.3)

Kaukasia
19(34.5)
53(27.6)

Tidak berespon
0(0)
1(0.5)

Status pernikahan, n(%)
                                                                                       .67
Menikah
12(21.8)
55(28.6)

Lajang
40(72.7)
133(69.3)

Janda
0(0)
1(0.5)

Pisah
1(1.8)
1(0.5)

Cerai
2(3.6)
2(1)


Walaupun pasien dengan riwayat depresi diekslusi dari analisis aslinya, suatu analisis terpisah dari kelompok ini dilakukan untuk menentukan apakah mereka bisa dimasukkan subyek gangguan mood efek dari progesteron. Sejumlah 15 orang dengan riwayat depresi ditemukan pada orang yang telah menerima injeksi DMPA sebagai pasien yang mendapat injeksi sebelum keluar rumah sakit, selanjutnya  lebih jauh 34 pasien dengan riwayat depresi yang menerima suatu formulir pengganti kontrol kelahiran atau tidak memiliki formulir kontrol kelahiran pada saat  keluar rumah sakit. Rata-rata skor EPDS pada pasien DMPA dengan  riwayat depresi adalah 9.47, grup perbandingan  memiliki skor EPDS  9.65, perbedaan tidak bermakna secara statistik (p=.94). sebagai tambahan ketika melihat kepada sejumlah pasien dengan riwayat depresi yang telah didiagnosis postpartum depresi berdasarkan Skor EPDS mereka, 5 (33%) dari pasien DMPA dan 15 (44%) dari pasien  pada kelompok alternatif yang memiliki skor EPDS 13 atau lebih (p=.78)
4.      Diskusi
Berdasarkan hasil penelitian retrospektif, DMPA bisa diberikan secara langsung postpartum dengan hasil bahwa dimulainya injeksi kontrasepsi tersebut tidak menyebabkan peningkatan jumlah pasien terdiagnosis  depresi postpartum. Tidak ada perbedaan bermakna yang ditemukan antara dua kelompok yang terdiagnosis depresi post partum  berdasarkan skor EPDS sama dengan atau lebih dari 13. Walaupun pengguna DMPA cenderung lebih muda daripada yang tidak menggunakannya, umur tidak diketahui sebagai faktor yang menyumbangkan  perkembangan kearah  postpartum depresi.
Penelitian ini, menunjukkan bahwa yang mengalami depresi dapat kembali normal, dan memiliki keterbatasan sebab membutuhkan pengenalan  dalam intepretasi hasilnya. Sebagai contoh penelitian ini terbatas oleh retrospektif alamiah dan kurangnya randomisasi dari  modalitas pengobatan. Skala Edinburg hanya satu indikator pengukur depresi, dan menggunakan alat diagnostik  yang berbeda mungkin menghasilkan hasil yang berbeda pula. Sebagai tambahan  penelitian  tidak dilakukan untuk mendeteksi perbedaan persentase jumlah pasien  yang terdiagnosis depresi postpartum,  yang mana akan  membutuhkan 246 pasien pada masing-masing kelompok. Hal ini tidak dua kali terhadap pembatas pada ketersediaan hasil-hasil sebelumnya. Pemunculan  suatu perbedaan pada diagnosis dari depresi postpartum mungkin lebih relevan secara klinik daripada perbedaan tunggal skor EPDS nondiagnosistik. Memiliki kumpulan subyek lebih banyak atau menggunakan  analisis prospektif mungkin akan mengungkapkan hasil yang berbeda, pada populasi kami skor lebih rendah pada pasien yang  menerima DMPA, sehingga hasil tersebut tidak dapat dipercaya walaupun  dilakukan pada suatu penelitian lebih besar akan menunjukkan peningkatan diagnosis depresi postpartum
Faktor lain yang mungkin bisa mempengaruhi hasil penelitian ini adalah fakta bahwa populasi penelitian  diambil dari  populasi klinik pada  pusat perawatan  yang besar. Populasi ini tidak perlu   populasi yang mewakili tipe obstetri, sebagai jumlah pasien yang besar dikirimkan pada klinik ini untuk perawatan pada kondisi yang resiko tinggi. Populasi klinik juga memiliki status sosioekonomi yang lebih rendah dari pasien yang didapatkan pada tempat pelayanan praktek dokter pribadi. Sehingga banyak pasien pada populasi klinik ini  memiliki stiuasi klinik yang  memiliki stres tinggi, termasuk kurangnya dukungan sosial terhadap status mereka sebagai imigran yang tidak memiliki keluarga  di Amerika, meskipun demikian, kejadian depresi postpartum  pada populasi kami dapat dibandingkan dengan prevalensi pada populasi umum.
Pada penelitian yang kami dapatkan  bahwa rerata umur pengguna DMPA lebih muda dari yang kelompok pembanding. Sejak DMPA membutuhkan sedikit usaha pemenuhan daripada bentuk hormonal lain dari kontrasepsi tanpa tubektomi postpartum, hal tersebut bisa menunjukkan  lebih sedikit wanita dewasa sebagai bentuk kontrol kelahiran. Yang mana secara statistik bermakna pada 2 tahun berbeda dengan kelompok-kelompok adalah mungkin tidak bermakna secara klinik.
Walaupun analisis subkelompok juga kembali normal pada pasien dengan riwayat  depresi biasa juga aman penggunaan DMPA postpartum, hasil ini harus di interpretasikan dengan dibawah pengawasan. Seperti yang diinginkan dari populasi ini, pasien-pasien ini diikuti untuk diharapkan memiliki rerata skor EPDS lebih tinggi secara bermakna dibandingkan dengan kelompok penelitian bermakna. Pada penelitian kami tidak secara adekuat  jalankan untuk menemukan perbedaan antar 2 kelompok antara pasien yang memiliki riwayat depresi, kami tidak mendapatkan  faktor-faktor  pengikut, seperti tingkat persalinan preterm yang lebih tinggi dan penggunaan obat antidepresi
Secara keseluruhan  tidak tampak efek apapun pada perkembangan  depresi postpartum dari DMPA postpartum. Idealnya suatu percobaan acak prospektif akan lebih informatif, tetapi tidak sama dengan bahwa wanita muda akan  secara acek lebih  sedikit dipercaya mendapatkan  kontrasepsi postpartum. Karena wanita menggunakan pil kontrasepsi progestin-only  dieksklusi, pada penelitian kami tidak dapat membuat pengaruh terhadap efek pil progestin only pada pembentukan gejala depresi postpartum. Penelitian yang lebih lanjut mungkin dapat mengklarifikasi apakah kontrasepsi progesteron dapat mempengaruhi pembentukan depresi postpartum. Walaupun berdasarkan temuan-temuan  peneltian, dokter klinik dapat melanjutkan pemberian kontrasepsi DMPA dengan percaya diri tanpa adanya ketakutan akan  mengakibatkan atau memperberat gangguan mood postpartum
5.      Referensi
(1)     Thomas DB, Ray RM. Depot-medroxyprogesterone acetate (DMPA) and risk of endometrial cancer. the WHO  Collaborative Study of Neoplasia and Steroid Contraceptive. Int.  J Cancer 1991; 186-90.
(2)     World Health Organization  Collaborative Study of Neoplasia and Steroid Contraceptive. Breast canscer and depot-medroxyprogesterone acetate; a multinational study. Lancet 1991; 338:833-8
(3)     Standford JL. Thomas DB. Depot-medroxyprogesterone acetate (DMPA) and risk of epithelial ovarian cancer. The WHO Collaborative Study of Neoplasia and Steroid Contraceptives. Inj J Cancer 1991:49:191-5

(4)     World Health Organization Collaborative Study of Neoplasia and Steroid Contraceptives. Depot-medroxyprogesterone acetate (DMPA) and risk of invasive squamous cell cervical cancer. contraception 1992; 45:299-312.

Minggu, 17 Februari 2013

seksualitas dalam kehamilan


SEKSUALITAS DALAM KEHAMILAN

1.     Pendahuluan
Hak seksual termasuk dalam kebebasan seluruh individu untuk mencapai standar kesehatan tertinggi dalam hubungannya dengan seksualitas dan untuk mendapatkan kepuasan, keamanan, dan kesenangan dalam kehidupan seksual (definisi WHO, 2002). Fungsi seksual adalah aspek yang sah dalam dunia kedokteran yang digambarkan secara jelas dalam deklarasi hak seksual diatas. Penelitian klinik dan sampel dari berbagai Negara menegaskan bahwa banyak laki-laki dan perempuan menyatakan kehidupan seksual adalah salah satu hal yang penting. Memberikan informasi kepada pasien tentang perubahan seksual normal yang terjadi selama masa pubertas, kehamilan, postpartum, menopause, dan usia tua adalah salah satu bagian rutin dalam obstetri dan ginekologi. Hal yang paling efektif dalam mengintegrasikan fungsi seksual pasien adalah dengan rutin bertanya mengenai riwayat seksual pasien. 1,2,3
Di dunia ini manusia dan hewan akan lenyap dari permukaan bumi apabila mereka oleh alam tidak dibekali dengan naluri untuk berkembang biak demi untuk meneruskan keturunan. Dorongan/ keinginan untuk bersetubuh disebut libido seksualis (nafsu birahi, nafsu syahwat). Ini dapat disamakan dengan keinginan untuk makan (lapar) dan minum (haus). Seksualitas mempunyai arti jauh lebih luas dari istilah koitus. Seksualitas adalah reaksi dan tingkah laku seksual yang didasari dan dikuasai oleh nilai – nilai kehidupan manusia yang lebih tinggi, tidak seperti pada hewan. Hewan bersetubuh semata – mata atas dorongan naluri birahi. Pada manusia seksualitas dapat dipandang sebagai pencetusan dari hubungan antar individu, di mana daya tarik rohaniah dan badaniah menjadi dasar kehidupan bersama antara dua insan manusia. Dengan demikian dalam hubungan seksual tidak hanya alat kelamin dan daerah erogen yang memegang peranan, melainkan juga psikik dan emosi.  4
Respon seksual normal bervariasi dari satu wanita ke wanita lainnya sepanjang kehidupan wanita. Seorang dokter harus menyadari mengenai norma seksual dari pasien mereka, sikap, dan peduli terhadap kehidupan seksual mereka. Memulai komunikasi terbuka dengan pasien mengenai kehidupan seksual mereka membuat dokter dapat memberikan nasihat mengenai masalah seksual sebagai bagian dari kesehatan reproduktif. Selain itu, seorang dokter harus mengerti perubahan yang terjadi pada kehidupan seksual wanita selama masa hidupnya. Aktivitas seksual selama kehamilan mungkin dapat membahayakan fetus dan kehamilan. 2,3

2.     Pengaturan Perilaku Seksual Pada Wanita
Kehidupan seksual pada anak remaja di Amerika serikat telah meningkat selama 20 tahun terakhir. Usia rata – rata untuk senggama pertama kali baik pria dan wanita adalah 16 tahun. Pada usia 19 tahun, sekitar ¾ wanita telah bersenggama. Sebuah survei terhadap pria dan wanita usia antara 18-59 tahun di USA dilaporkan bahwa kebanyakan pria dan wanita telah puas dengan kehidupan seksual mereka bahkan apabila frekuensinya tidak sering. Sekitar 47% dari wanita memiliki aktivitas seksual dengan pasangan mereka beberapa kali per bulan, ditaksir 31% dari mereka punya aktivitas seksual 2-3 kali per minggu, dan 7% lebih dari 4 kali per minggu. Dua belas persen dari wanita beraktivitas seksual beberapa kali dalam setahun, dan sekitar 3% tidak pernah beraktivitas seksual. Kebanyakan pria dan wanita menyatakan bahwa mereka adalah monogami. 2
Frekuensi hubungan kelamin (koitus) sangat bervariasi: rata – rata 1-4 kali seminggu bagi orang-orang berumur 30-40 tahun. Koitus menjadi makin jarang dengan meningkatnya umur. Pada wanita libido meningkat dalam masa reproduksi sampai dicapai umur 35 tahun, kemudian menetap sampai umur 45 tahun, dan dapat bertahan sampai jauh setelah menopause. Pada pria puncak libido dicapai pada umur 20-30 tahun dan libido bertahan sampai umur 50 tahun, kemudian berangsur kurang, akan tetapi tetap ada sampai umur lanjut. 4
Komponen perilaku seksual, dorongan bersenggama dan rangkaian kejadian yang berperan dalam diri pria dan wanita yang menyebabkan aktivitas senggama diregulasi sebagian besar dalam sistem limbik dan hipotalamus. Istilah lobus limbik atau sistem limbik diberikan pada bagian otak tepi jaringan korteks sekeliling hilus dari hemispherium serebri yang terdiri dari : amygdala, hypocampus, dan nuclei septal. Bagian-bagian ini dihubungkan dengan korpus mamilare dan sirkuit tertutup yang rumit disebut sirkuit Papez5.
Korteks limbik merupakan bagian korteks serebri yang secara filogenik paling tua dan secara histologist dinamai dengan allokorteks dan jukstallokorteks, sedang bagian nonlimbik lainnya dinamai neokorteks. Percobaan rangsangan dan ablasi bagian nonlimbik lainnya dinamai neokorteks. Percobaan rangsangan dan ablasi menunjukkan bahwa sistem limbik ini berperan utama dalam penciuman dan perilaku makan serta bersama dengan hipotalamus berperan dalam mengatur perilaku seksual, emosi kemarahan, perasaan takut dan motivasi. Implantasi sejumlah kecil estrogen di dalam hipotalamus anterior menyebabkan birahi pada tikus betina yang telah diooforektomi sedang implantasi bagian lain otak dan di luar otak tidak mempunyai efek ini. Sehingga jelas sejumlah unsur dalam hipotalamus sensitif terhadap estrogen yang bersirkulasi untuk memulai perilaku seksual5.
Pada manusia, neokorteks bertumbuh cepat sekali meninggalkan sistem limbik sehingga sekalipun secara struktur tidak ada hubungan sama sekali tetapi fungsi seksual telah diensefalisasi secara luas dan dipengaruhi oleh faktor psikis dan social. Rangsangan seksual pada wanita bergantung pada rangsangan psikis dan lokal. Rangsangan psikis merupakan dorongan seksual yang sukar ditafsirkan dan dipengaruhi juga oleh hormon seks dan hormon korteks adrenal. Pengaruh pendidikan dan lingkungan sangat besar, masyarakat sering beranggapan bahwa seks merupakan sesuatu yang harus disembunyikan, tabu, bahkan tidak bermoral dengan akibat wanita sering menutupi naluri alamiahnya dengan alasan budaya.  Perangsangan lokal pada wanita terjadi karena sentuhan, penekanan atau rangsangan lain pada daerah perineum, organ seksual dan saluran kemih, klitoris merupakan area sangat sensitif dan mempunyai jaringan erektil yang hampir identik dengan penis. Impuls sensoris seksual melalui nervus pudendus, pleksus sakralis ke medulla spinalis lalu ke serebrum. Sedang jaringan erektil diatur oleh saraf parasimpatis yaitu nervi erigentus yang juga menyebabkan sekresi kelenjar bartholini bilateral sehingga timbul pelumasan. Bila rangsangan lokal mencapai intensitas maksimum dan disokong isarat psikis yang sesuai dari serebrum akan timbul refleks yang disebut orgasme. Otot perineum kontraksi berirama dan uterus berkontraksi akibat keluarnya oksitosin dari hipofisis anterior. Kesan seksual yang mendalam timbul melalui serebrum sedemikian rupa sehingga menimbulkan perasaan puas dan ditandai oleh perasaan tenteram dan damai yang disebut resolusi5.
      
3.     Fisiologi seksual wanita
Terdapat Beberapa fase dari respon seksual wanita, diantaranya keinginan, kebangkitan, dan orgasme diikuti oleh relaksasi. Bagaimanapun, pada wanita fase – fase tersebut bervariasi antara satu dengan yang lain. Pada wanita yang sudah memiliki pasangan hidup, kebanyakan wanita memulai aktivitas seksual dengan pasangan mereka atau menerima ajakan pasangan mereka tanpa adanya keinginan seksual terlebih dahulu. Penelitian kualitatif telah menjelaskan banyak alasan seorang wanita dalam menerima ajakan seksual termasuk kedekatan emosional dengan pasangan mereka, suasana romantis, dan alasan yang lebih spesifik adalah alasan erotis. Alasan lainnya termasuk ingin meraih perasaan yang lebih baik, lebih normal, lebih dicintai, dan lebih berkomitmen dengan hubungan mereka. Keinginan seksual, contohnya fantasi seksual, pengalaman positif dari hubungan seksual, dan kebutuhan secara spontan adanya pasangan seksual atau stimulasi seks, memiliki frekuensi bervariasi diantara wanita. 1
                        Daerah-daerah erogen tubuh ialah daerah-daerah yang dapat menimbulkan rasa erotik nikmat apabila dirangsang dengan sentuhan-sentuhan. Daerah-daerah erogen wanita terdapat di kuping bagian bawah, tengkuk leher, mulut, bibir, lidah, payudara, puting susu, bahu, tulang punggung, bokong, daerah sekitar pusat, bagian dalam alat kelamin, mons pubis, dan perineum. Pada pria daerah-daerah erogen itu letaknya terutama di mulut, payudara, bagian dalam paha, dan skrotum4.
Klitoris adalah bagian paling sensitif pada wanita dan stimulasinya akan menghasilkan hasrat seksual yang lebih tinggi dan orgasme yang lebih meningkat. Bagaimanapun, banyak wanita membutuhkan stimulasi nonfisik dan nongenital terlebih dahulu sebelum stimulasi klitoris dapat mereka nikmati. Hilangnya keinginan seksual, stimulasi langsung terhadap klitoris dapat menjadi tidak menyenangkan dan bahkan dapat menimbulkan nyeri. Area sensitif lainnya pada wanita termasuk puting susu, payudara, labia, daerah kulit pada umumnya, dan vagina. 1/3 bagian dalam vagina berespon terhadap sentuhan, 2/3 luar sensitif terutama terhadap tekanan. 1,2
            Rangsangan seksual menurut urutan terjadinya dibagi dalam 4 masa yaitu : 4
1.      Masa rangsangan (excitement phase)
2.      Masa dataran tinggi (plateau phase)
3.      Masa orgasme (orgasmic phase)
4.      Masa peredaan (resolution phase)
Masa rangsangan terjadi sebagai akibat dari rangsangan tubuh atau rangsangan psikis. Ini merupakan masa yang paling panjang dan lamanya dapat diatur menurut kehendak yang bersangkutan, bahkan dapat dihentikan: apabila rangsangan diteruskan dan tegangan meningkat, maka masa rangsangan ini beralih ke masa berikutnya, yaitu masa dataran tinggi. Plateau phase ini dengan spontan beralih ke masa orgasme yang singkat, yang pada pria disertai penyemprotan air mani dari uretra (ejakulasi). Masa berikutnya adalah masa peredaan (resolution phase) yaitu masa kembali ke dalam keadaan semula. Jikalau rangsangan diteruskan setelah orgasme, maka tampak perbedaan yang nyata antara wanita dan pria. Wanita dapat mengalami orgasme lagi pada setiap saat dalam masa resolusi bahkan sampai beberapa kali dalam satu siklus. Orgasme lagi dalam masa peredaan tidak mungkin pada pria ; masa resolusi harus lewat sepenuhnya. Jadi setelah ejakulasi pria mengalami masa refrakter, yaitu pria memerlukan jangka waktu tertentu (sampai selesainya masa peredaan) sebelum ia masuk lagi ke dalam masa dataran tinggi yang baru sebagai persiapan untuk orgasme kedua. 4

 



Gambar 1. Fisiologi reaksi seksual wanita4
4.  Efek Hormon Terhadap Perilaku Seksual
              Dalam mammalia nonprimata, pembuangan gonad menyebabkan dikemudian hari terjadi penurunan atau tidak adanya aktivitas seksual. Suntikan hormon gonad ke hewan yang dikastrasi akan menghidupkan kembali aktivitas seksualnya. Testosteron dalam hewan jantan dan estrogen dalam betina mempunyai efek yang paling besar. Progesteron dalam dosis besar juga efektif dalam wanita dan dalam dosis kecil akan meningkatkan efek estrogen untuk menimbulkan aktivitas seksual. Pada wanita dewasa ooferoktomi tidak menyebabkan penurunan libido atau kemampuan seksual. Wanita pascamenopause tetap dapat secara kontinu melakukan hubungan seksual tanpa banyak perubahan dibandingkan pola sebelumnya. Sifat menetap ini kemungkinan karena sekresi steroid dari korteks adrenal yang diubah menjadi estrogen atau bisa juga karena lebih besarnya ensefalisasi fungsi seksual pada manusia sehingga faktor psikis dan social lebih berperan dalam mempertahankan perilaku seksual, Tetapi terapi dengan hormon seks akan meningkatkan minat dan dorongan seksual pada manusia5.   
5.   Siklus respon seksual
Respon seksual diperantarai oleh kompleks fisiologis, diantaranya : interpersonal, lingkungan, dan faktor biologis (hormonal, vaskuler, muskuler, neurologis). Fase inisial dari siklus respon seksual dimulai dari keinginan, tetapi pada kebanyakan wanita, terutama yang sudah memiliki hubungan jangka panjang dipengaruhi oleh faktor lain selain keinginan seksual. Keinginan dan kebangkitan seksual saling mempengaruhi satu sama lain. Kepuasan seksual dapat dicapai apabila seorang wanita dapat fokus, kesenangan mereka berlanjut, durasi dari stimulasi berlangsung lama, dan tidak ada hal – hal yang dapat mengganggu (nyeri atau disfungsi seksual dari pasangan mereka). Respons seksual bersifat sirkuler, tiap fase saling mengikuti (Keinginan akan diikuti oleh kebangkitan seksual, dan kebangkitan seksual yang tinggi akan diikuti oleh orgasme). Kebangkitan dicetuskan pertama kali oleh peningkatan motivasi untuk merespon stimulasi seksual dan untuk menerima stimulasi erotis lebih tinggi. 1,2
Keinginan seksual diawali oleh motivasi yang kuat untuk berhubungan seksual. Perasaan ingin kemungkinan distimulasi oleh rangsangan internal (fantasi, ingatan, perasaan seksual yang bangkit) dan rangsangan eksternal (Pasangan yang menarik), isarat seksual dan bergantung pada fungsi neuroendokrin yang adekuat. Multipel neurotransmitter, peptide, dan hormone yang mencetuskan keinginan dan kebangkitan subyektif seksual. Substansi yang mencetuskan respons seksual termasuk norepnefrin, dopamine, oksitosin, dan seroronin. Prolaktin dan GABA menghambat respon seksual. Peptida dan neurotransmitter dimodulasi oleh hormon seks. Bagaimanapun, telah jelas bahwa faktor biologis tidak bertindak secara independen dari faktor lingkungan, penemuan pada manusia sama dengan yang ditemukan pada hewan. Dopamin dan progesteron bertindak pada reseptor di hypothalamus, keduanya menyebabkan peningkatan pada kebiasaan seksual pada tikus betina yang mendapat oophorectomy dan memperoleh estrogen. 2
Pada wanita, ketertarikan seksual dipengaruhi oleh mind set psikologis, kepercayaan, ekspektasi, orientasi seksual, pilihan, dan kehadiran lingkungan yang erotis dan aman. Keinginan seksual, ketertarikan, dan kemampuan untuk bangkitan seksual kebanyakan sangat dipengaruhi oleh kesehatan mental dan perasaan terhadap pasangan. Kedua hal tersebut baik secara umum maupun spesifik akan berpengaruh terhadap interaksi seksual. Keinginan seksual juga dipengaruhi oleh kecapekan; sebagai hasilnya, hubungan seks yang terlambat saat malam hari biasanya tidak terlalu menarik pada wanita yang sibuk. Penyakit kronis juga akan mengurangi keinginan dan kebangkitan seksual. 2
Kesenangan subyektif dan perasaan erotik yang mengiringi adalah perubahan fisiologik yang terjadi selama masa kebangkitan seksual. Perubahan – perubahan itu termasuk pembengkakan alat genital; peningkatan lubrikasi vagina; pembesaran payudara dan ereksi dari putting susu; peningkatan pada sensitivitas kulit; perubahan pada detak jantung, tekanan darah, tonus otot, pernapasan, suhu tubuh; kulit yang berbintik; kemerahan akibat vasodilatasi pada daerah dada, payudara, dan wajah. Dengan stimulasi seksual, aktivitas otak pada hipotalamus dan area lain yang akan meningkatkan respon genital akan diaktifkan, pencetusan sistem saraf autonom sehingga terjadi peningkatan aliran darah di vagina. Vasodilatasi dari arteriol di bagian plexus submukosa dari vagina meningkatkan transudasi dari cairan interstisiel, yang akan bergerak dari kapiler diantara ruang interseluler epitel ke lumen vagina. Secara bersama – sama, sistem saraf autonom mengakibatkan relaksasi dari sel otot polos di klitoris dan labia, menyebabkan pembengkakan klitoris dan vasodilatasi dari labia. Penelitian imunohistologik saat ini mengindikasikan nervus yang berisi nitrat oxide hadir pada kulit alat genital yang menutupi klitoris dan labia. 2
Dengan bangkitan seksual, perubahan fisik yang dapat terjadi meliputi peningkatan tekanan darah, detak jantung, tonus otot, frekuensi napas, dan suhu. Selain itu, vagina menjadi lebih panjang, membengkak, dan dilatasi, uterus akan berelevasi keluar dari rongga pelvis. Dengan peningkatan stimulasi seksual, vasokongesti akan mencapai intensitas maksimum. Pada alat genital, labia akan menjadi lebih bengkak dan berwarna merah kegelapan dan 1/3 bagian dalam vagina menjadi bengkak dan lebih tipis, klitoris menjadi lebih bengkak dan berelevasi hingga posisi lebih dekat dari symphisis pubis, dan uterus berelevasi secara maksimal. Pada wanita diketahui bahwa faktor – faktor seperti sikap terhadap seks, perasaan terhadap pasangan, pengalaman seksual sebelumnya, lama hubungan dengan pasangan, dan terutama kesehatan mental dan emosional lebih kuat dalam menginisiasi keinginan dan bangkitan seksual dibanding faktor faktor biologis yang telah diteliti sejauh ini. 1, 2
Hubungan neurobiologis pada bangkitan seksual masih belum diketahui secara pasti tetapi vasokongesti dari genital akan meningkat terjadi setelah stimulus erotis kedua. Saraf parasimpatis melepaskan nitrous oxide dan vasointestinal polipeptida(VIP) yang memediasi terjadinya vasodilatasi. Asetilkolin (Ach) menghambat mekanisme noradrenergic yang mengakibatkan vasokonstriksi dan berperan pada pelepasan nitrous oxide dari endothelium. Sistem saraf simpatis, parasimpatis dan fungsi sistem somatik kurang berfungsi secara independen seperti yang telah dijelaskan sebelumnya. Komunikasi telah diidentifikasi antara nervus cavernosus ke klitoris berisi nitrous oxide dan bagian distal dari saraf somatik (dorsal) dari klitoris dari nervus pudendus. Sistem saraf simpatis pelvis melepaskan noradrenaline dan adenosin trifosfat, tetapi dengan pelepasan dari Ach, nitrous oxide, dan VIP. Nitrous oxide adalah neurotransmitter utama yang berperan pada pelebaran vulva. Pada vagina, VIP, nitrous oxide, dan neurotransmitter yang tidak teridentifikasi juga berperan. 2
Orgasme dideskripsikan sebagai perasaan senang yang sangat tinggi akibat sensasi seksual. Fisiologi dari orgasme belum diketahui secara jelas, namun meliputi respon miotonik dari otot. Refleks kontraksi yang ritmik dari otot – otot sekitar vagina dan anus terjadi. Kontraksi uterus juga dirasakan oleh banyak wanita selama orgasme, dimana wanita yang pernah merasakan hal tersebut akan merasakan orgasme yang berbeda setelah dilakukannya histerektomi. Kebanyakan wanita dengan mudah merasakan orgame dengan stimulasi langsung terhadap klitoris. Kontak yang lebih banyak dengan klitoris dimungkinkan saat kontak antara pubis dengan pubis setelah laki – laki mengalami ejakulasi dan ukuran penis menjadi berkurang. Stimulasi dari payudara, ciuman dan stimulasi klitoris selama fase pemanasan adalah penyebab lain timbulnya perasaan orgasme. Seorang wanita dapat mengalami multipel orgasme selama satu kali siklus seksual dan dapat melanjutkan aktivitas seksual tanpa adanya periode refrakter seperti halnya pada pria. 1,2
Setelah orgasme, wanita merasakan perasaan relaksasi dan tenang. Penurunan gradual dari pelebaran pelvis berbeda dengan penis yang menjadi tidak ereksi pada pria. Perubahan nongenital yang terjadi selama bangkitan seksual akan kembali seperti semula. Tubuh akan kembali pada situasi istirahat setelah 5-10 menit. Dengan stimulasi yang lanjut, responnya dapat berlanjut pula. Wanita yang senang dengan bangkitan seksual tanpa orgasme dilaporkan tidak mengalami fase resolusi. 1,2
6.  Perubahan Faal yang Terjadi Selama Kehamilan
Selama kehamilan terjadi perubahan besar dalam diri seorang wanita. Berat badan naik kurang lebih 0,5 kg per minggu setelah trimester I dengan kenaikan total 12,5 kg. Pertambahan berat badan ini meliputi berat janin 3,5 kg , plasenta 0,5 kg , cairan amnion 1 kg, jaringan lemak 3,5 kg, dan pertambahan cairan plasma maupun interstitial sebesar 3 kg6.
Uterus membesar akibat pengaruh hormon estrogen dan progesterone sampai umur kehamilan 3 bulan dan terus membesar sesuai dengan membesarnya janin di dalamnya. Uterus tidak hamil beratnya 30 gram dan besarnya kira-kira seperti telur ayam. Pada kehamilan 12 minggu kira-kira sebesar telur angsa dan mulai dapat diraba dari luar di atas simfisis, pada kehamilan 16 minggu sebesar kepala bayi diantara simfisis dan pusat, pada kehamilan 24 minggu tepat di atas pusat, pada kehamilan 40 minggu turun kembali 3 jari dibawah prosessus xiphoideus6.
Serviks uteri juga mengalami perubahan, kelenjar serviks bersekresi lebih banyak sehingga wanita hamil mengeluh keputihan. Keadaan ini sampai batas tertentu masih merupakan hal fisiologis. Vulva dan vagina menjadi merah kebiruan akibat hipervaskularisasi. Payudara akan membesar dan tegang, putting susu membesar, tegak, dan lebih hitam. Selama kehamilan tonus otot traktus digestivus menurun sehingga motilitas berkurang dan timbul rasa mual dan muntah. Makanan menjadi lebih lama di dalam lambung dan usus. Hal ini memang baik untuk resorbsi makanan tetapi dapat menimbulkan konstipasi. Pada traktur urinarius, kandung kencing tertekan oleh uterus yang mulai membesar sehingga timbul perasaan sering ingin kencing. Keadaan ini akan menghilang sendiri dengan tuanya kehamilan setelah uterus keluar dari rongga panggul. Pada akhir kehamilan bila kepala janin mulai masuk pintu atas panggul keluhan sering kencing akan timbul lagi6.
7.  Perubahan Hormon Seks Selama Kehamilan
a.  Progesteron
            Sekresi progesteron dan estrogen meninngkat terus selama kehamilan kecuali hanya pada saat plasenta mengambil alih korpus luteum pada usia kehamilan 6 minggu dimana progesteron sedikit turun. Produksi progesteron dalam sehari kurang lebih 250 mg dengan kadar plasma 10 kali lebih besar dari fase luteal wanita tidak hamil. Produksi progesteron ini tidak tergantung pada janin dan tidak berguna untuk mengetahui kesejahteraan janin. Progesteron sangat vital dalam memelihara kelangsungan kehamilan. Kekurangan hormon ini pada kehamilan awal dapat menyebabkan keguguran dan pemberian progesteron antagonis akan menginduksi abortus7.
b.  Estrogen
            Estrogen selama hamil meningkat 100 kali lebih besar disbanding fase luteal. Ada 3 macam estrogen yang diproduksi yaitu estradiol, estriol, dan estron, kekuatan estradiol 12 kali kekuatan estron dan 80 kali dari estriol sehingga estradiol merupakan komponen estrogen yang paling utama, Berbeda dengan progesteron, produksi estrogen oleh plasenta tergantung janin karena produksinya memerlukan interaksi antara ibu, plasenta, dan adrenal janin. Estrogen terutama berperan dalam pertumbuhan iterus dan peningkatan darah ke uterus melalui kerja vasodilator lokal. Selain itu, estrogen dan progesteron juga memicu pertumbuhan payudara7.
8.  Perkembangan seksual selama kehamilan
Pada trimester pertama terjadi peningkatan volume darah yang mengakibatkan pembengkakan jaringan khususnya pada payudara dan organ pelvis. Payudara yang besar dan tegang memang menarik tetapi bila menimbulkanrasa nyeri bila dipegang, justru menganggu dan menurunkan gairah seksual. Vagina menjadi peka dan tidak nyaman ketika dilakukan penetrasi penis. Timbul pula keluhan lain yang menganggu seperti mual, muntah, lelah, sering kencing yang semuanya akan menurunkan gairah seksual. Bau badan suami atau bau napas suami yang biasanya tidak menganggu kini dapat membuat mual dan hal ini menurunkan nafsu seksual. Emosi menjadi labih sehubungan dengan keinginan untuk banyak tidur dan istirahat juga adanya ambivalensi dan keraguan dalam memutuskan kapan waktu yang tepat untuk hamil, kesiapan menjadi ibu, persiapan materi. Selain itu, penurunan kegiatan seksual dapat timbul akibat ketakutan senggama dapat membahayakan janin8.
Pada trimester kedua, umumnya merupakan periode yang lebih nyaman dibandingan dengan trimester pertama. Pembesaran payudara dan vaskularisasi meningkat pada daerah vagina dan labia kini dapat meningkatkan kenikmatan seksual dan kualitas orgasme. Secara psikologi, dengan membesarnya janin timbul perasaan bahagia karena tubuhnya merupakan sumber cinta kasih berdua. Tapi ada pula ibu yang merasa khawatir dengan janinnya selama bersenggama, kontraksi uterus sewaktu orgasme menyebabkan bradikardi dan penurunan gerakan janin yang diikuti dengan periode hiperaktivitas. Meskipun dinyatakan tidak berbahaya, namun menimbulkan kesulitan untuk merasa tenang sewaktu bersenggama8.
Pada trimester ketiga, timbul keluhan yang dapat mengurangi nafsu seksual dan frekuensi senggama seperti nyeri ulu hati, kaki sering kejang, rasa berat pada perut, keluarnya air susu, dan kontraksi Braxton Hicks. Tetapi ada pula wnaita yang orgasme dan merasakan pengalaman seksual yang lebih hebat, bahkan ada yang baru pertama kali selama hidupnya mencapai orgasme pada hamil tua ini. Pada saat ini beberaoa wanita merasa malu dengan penampilannya yang gemuk, perut membesar, dan dirasakan tidak menarik, sehingga menurunkan keinginan bersenggama8
Umumnya, keinginan seksual wanita tidak berubah atau menurun secara drastis pada trimester pertama kehamilan, dan akan menurun secara tajam pada akhir trimester ketiga. Kondisi ini bervariasi antara satu wanita dengan wanita lainnya terutama di trimester kedua. Keinginan seksual pria umumnya tidak berubah hingga akhir trimester kedua yang akan menurun secara tajam. Pada kebanyakan pasangan, pria memperlihatkan inisiatif seksual dibanding wanita. Aktivitas koitus wanita selama kehamilan kadangkala dimotivasi oleh keinginan untuk memuaskan pasangannya9.
Aktivitas koitus selama kehamilan tidak mengalami perubahan yang terlalu mencolok pada trimester pertama, bervariasi pada trimester kedua, dan akan menurun secara tajam pada trimester ketiga. Kebanyakan pasangan melakukan pemanasan hingga bulan ketujuh, dengan aktivitas koitus sebanyak setengah hingga ¾ pasangan pada bulan kedelapan, dan sekitar 1/3  pasangan pada bulan kesembilan. Sekitar 10% wanita tidak melakukan koitus sejak kehamilan didiagnosis. Posisi pria diatas menurun selama kehamilan dan posisi lainnya dilakukan lebih sering (posisi menyamping). Pada trimester keempat dan kelima, aktivitas koitus terjadi kira-kira 4-5 kali selama sebulan9.
Sebelum kehamilan, 76-79% wanita menyukai penetrasi (7-21% wanita tidak menyukai penetrasi). Pada trimester pertama, hal ini akan menurun sekitar 59% ; pada trimester kedua akan meningkat hingga 75-84%; dan pada trimester akhir akan menurun kembali sekitar 40-41%9.

9.  Faktor yang Mempengaruhi Perilaku Seksual Selama Kehamilan
a.  Aspek sosial
            Faktor psikologis, sosial, dan budaya sangat mempengaruhi pola kehidupan seksual selama kehamilan. Konflik dan perasaan bersalah akan timbul bila aktivitas seksual hanya bertujuan untuk membuat keturunan. Banyak wanita yang tidak lagi bergairah karena merasa dirinya tidak menarik. Perubahan fisik menyebabkan dia berfikir bahwa dia tidak lagi seksi dan menjadi gendut. Persepsi ini terus membayang pada wanita tersebut sehingga suaminya menjadi merasa kesepian dan terasingkan. Si istri menjadi mudah tersinggung bila suaminya hanya memperhatikan dirinya sendiri dan kebutuhan seksualnya dari pada perhatian terhadap pertumbuhan janin dalam perutnya. Bila kebutuhan seksualnya timbul justru istri merasa aneh dan khawatir dianggap abnormal oleh suaminya. Dianggapnya seorang wanita yang sedang hamil tidak seharusnya menikmati seksual tetapi lebih memusatkan dirinya menjadi seorang ibu. Selama berhubungan senggama seorang wanita hamil membayangkan dirinya kotor dan mereka sedang melakukan perbuatan yang salah. Jadi secara psikologi kehidupan seksual selama kehamilan dipengaruhi bagaimana persepsi terhadap kehamilannya dan perubahan tubuhnya8.
b.  Posisi senggama waktu hamil
            Uterus yang semakin membesar sesuai dengan besarnya kehamilan meneybabkan beberapa pasangan harus mengubah teknik bersenggama untuk mengurangi kecanggungann dan memungkinkan penetrasi penis yang dalam. Sebagai contoh, posisi yang paling umum yaitu posisi misionaris dimana lelaki tidur di atas wanita sekarang menjadi sangat tidak nyaman. Tubuh suami dapat membebani istri sehingga menimbulkan rasa tidak nyaman juga menimbulkan kekhawatiran akan mencederai janin yang membuat perasaan tidak tenang selama bersenggama. Beberapa posisi dianjurkan agar suami tidak menekan perut seperti posisi berbaring miring berhadapan , posisi dengan istri berada di atas suami, posisi dengan suami memeluk dan melakukan penetrasi dari belakang, istri berbaring di tepi ranjang sedang suami berdiri. Pasangan suami istri sebaiknya mau menyesuaikan diri dengan sabar8.
Beberapa posisi yang baik dianjurkan untuk kehamilan adalah :10
·         Women on top (she goes up)

·         Side by side (down side)


·         Spooning (man behind women, rear entry)

·         Rear entry (dog style)

·         Edge of the bed
c.  Umur dan paritas
            Wilkerson & Bing melaporkan bahwa wanita yang setelah berumur baru hamil karena sebelumnya menunda kehamilan untuk mengejar karir dan kemudian setelah siap memutuskan hamil akan lebih mantap hubungannya dengan suami termasuk dalam hal senggama.Tetapi ada pula wanita yang menjadi menyesal karena merasa terjebak dengan kehamilannya sehingga timbul perasaan negatif yang menyebabkan kurang menyukai kehamilannya8.
d.  Budaya
            Semua budaya mempunyai banyak peraturan dan larangan yang berhubungan dengan perilaku seksual selama hamil8.
e.  Suami
            Pengetahuan tentang perilaku seksual suami selama istrinya hamil masih sangat kurang. Penelitian yang ada biasanya besar karena sampel penelitian hanya pasangan yang mempunyai masalah saja. Penerimaan suami terhadap kehamilan dan kesadaran bahwa janin adalah persatuan sperma dan sel telur akan mendatangkan perasaan kepabakan dan tampaknya hal ini mendorong untuk mempertahankan rumah tangga dan kemesraan hubungan suami istri. Beberapa suami merasakan meningkatnya gairah seksualnya selama kehamilan sejalan dengan perasaan intim, dekat, dan kebahagiannya8.

10.  Keuntungan dan kerugian aktivitas seksual selama kehamilan
Pada saat terjadi rangsangan seksual aliran darah ke vagina dan vulva akan meningkat tetapi aliran darah ke uterus masih belum jelas. Apabila gerakan otot sewaktu senggama dianalogikan seperti waktu olahraga maka aliran darah ke uterus akan menurun, penekanan vena cava inferior oleh uterus sewaktu posisi terbaring telentang akan menyebabkan hipotensi terutama pada trimester ketiga8.
Banyak penelitian mengungkapkan tidak ada hubungan antara komplikasi kelahiran (kematian perinatal, kelahiran preterm, ruptur membran prematur, bayi berat lahir rendah) dengan aktivitas koitus atau frekuensi orgasme. Bagaimanapun, penetrasi dimana posisi pria diatas dan penetrasi pada wanita maupun pria dengan infeksi genital dihubungkan dengan peningkatan resiko kelahiran preterm. Wanita hamil yang memiliki pasangan yang menderita penyakit menular seksual seharusnya menggunakan kondom. 4
Kehamilan yang tidak berisiko jika dilakukan hubungan seks adalah kehamilan yang mempunyai resiko rendah untuk terjadi hal – hal yang tidak diinginkan seperti keguguran ataupun kelahiran prematur. Aktivitas seks pada masa kehamilan tidaklah menjadi sebuah keharusan. Banyak wanita hamil yang merasa tidak nyaman dalam berhubungan seksual karena tubuhnya membesar. Kebanyakan wanita kehilangan sensasi berhubungan seksual pada saat tingkat kehamilan akhir karena sudah memasuki masa untuk melahirkan dan persiapan menjadi orang tua baru. Perlu pembicaraan yang intensif mengenai cara berhubungan seks seperti berciuman, pelukan yang tidak mengganggu, ataupun posisi yang nyaman diantara pasangan. 11
Dalam kehamilan normal, hubungan seks tidak membahayakan bayi. Cairan ketuban dan otot-otot kuat di sekitar rahim melindungi bayi dari guncangan. Bayi juga terlindungi dari penetrasi penis karena adanya lapisan lendir tebal yang melindungi leher rahim dan membantu mencegah infeksi. Bayi mungkin sedikit terpengaruh saat terjadinya orgasme namun karena perubahan detak jantung dari ibu. Kontraksi yang dialami oleh ibu hamil saat orgasme sangat berbeda dengan kontraksi saat melahirkan. 12
Beberapa dokter menyarankan agar calon ibu menghentikan aktifitas seksual pada minggu – minggu terakhir kehamilan. Ada zat kimia tertentu seperti prostaglandin dalam sperma yang diyakini dapat merangsang kontraksi. 12
Keuntungan dari aktifitas seksual selama kehamilan jarang diteliti, tetapi ada satu penelitian yang menemukan bahwa aktifitas seksual dan kesenangan selama kehamilan dihubungkan dengan makin meningkatnya stabilitas hubungan antara pasangan. 4
Ada hal yang tidak boleh dilakukan dalam hubungan seks di masa kehamilan : 11
·         Meniup udara ke dalam vagina pada saat melakukan oral seks karena dapat menyebabkan emboli udara yang berbahaya buat ibu dan janin.
·         Melakukan hubungan seks dengan pasangan yang memiliki penyakit menular seksual seperti herpes, kutil genital ataupun positif HIV. Penyakit seperti ini akan berakibat fatal untuk janin.
Hubungan seks sebaiknya tidak dilakukan pada kehamilan resiko tinggi seperti :
·         Riwayat keguguran
·         Riwayat kelahiran prematur atau gejala yang menunjukkan terjadinya kelahiran prematur seperti kontraksi uterus
·         Pendarahan dalam vagina yang tidak diketahui penyebabnya
·         Cairan amnion yang kurang
·         Plasenta previa
·         Serviks yang lemah dan dilatasi prematur
·         Kehamilan kembar
Posisi hubungan seks yang disarankan untuk wanita hamil adalah posisi yang tidak menekan mulut rahim antara lain: 9
-          Pria di atas tapi miring ke salah satu sisi atau bertahan dengan lengan agar berat badannya tak menekan wanita.
-          Wanita diatas tapi hindari penetrasi yang dalam.
-          Pria duduk di kursi atau tempat tidur dan wanita berada di atasnya. Selain tak membebani kehamilan, posisi ini juga memudahkan wanita mengatur irama hubungan sekaligus mengurangi tekanan dinding rahim.
-          Pasangan berbaring menghadap satu arah dengan posisi wanita di depan pria. Penetrasi dilakukan pria dari belakang.
-          Wanita dalam posisi lutut-siku (menungging). Penetrasi dilakukan pria dari belakang.



11.  Kesimpulan
·         Seksualitas memiliki arti yang jauh lebih luas dari istilah koitus, merupakan pencetusan dari hubungan antar individu yang menjadi dasar kehidupan bersama antar dua insan manusia.
·         Fungsi seksual adalah aspek yang sah dalam dunia kedokteran. Baik laki-laki dan perempuan menyatakan kehidupan seksual adalah salah satu hal yang penting.
·         Terdapat Beberapa fase dari respon seksual wanita, diantaranya keinginan, kebangkitan, dan orgasme diikuti oleh relaksasi.
·         Umumnya, keinginan seksual wanita tidak berubah atau menurun secara drastis pada trimester pertama kehamilan, dan akan menurun secara tajam pada akhir trimester ketiga. Kondisi ini bervariasi antara satu wanita dengan wanita lainnya terutama di trimester kedua.
·         Banyak penelitian mengungkapkan tidak ada hubungan antara komplikasi kelahiran (kematian perinatal, kelahiran preterm, ruptur membran prematur, bayi berat lahir rendah) dengan aktivitas koitus atau frekuensi orgasme.
·         Keuntungan dari aktifitas seksual selama kehamilan jarang diteliti, tetapi ada satu penelitian yang menemukan bahwa aktifitas seksual dan kesenangan selama kehamilan dihubungkan dengan makin meningkatnya stabilitas hubungan antara pasangan.
·         Terdapat beberapa situasi dimana ibu hamil sebaiknya membatasi hubungan seks antara lain perdarahan yang tidak diketahui penyebabnya, wanita yang memiliki riwayat keguguran atau ancaman keguguran, ataupun pasangan yang menderita penyakit menular seksual.
·         Posisi koitus yang disarankan buat ibu hamil adalah posisi yang tidak menekan dinding rahim, yaitu :
-          Women on top (she goes up)
-          Side by side (down side)
-          Spooning (man behind women, rear entry)
-          Rear entry (dog style)
-          Edge of the bed













DAFTAR PUSTAKA
1.      Gibbs, Ronald S, Karlan, Beth Y., Haney, Arthur F., Nygaard, Ingrid E. Women’s Sexuality and Sexual Dysfunction Dalam Danforth’s Obstetrics and Gynecology 10th edition. Lippincott Williams and Wilkins. 2008. Hal. 743-748.
2.      Berek, Jonathan S., Sexuality, Sexual Dysfunction, And Sexual Assault Dalam Berek and Novak’s Gynecology 14th Edition. Lippincott Williams and Wilkins. 2007. Hal. 314-322.
3.      Curtis, Michele G., Overholt, Shelley, Hopkins, Michael P. Women and Sexuality Dalam Glass Office Gynecology 6th Edition. Lippincott and Williams. 2006. Hal. 561-564.
4.      Winkjosastro, Hanifa, Prawirohardjo, Sarwono. Seksologi Dalam Ilmu Kandungan. Jakarta : Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo. 2008. Hal 588-605.
5.      Guyton AC. Fungsi Reproduksi Prakehamilan Pada Wanita dan Hormon Wanita. Dalam : Fisiologi Kedokteran Edisi 11. Jakarta : EGC. 2007. Hal 1064-79
6.      Winkjosastro, Hanifa, Prawirohardjo, Sarwono. Perubahan Anatomik dan Fisiologi Wanita Hamil. Dalam : Ilmu Kebidanan. Jakarta : Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo. 2007. Hal 89-100
7.      Guyton AC. Kehamilan,Laktasi, serta Fisiologi Fetus dan Neonatus. Dalam : Fisiologi Kedokteran Edisi 11. Jakarta : EGC. 2007. Hal 1080-94
8.      Widiasmoko, Samuel. Perilaku Kegiatan Seksual pada Wanita Hamil. Semarang : Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro. 2000
9.      Reece, E. Albert, Hobbins, John C. Sexuality In Pregnancy And The Postpartum Period In Clinical ObstetricsThe Fetus And Mother. Australia : Blackwell Publishing Asia. 1999. Hal. 1016-1018.
10.  Jaka. Seks pada Kehamilan. [cited 18 Februari 2010] . : file:///F:/banyak-pertanyaan-dari-pasangan-suami.html
11.  Indrawan, Jhonsen. Jangan Takut Menikmati Seks Saat Hamil. [Cited 25 November 2012].: http://www.tanyadokteranda.com/seksualita/2008/07/jangan-takut-menikmati-seks-saat-hamil
12.  Anonymous. Hubungan Seks Saat Hamil, Amankah. [Cited 25 November 2012]. Available From : http://majalahkesehatan.com/hubungan-seks-saat-hamil-amankah/