Sabtu, 06 Desember 2014

EFEK DEPOT-MEDROKSIPROGESTERON ASETAT PADA DEPRESI POST PARTUM


Abstrak:
Latar belakang : Depot-medroksiprogesterone acetate (DMPA) biasanya digunakan pada perempuan postpartum segera setelah melahirkan demi efektivitas yang lebih baik, digunakan merendahkan kadar estrogen tubuh. Belum jelas apakah  pemberian injeksi progesteron  yang mempengaruhi efek  pada serangkaian depresi postpartum (PPD), yang mana juga menjadi kecurigaan dipengaruhi oleh perubahan-perubahan hormon. Pada penelitian retrospektif ini , obyek yang ditentukan adalah apakah DMPA  diberikan segera setelah  post partum akan mempengaruhi perkembangan dari depresi postpartum.
Desain penelitian : Tinjauan retrospektif dari total 404  pasien yang terdaftar diarahkan untuk  mengunjungi  klinik pusat  setelah 6 minggu post partum,  yang mana  semua pasien ditanyakan secara rutin untuk menyelesaikan pemeriksaan Edinburg postnatal Depression Scale (EPDS). Skor rata-rata  pada pemeriksaan EPDS pada kunjungan-kunjungan tersebut dibandingkan pada pasien yang mendapatkan injeksi DMPA postpartum sebelum keluar dari rumah sakit, pada  pasien yang pernah diperiksa  dan pasien yang tidak menerima kontrasepsi hormon dengan menggunakan  tes - t  yang tidak berpasangan. Sebagai tambahan, perbandingan  wanita yang didiagnosis PPD dengan menggunakan skala  tersebut dibandingkan dengan tabel-tabel kemungkinan  yang bisa terjadi
Hasil : 55 perempuan yang menerima DMPA segera postpartum dibandingkan dengan 192 perempuan dengan tanpa kontrasepsi hormon setelah melahirkan. Kelompok yang memiliki paritas , ras dan cara melahirkan serta berat yang sama. Tetapi pada wanita yang mendapat injeksi DMPA secara bermakna  lebih muda ( 24.2 vs 26.2 tahun p=.03). rata-rata skor EPDS pada postpartum 6 minggu secara statistik tidak bermakna antara kelompok (5.02 vs 6.17), p=.16) 6 pasien (10.9%) yang menerima  DMPA segera postpartum didiagnosis dengan depresi postpartum berdasarkan skor EPDS lebih tinggi dari dan sama dengan 13, sementara 27 (14.1 %) pada kelompok perbandinggan  yang telah didiagnosis depresi postpartum (P=.88)
Kesimpulan : Pemberian DMPA segera setelah partus tidak menunjukkan predisposisi  pada wanita untuk menjadi depresi post partum
1.      Pendahuluan
Depot medroksiprogesteron asetat (DMPA) adalah kontrasepsi yang umum digunakan segera setelah partus, terutama  wanita yang menginginkan tetap bisa menyusui dan oleh karena itu harus memilih kontrasepsi  yang tidak ada estrogennya. Penggunaan  lama DMPA seperti yang telah digunakan  luas diseluruh dunia selama lebih dari 30 tahun dan di Amerika lebih dari 10 tahun telah menunjukkan amannya penggunaannya pada wanita, dapat ditoleransi , tetapi terdapat beberapa yang perlu diperhatikan yakni efek mood pada pasien, yang dicurigai adanya efek  gejala depresi.
Depresi postpartum mempengaruhi sekitar 10 % wanita, dan hal tersebut bermakna dalam memberikan gangguan aktivitas  pada  orang-orang yang baru menjadi ibu, termasuk  mempengaruhi ikatan emosional ibu dan bayi, masalah terhadap perkembangan bayi, stres pada ibu dan bahkan bisa sampai bunuh diri maupun pembunuhan bayi. Perubahan hormon  dicurigai berperan terhadap patogenesis terjadinya depresi postpartum, walaupun  tidak ada  faktor hormon khusus yang diidentifikasi sebagai agen dasar penyebab penyakit ini. Beberapa orang telah menggunakan terapi hormon untuk mencegah atau mengobati  gangguan mood.
Penelitian terhadap efek progesteron pada depresi postpartum masih terbatas dan sulit dimengerti. Pada suatu  percobaan acak terkontrol tahun 1998 dilakukan di Afrika Selatan, wanita yang  mendapat injeksi norethisterone enanthate vs  injeksi plasebo 48 jam setelah partus. Penelitian tersebut  menunjukkan bahwa pemberian  progestin sintetik dihubungkan dengan meningkatnya  resiko  depresi postpartum, jelasnya suatu penelitian pada tahun 2000 meneliti insersi Norplant dengan segera VS dengan penundaan postpartum pada postpartum remaja ditemukan bahwa penundaan insersi Norplan sebenarnya meningkatkan resiko depresi selama tahun pertama postpartum, walaupun demikian, beberapa ahli kontrasepsi merekomendasikan metode penundaan pemberian progesteron only untuk mengurangi resiko depresi postpartum sampai 6 minggu setelah melahirkan. Bagaimanapun terdapat data yang terbatas terhadap efek spesifik DMPA berhubungan dengan depresi postpartum. Obyektivitas penelitian ini diperiksa apakah ada atau tidak, pemberian progestin segera setelah melahirkan akan mempengaruhi  depresi post partum.
2.      Metode
Suatu penelitian retrospektif  klinik pusat kesehatan obstetri dan ginekologi  Universitas Ohio dilakukan, subyek terbatas pada  pasien-pasien yang telah diikuti selama minggu postpartum yang mengunjungi klinik dari tanggal 1 Novermber 2007 dan 30 Juni 2008, yang dilakukan pada waktu rentang tersebut untuk diteliti diklinik, pasien dikeluarkan dari sampel penelitian  jika mereka memiliki riwayat KJDR atau kematian bayi baru lahir, riwayat depresi atau kelahiran preterm, sebagaimana hal tersebut di masukkan pada faktor lain penyebab depresi post partum yang lebih tinggi.
Keterangan mengenai kontrasepsi postpartum, umur kehamilan dan keadaan umum anak yang berasal dari daftar postpartum standar. umur, paritas, cara melahirkan, berat dan ras yang juga ditentukan dari  daftar pasien. Sebagai tambahan, skor yang dicatat sebagai EPDS, suatu alat skrining  pada depresi postpartum bahwa seluruh pasien postpartum pada  suatu klinik ditanyakan secara rutin melengkapi ketika mereka hadir untuk kunjungan 6 minggu post partum. EPDS adalah 10  item kuesioner yang telah sah sebagai alat deteksi depresi selama periode postpartum. Setiap item pada skor EPDS 0,1,2 atau 3, jadi skor maksimum adalah 30. Skor lebih banyak dari dan sama dengan 13 adalah dipercaya untuk mengidentifikasi wanita dengan depresi postpartum.
Pasien yang menerima DMPA sebelum keluar dari rumah sakit dibandingkan kemudian dengan yang tidak dalam keadaan baru melahirkan atau kunjungan klinik postpartum. Pasien yang menggunakan kontrasepsi hormon yang lain selama interval ini dikeluarkan sesuai dengan waktu dimulainya dan heterogenitas dari kontrasepsi oral.  Skor EPDS dari kelompok ini adalah kemudian dibandingkan dengan menggunakan tes t untuk menentukan  apakah terdapat perbedaan pada skor rata-rata. Penelitian  yang dilakukan untuk mendeteksi suatu perbedaan 3 poin pada skor dengan 80 %  pada level signifikan .05, yang mana dibutuhkan terdapat paling sedikit 16 pasien pada setiap kelompok. Sebagai tambahan, proporsi wanita pada masing-masing kelompok didiagnosa dengan depresi postpartum dari skala ( skor lebih dari atau sama dengan  13 vs. lebih rendah dari 13) dibandingkan  melalui  tabel kemungkinan. Demografi dari 2 kelompok yang  ketika dibandingkan termasuk umur, paritas, ras, cara melahirkan dan berat bayi.

3.      Hasil
Tabel  keseluruhan 404 pasien klinik yang diteliti pada klinik Obgin  selama kunjungan 6 minggu postpartum antara tanggal 1 November 2007 – 30 juni 2008, yang ditinjau selama penelitian. Seluruh pasien  ditanyai untuk memenuhi seluruh nilai dari skor yang dicatat pada saat presentasi. Terlepas dari jumlah pasien, 254 pasien ditemukan memenuhi sarat untuk penelitian  yang berdasarkan kriteria ekslusi awal. Dari 150 pasien yang dikeluarkan dari penelitian, 82 pasien yang dikeluarkan karena persalinan preterm, 45 pasien  karena adanya riwayat depresi, 9  yang  karena KJDR atau kematian bayi baru lahir, dan 14   karena tidak mengisi lengkap formulir. Lebih lanjut 7 pasien yang  mana diresepkan progestin-only pills (norenthindrone) juga dikeluarkan dari penelitian, sebab tidak dapat ditentukan kapan pasien mulai memakai pil tersebut. Dari 247 pasien yang diteliti , 55 pasien menerima DMPA sebelum keluar dari RS setelah melahirkan, dan  192 pasien menerima DMPA tertunda sampai kunjungan RS selanjutnya dan tidak mendapatkan ligasi tuba. Mengilustrasikan karakteristik kedua kelompok ini, wanita yang menggunakan DMPA postpartum secara bermakna lebih muda dari grup yang tidak menerima DMPA.
Skor rata-rata  pada pasien yang menerima DMPA postpartum segera adalah 5.02, ketika dibandingkan dengan kelompok yang memiliki skor rata-rata 6.17. perbedaan tidak bermakna secara bermakna (=.16). sebagai tambahan, 6 (10.9%) dari 55 pasien  yang menerima DMPA segera didiagnosis dengan depresi postpartum berdasarkan skor EPDS lebih banyak dari dan sama dengan 13, pada 27 (14.1%) dari 192 pasien pada kelompok perbandingan didapatkan depresi postpartum. Perbedaan ini tidak lagi signifikan secara statistik.







Tabel 1.
Demografi Kelompok DMPA dan Kelompok kontrol yang tidak melahirkan
Karakteristik Kelompok
Grup DMPA
(n=55)
Kelompok Tanpa progesteron (n=192)
Nilai P
Rerata umur(SD),tahun
24.15(6.35)
26.23(6.14)
              .03
Rerata berat(SD),pon
179(47.9)
177(45.6)
               .77          

Paritas, n(%)
                                                                                       .97
Primipara
18.(32.7)
59(30.7)

Multipara
37(67.3)
133(69.3)

Metode melahirkan, n(%)
                                                                                       .31
Seksio sesar
12(21.8)
67(34.9)

Partus pervaginam
43(78.2)
125(65.1)

Ras, n(%)
                                                                                      .34
Asia
1(1.8)
8(4.2)

Kulit hitam
33(60)
91(47.4)

Hispanic/latino
2(3.6)
39(20.3)

Kaukasia
19(34.5)
53(27.6)

Tidak berespon
0(0)
1(0.5)

Status pernikahan, n(%)
                                                                                       .67
Menikah
12(21.8)
55(28.6)

Lajang
40(72.7)
133(69.3)

Janda
0(0)
1(0.5)

Pisah
1(1.8)
1(0.5)

Cerai
2(3.6)
2(1)


Walaupun pasien dengan riwayat depresi diekslusi dari analisis aslinya, suatu analisis terpisah dari kelompok ini dilakukan untuk menentukan apakah mereka bisa dimasukkan subyek gangguan mood efek dari progesteron. Sejumlah 15 orang dengan riwayat depresi ditemukan pada orang yang telah menerima injeksi DMPA sebagai pasien yang mendapat injeksi sebelum keluar rumah sakit, selanjutnya  lebih jauh 34 pasien dengan riwayat depresi yang menerima suatu formulir pengganti kontrol kelahiran atau tidak memiliki formulir kontrol kelahiran pada saat  keluar rumah sakit. Rata-rata skor EPDS pada pasien DMPA dengan  riwayat depresi adalah 9.47, grup perbandingan  memiliki skor EPDS  9.65, perbedaan tidak bermakna secara statistik (p=.94). sebagai tambahan ketika melihat kepada sejumlah pasien dengan riwayat depresi yang telah didiagnosis postpartum depresi berdasarkan Skor EPDS mereka, 5 (33%) dari pasien DMPA dan 15 (44%) dari pasien  pada kelompok alternatif yang memiliki skor EPDS 13 atau lebih (p=.78)
4.      Diskusi
Berdasarkan hasil penelitian retrospektif, DMPA bisa diberikan secara langsung postpartum dengan hasil bahwa dimulainya injeksi kontrasepsi tersebut tidak menyebabkan peningkatan jumlah pasien terdiagnosis  depresi postpartum. Tidak ada perbedaan bermakna yang ditemukan antara dua kelompok yang terdiagnosis depresi post partum  berdasarkan skor EPDS sama dengan atau lebih dari 13. Walaupun pengguna DMPA cenderung lebih muda daripada yang tidak menggunakannya, umur tidak diketahui sebagai faktor yang menyumbangkan  perkembangan kearah  postpartum depresi.
Penelitian ini, menunjukkan bahwa yang mengalami depresi dapat kembali normal, dan memiliki keterbatasan sebab membutuhkan pengenalan  dalam intepretasi hasilnya. Sebagai contoh penelitian ini terbatas oleh retrospektif alamiah dan kurangnya randomisasi dari  modalitas pengobatan. Skala Edinburg hanya satu indikator pengukur depresi, dan menggunakan alat diagnostik  yang berbeda mungkin menghasilkan hasil yang berbeda pula. Sebagai tambahan  penelitian  tidak dilakukan untuk mendeteksi perbedaan persentase jumlah pasien  yang terdiagnosis depresi postpartum,  yang mana akan  membutuhkan 246 pasien pada masing-masing kelompok. Hal ini tidak dua kali terhadap pembatas pada ketersediaan hasil-hasil sebelumnya. Pemunculan  suatu perbedaan pada diagnosis dari depresi postpartum mungkin lebih relevan secara klinik daripada perbedaan tunggal skor EPDS nondiagnosistik. Memiliki kumpulan subyek lebih banyak atau menggunakan  analisis prospektif mungkin akan mengungkapkan hasil yang berbeda, pada populasi kami skor lebih rendah pada pasien yang  menerima DMPA, sehingga hasil tersebut tidak dapat dipercaya walaupun  dilakukan pada suatu penelitian lebih besar akan menunjukkan peningkatan diagnosis depresi postpartum
Faktor lain yang mungkin bisa mempengaruhi hasil penelitian ini adalah fakta bahwa populasi penelitian  diambil dari  populasi klinik pada  pusat perawatan  yang besar. Populasi ini tidak perlu   populasi yang mewakili tipe obstetri, sebagai jumlah pasien yang besar dikirimkan pada klinik ini untuk perawatan pada kondisi yang resiko tinggi. Populasi klinik juga memiliki status sosioekonomi yang lebih rendah dari pasien yang didapatkan pada tempat pelayanan praktek dokter pribadi. Sehingga banyak pasien pada populasi klinik ini  memiliki stiuasi klinik yang  memiliki stres tinggi, termasuk kurangnya dukungan sosial terhadap status mereka sebagai imigran yang tidak memiliki keluarga  di Amerika, meskipun demikian, kejadian depresi postpartum  pada populasi kami dapat dibandingkan dengan prevalensi pada populasi umum.
Pada penelitian yang kami dapatkan  bahwa rerata umur pengguna DMPA lebih muda dari yang kelompok pembanding. Sejak DMPA membutuhkan sedikit usaha pemenuhan daripada bentuk hormonal lain dari kontrasepsi tanpa tubektomi postpartum, hal tersebut bisa menunjukkan  lebih sedikit wanita dewasa sebagai bentuk kontrol kelahiran. Yang mana secara statistik bermakna pada 2 tahun berbeda dengan kelompok-kelompok adalah mungkin tidak bermakna secara klinik.
Walaupun analisis subkelompok juga kembali normal pada pasien dengan riwayat  depresi biasa juga aman penggunaan DMPA postpartum, hasil ini harus di interpretasikan dengan dibawah pengawasan. Seperti yang diinginkan dari populasi ini, pasien-pasien ini diikuti untuk diharapkan memiliki rerata skor EPDS lebih tinggi secara bermakna dibandingkan dengan kelompok penelitian bermakna. Pada penelitian kami tidak secara adekuat  jalankan untuk menemukan perbedaan antar 2 kelompok antara pasien yang memiliki riwayat depresi, kami tidak mendapatkan  faktor-faktor  pengikut, seperti tingkat persalinan preterm yang lebih tinggi dan penggunaan obat antidepresi
Secara keseluruhan  tidak tampak efek apapun pada perkembangan  depresi postpartum dari DMPA postpartum. Idealnya suatu percobaan acak prospektif akan lebih informatif, tetapi tidak sama dengan bahwa wanita muda akan  secara acek lebih  sedikit dipercaya mendapatkan  kontrasepsi postpartum. Karena wanita menggunakan pil kontrasepsi progestin-only  dieksklusi, pada penelitian kami tidak dapat membuat pengaruh terhadap efek pil progestin only pada pembentukan gejala depresi postpartum. Penelitian yang lebih lanjut mungkin dapat mengklarifikasi apakah kontrasepsi progesteron dapat mempengaruhi pembentukan depresi postpartum. Walaupun berdasarkan temuan-temuan  peneltian, dokter klinik dapat melanjutkan pemberian kontrasepsi DMPA dengan percaya diri tanpa adanya ketakutan akan  mengakibatkan atau memperberat gangguan mood postpartum
5.      Referensi
(1)     Thomas DB, Ray RM. Depot-medroxyprogesterone acetate (DMPA) and risk of endometrial cancer. the WHO  Collaborative Study of Neoplasia and Steroid Contraceptive. Int.  J Cancer 1991; 186-90.
(2)     World Health Organization  Collaborative Study of Neoplasia and Steroid Contraceptive. Breast canscer and depot-medroxyprogesterone acetate; a multinational study. Lancet 1991; 338:833-8
(3)     Standford JL. Thomas DB. Depot-medroxyprogesterone acetate (DMPA) and risk of epithelial ovarian cancer. The WHO Collaborative Study of Neoplasia and Steroid Contraceptives. Inj J Cancer 1991:49:191-5

(4)     World Health Organization Collaborative Study of Neoplasia and Steroid Contraceptives. Depot-medroxyprogesterone acetate (DMPA) and risk of invasive squamous cell cervical cancer. contraception 1992; 45:299-312.