HEPATITIS B DAN PENULARAN
TRANSPLASENTAL
DENGAN PARTUS PERVAGINAM (MICROTRANSFUSION,DIDUGA KERUSAKAN BARIER AKIBAT PROSES PARTUS PERVAGINAM)
Hepatitis B merupakan
hepatitis yang paling penting karena dapat menimbulkan berbagai macam
manifestasi klinis, mulai dari hepatitis akut, pengidap virus, hepatitis kronis
dapat berkembang menjadi sirosis hati
maupun karsinoma hati primer. Sejak ditemukan Australian Antigen oleh Blumberg dan
kawan-kawan tahun 1965 yang kemudian dikenal sebagai hepatitis virus B ( HBV)
maka perkembangan penelitian penyakit ini makin pesat. (Hadi Sujono 2010)
Diseluruh dunia
diperkirakan 316 juta orang
pembawa virus dan sekitar 170 juta
penderita bermukim di daerah
Asia-Pasifik.
Berdasarkan
laporan epidemiologi, ternyata
penderita dengan HBsAG positif di
Afrika , Asia tenggara termasuk Indonesia prevalensinya tergolong tinggi yaitu berkisar antara 6-16 %. Laporan penderita dengan HBsAg postif untuk seluruh
populasi di Indonesia masih belum ada, tetapi
yang sudah banyak dilaporkan ialah hasil penelitian dari tiap sentra
pendidikan. Sebagai contoh laporan hasil
penelitian yang dilakukan pada 250 orang
dewasa di desa Talang kira-kira 40 km
dari Padang ditemukan 19,5 % HBsAg
positif dengan cara RPHA, selanjutnya penelitian di Pulau Air Lombok yang
menggunakan cara RPHA ditemukan 10,6 % HBsAG postif, lain halnya dengan keadaan
di kelurahan Koja Utara – Jakarta utara
ternyata insidennya sebanyak 4,8 %, walaupun insidensi untuk masing-masing daerah berbeda , namun demikian bila dihitung
dengan menggunakan statistik, kejadian
HBV di Indonesia terhitung tinggi yakni 5-17%. Insidensi pembawa
virus di Indonesia cukup tinggi dan
diduga mencapai 1,75 juta orang.(Hadi Sujono 2010)
- VIRUS HEPATITIS B
Penyebab
hepatitis B adalah virus DNA yang tergolong
dalam kelas Hepadna dan mempunyai masa inkubasi 1-6 bulan. Pada individu
dengan infeksi HVB, dengan perantaraan mikroskop electron dapat diperlihatkan
adanya 3 partikel yang berada dalam darah penderita, yaitu partikel
berbentuk bulat dengan diameter 20-22 nm, partikel berbentuk batang dengan diameter
kurang lebih 20 nm, panjang 50-250 nm, kedua-duanya tidak mengandung asam
nukleat dan partikel dengan diameter kurang lebih 42 nm yang mengandung asam
nukleat. Partikel yang tidak mengandung asam nukleat diduga hanya merupakan lapisan lipoprotein luar dari HBV,
sedangkan partikel yang mengandung asam nukleat, diduga merupakan virion
lengkap HBV dan disebut partikel Dane. Hal ini sesuai dengan nama sarjana Dane yang menemukannya tahun 1970.(Soewignjo
2008)
Komponen lapisan luar
disebut hepatitis B surface antigen
(HBsAg) di dalam inti terdapat genom dari HBV yaitu sebagian dari
molekul tunggal dari DNA sesifik yang sirkuler. Di dalam inti HVB juga
mengandung enzim yaitu DNA polymerase.
Di samping itu juga ditemukan hepatitis
Be Antigen ( HBeAg) . antigen ini hanya ditemukan pada penderita dengan HBsAg
postifif. Walaupun demikian letak dari HBe’Ag di dalam struktur HVB sampai saat ini belum jelas. Ditemukan HBeAg
positif pada penderita merupakan petanda
serologis yang sensitive dan artinya derajat infekstivitasnya tinggi. Oleh karena itu bila ditemukan
HBsAg positif perlu sekali diperiksa
HBeAg, untuk menentukan prognosa
penderita
Virus hepatitis B (HBV) termasuk dalam famili
Hepadviridae, genomnya merupakan partially
double-stranded DNA yang tersusun atas sekitar 3200 nukleotida. Mempunyai 4
open reading frame (ORF), yaitu ORF C yang menyandi sintesa protein core
(HbcAg) dan antigen e (HbeAg); ORF P yang menyandi sintesa protein polymerase;
ORF S yang menyandi sintesa protein permukaan virus (HbsAg); dan ORF X yang
menyandi sintesa protein X, suatu protein trans-activator translasi. Urutan
rangkaian nukleotida dari genom HBV bisa berbeda-beda, antara lain tergantung
tipe jaringan (etnis) hostnya. Berdasar perbedaan rangkaian nukleotida
tersebut, HBV dapat dibagi \ke dalam genotip dan subgenotip.
Gambar 1. Skematis Virus hepatitis B ((Marvin T, 2010)
Disebut sebagai suatu genotip HBV tersendiri bila
terdapat perbedaan lebih dari 8 % dalam seluruh rangkaian genom antar suatu
kelompok, atau lebih dari 4 % dalam seluruh rangkaian genom S. Merupakan
subgenotip bila terdapat perbedaan antara 4-8 % nukleotida dalam seluruh genom,
dalam satu genotip. Penelitian dari beberapa negara memberi petunjuk bahwa
genotip HBV berpengaruh terhadap perjalanan penyakit hati dan responnya
terhadap obat-obat anti viral. Namun demikian masih belum jelas, apakah hasil
penelitian tersebut dapat digeneralisir untuk semua pengidap HBV di seluruh
belahan dunia. (Mulyanto, 2009)
Laporan tahun 2009 menunjukkan bahwa di Indonesia
terdapat 4 genotip (dengan 14 subgenotip) HBV yaitu genotip A,B, C dan genotip
D. Dari 899 sampel di 28 kota dari berbagai pulau di Indonesia, didapatkan
genotip B paling dominan (66 %), diikuti oleh genotip C (26 %), genotip D (7 %)
dan genotip A (0,8 %). (Mulyanto, 2009)
- DIAGNOSIS
HEPATITIS B DAN PERJALANAN KLINIS
Karena gejala-gejalanya
hanya sedikit, kebanyakan orang tidak menyadari
dirinya tertular hepatitis B. hanya sekitar seperempatnya akan menunjukkan gejala yang sama dengan mereka yang menderita hepatitis A (
kehilangan nafsu makan, kelelahan, demam
ringan atau sakit kuning) dan sejumlah kecil
menjadi hepatitis B akut. (Melvyn dan William 2010)
Virus hepatitis B
berbentuk bola dengan lapisan luar merupakan lapisan protein bagian dari luar
ditemukan dalam darah orang yang
terinfeksi hepatitis B. Protein ini disebut antigen luar hepatitis B atau HBsAg
( antigen artinya koponen protein dari
virus). (Melvyn dan William 2010)
Tubuh memproduksi sejumlah antibodi terhadap infeksi hepatitis
B yang berbeda-beda yang dapat dideteksi melalui pemeriksaan darah. Salah satu antibodi
inti hepatitis B (HBcAb) sudah ada tahap
awal penularan virus antibodi dapat juga dideteksi pada pembawa virus hepatitis
B kronik bila timbul gejolak atas kegiatan hepatitisnya. Antibodi yang lain
adalah antibodi luar hepatitis B ( HbsAb) dapat dideteksi pada mereka yang
benar-benar sembuh dari infeksi hepatitis B. orang ini akan kebal terhadap
infeksi berikutnya. (Melvyn dan William 2010)
Tidak satupun kasus
kekebalan menunjukkan adanya antigen
luar hepatitis B dalam darah. Orang yang secara kronik tertular ( pembawa virus hepatitis B ) akan
memiliki antigen luar hepatitis B dan antibodi inti hepatitis B dalam darah
mereka, tetapi tidak ada antibodi luar hepatitis B. Tujuan dari pengobatan hepatitis B adalah menghentikan perkembangan virus. Dewasa ini dari
pemeriksaan dapat diukur apakah virus
hepatitis B berkembang aktif dan apakah
darah penderita menular. Bila mana virus berkembang aktif, hepatitis B antigen
e’ ( HBeAg) dan hepatitis B DNA ( HBV-DNA) , bahan genetik virus ada dalam
darah (Melvyn dan William 2010)
Bila virus berhenti berkembang, baik karena telah
dikalahkan oleh sistem kekebalan tubuh, atau karena pengobatan, HbeAg menghilang dan
hepatitis B antibodi e muncul. Hepatitis B DNA akan berkurang atau sama sekali
menghilang (Melvyn dan William 2010)
Bila virus masih
ada dalam hati tetapi tidak berkembang,
hepatitis b antigen luar akan ditemukan dalam darah sedangkan hepatitis B DNA
dan hepatitis B antigen e tidak ada. (Melvyn
dan William 2010)
Kerusakan hati mungkin terjadi dan kemungkinan juga tidak terjadi pada
mereka dengan perkembangan kuman virus
yang aktif. Maka pemeriksaan ada tidaknya bermacam-macam antibodi dan antigen
dalam darah menungkinkan dokter mengetahui apakah seseorang tertular hepatitis
B , apakah hepatitis tersebut akut atau kronik, apakah penderita tersebut
tertular atau pembawa virus dan apakah ia menjadi kebal untuk penularan selanjutnya?
(Melvyn dan William 2010)
Hasil
Pemeriksaan Darah
|
||||
Penularan
HBV Kronik
|
Kekebalan
|
|||
|
Pembawa Virus(Penularan ringan)
|
Pembawa Virus(Penularan Berat)
|
Tertular Sebelumnya
|
Vaksinasi Sebelumnya
|
HBsAG
|
V
|
V
|
-
|
-
|
HbcAb
|
V
|
V
|
V
|
-
|
HBeAg
|
-
|
V
|
-
|
-
|
HBeAb
|
V
|
-
|
V
|
-
|
HBV-DNA
|
-
|
V
|
-
|
-
|
HBsAb
|
-
|
-
|
V
|
V
|
Tabel 1. Interpretasi
hasil pemeriksaan darah (Melvyn dan William 2010)
Resiko berkembang menjadi penyakit kronik
tergantung umur pada saat orang terinfeksi. Pada orang dewasa 1-5% tidak dapat
melawan virus dan menjadi hepatitis B kronik dan kurang dari 1 % menjadi
hepatitis fulminan, jelas tampak 95%
dari infeksi pada bayi dan 10-30 % telah terinfeksi sejak umur 10 tahun akan menjadi pengidap hepatitis
kronik. Terlebh lagi satu orang dari 20
akan terinfeksi HBV menjadi karier virus dan dapat menginfeksi orang
lain tanpa menimbulkan gejala sebelumnya,
jika tidak diobati hepatitis kronik akan
menjadi sirosis 30 % dan kebanyakan dari
mereka menjadi pengidap kanker hati( Ulmer 2010)
Gambar 2. Perjalanan
Penyakit Hepatitis B ( Ulmer 2010)
- CARA PENULARAN
Penyakit HBV sudah
dapat di tularkan kepada semua orang dan
semua kelompok umur. Dengan percikan sedikit darah yang mengandung virus
hepatitis B sudah dapat menularkan penyakit.
Pada umumnya cara penularan dari HVB adalah parenteral.
Semula penularan HVB diasosiasikan dengan transfuse darah atau produk darah,
melalui jarum suntik. Tetapi setelah ditemukan bentuk dari HBV
makin banyak laporan yang
ditemukan cara penularan lainnya. Hal ini disebabkan karena HBV
dapat ditemukan dalam setiap
cairan yang dikeluarkan dari tubuh
penderita atau pengidap penyakit, misalnya melalui : darah, air liur, air seni,
keringat, air mani, air susu ibu, cairan
vagina, air mata dan lain-lain. Oleh karena itu dikenal penularan
horizontal dan vertikal.
Cara penularan horizontal
yang dikenal ialah : transfuse darah yang terkontaminasi oleh HBV,
mereka yang sering mendapat hemodalise. Selain daripada itu HBV juga masuk ke
dalam tubuh kita melalui luka atau lecet kulit
dan selaput lendir misalnya tertusuk jarum suntik yang kotor atau kurang
steril. Penggunaan alat-alat kedokteran
dan alat-alat perawatan gigi yang disterilisasikan kurang sempurna/ kurang
memenuhi syarat akan dapat menularkan HVB.
Penularan juga dapat melalui penggunaan alat cukur bersama, sirkulasi,
garuk konde dan lain-lain. Daerah endemis
berat dapat diduga nyamuk, kutu
busuk, parasit dan lain-lain dapat juga ikut menularkan HVB, walaupun belum ada
laporan. Cara penularan tersebut
penularan perkutan. Sedangkan
cara penularan secara non-kutan
diantaranya ; melalui semen, cairan vagina yaitu kontak seksuil ( baik
homoseks maupun heteroseks) dengan
pengidap/ penderita HVB, atau melalui saliva yaitu bercium-ciuman dengan
penderita /pengidap HVB, dapat juga melalui tukar pakai sikat gigi, dan
lain-lainnya. Hal ini kemungkinan disebabkan karena selaput lendir yang diskontinuitas, sehingga
virus hepatitis B mudah menembusnya.
Penularan secara vertikal dapat diartikan sebagai
penularan infeksi dari seseorang ibu pengidap/penderita HVB kepada bayinya sebelum persalinan, pada saat
persalinan dan beberapa saat setelah persalinan. Penularan vertikal sebagian besar (95%) terjadi pada saat
persalinan (perinatal), hanya sebagian kecil saja (5%) yang terjadi selama bayi
di dalam kandungan ( intrauterin), dan sebagian besar (90%)
bayi yang tertular akan menjadi
pengidap HBV kronik. Di Indonesia cara
penularan vertikal ini diperkirakan menyumbangkan kira-kira 25-30 % dari
seluruh pengidap HBV kronik. Dengan demikian penularan HBV dari sauatu generasi ke
generasi erikutnya, terutama terjadi melalui cara vertikal dalam hal ini HBV-DNA dapat dianalogikan
dengan DNA mitokondria, sebagai petanda genetic untuk nenek moyang ibu ( maternal ancestry ). Usia pada saat terinfeksi
menentukan kemungkinan kronisitas infeksi tersebut akan menjadi pengidap
kronis; namun bila infeksi terjadi pada dewasa sebagian kecil (5%) saja yang
menjadi pengidap kronis, Apabila seorang ibu menderita HVB akut pada perinatal yaitu trimester ke-3
kehamilan, maka bayi yang baru dilahirkan
akan tertulari. Risiko infeksi pada bayi dari seorang ibu yang
terinfeksi hepatitis B, dulu diperkirakan
penularan intero hanya terjadi
pada 5-15 % bayi yang dilahirkan dari ibu HBsAg dan HBeAg positif, namun terdapat bukti bahwa penularan inutero
lebih tinggi dari angka-angka tersebut.
Penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar bayi yang tertular HVB secara vertikal . mendapat penularan pada
masa perinatal yaitu terjadi pada proses persalinan. Karena itu bayi yang mendapat penularan vertikal
sebagian besar mulai terdeteksi HBsAg positif pada saat usia 3-6 bulan yang
sesuai dengan masa tunas infeksi VHB
yang paling sering didapatkan. Penularan
yang terjadi pada masa perinatal dapat melalui maternofetal micro infusion yang terjadi pada saat terjadi kontraksi uterus, tertelannya cairan
amnion yang mengandung VHB serta masuknya VHB melalui lesi yang terjadi pada
kulit bayi pada waktu melalui jalan lahir. Penularan infeksi vertikal juga
dapat terjadi setelah persalinan. (Soewigno 2008; Andri dkk 2010 ; vicentia
merry 2001)
Transmisi
perinatal VHB akan mengakibatkan frekuensi tinggi menjadi infeksi kronik pada bayi, sampai 90
% pada bayi baru lahir dari ibu yang
memiliki HbeAg positif. Telah diterima dengan luas bahwa transimisi perinatal terjadi pada saat dekat
pada waktu proses melahirkan, oleh karena itu vaksinasi neonates diperlukan
untuk pencegahan infeksi kira-kira 80-95
% kasus. Secara teoretis resiko transmisi VHB
pada saat paparan secret serviks dan darah ibu pada saat melahirkan, tranmisi
intrauterin di asumsikan mengakibatkan
infeksi yang terjadi dan tidak dapat dicegah dengan imunisasi. Faktor
resiko transmisi transplasental dari
VHB termasuk pada ibu yang HbeAg
positif, HbsAg positif dan level HBV DNA.
Pada suatu penelitian menandakan bahwa
level HBV DNA ≥ 10 8 Kopi/ml
dihubungkan pada peningkatan transmisi
intra uterin. HBV ditemukan di sel-sel
endotel kapiler vilus dan tropoblas
plasenta yang mendukung hipotesis
bahwa plasenta memiliki system
barier pada infeksi intrauterine,
ancaman partus prematurus atau aborsi spontan sebagai akibat terjadinya pencampuran darah ibu dan bayi, tampaknya meningkatkan
resiko transmisi HBV, baru-baru ini polimorfisme
pada beberapa gen sitokin, seperti
yang mengkode interferon
- SIRKULASI CAIRAN
AMNION DAN BARRIER PLASENTA
Pada kehamilan
muda, rongga amnion diisi oleh cairan
yang memiliki komposisi sama dengan cairan ekstraseluler. Salama pertengahan
kehamilan, transfer cairan dan molekul
kecil lainnya tidak hanya melalui
selaput amnion tetapi juga dari kulit fetus, selama trimester kedua, fetus
mulai berkemih, menelan dan menghirup cairan amnion (abramovich dan kolega
1997; Duenhoelter dan Pritchard 1976). Proses ini merupakan cara untuk
mengontrol volume cairan amnion. Walaupun sumber utama cairan amnion berasal
dari epitel amnion ( Cunningham ; Alan 2010)
Peranan
aquaporins, protein saluran air pada sel membran telah diterima akhir-akhir ini
sebagai salah satu pengatur sirkulasi air ketuban. Beberapa protein
transmembran diekspresikan pada membrane fetus dan mungkin juga menjaga
homeostasis cairan amnion(Liu dkk 2008; Wang dkk, 2007)
Karena fetus normalnya menelan
cairan amnion dan berkemih, maka telah diasumsikan bahwa mekanisme ini
merupakan salah satu cara dalam
mengontrol keseimbangan dari volum cairan amnion. (Stephen 2008)
Difusi simple
adalah metode transport yang mana gas dan molekul simple lainnya melalui
plasenta. Tingkat transpor tergantung pada perbedaan konsentrasi, difusi pada
zat yang kompleks masih dipertanyakan, dan total area plasenta yang
tersedia untuk transfer ( Hukum Ficks ).
Perbedaan kadar zat kimia ( yakni perbedaan konsentrasi pada plasma bayi dan ibu ). Yang mana akan
mempengaruhi tingkat transfer uteroplasenta dan darah umbilikus. Difusi simple
juga metode transfor molekul eksogen kompleks seperti obat. (Alan
H; Lauren T; Murphy T, 2007)
Contoh utama suatu zat yang ditrasferkan melalui difusi
terfasilitasi adalah glukosa dan merupakan
sumber utama energy utuk bayi. Transfer glukosa dari ibu ke bayi terjadi
lebih cepat dari pada yang tertulis oleh hukum perbandingan FICK’s, kemungkinan ada suatu system pembawa yang melawan konsentrasi yang tinggi dengan kata
lain tetap melakukan transfer kearah konsentrasi yang lebih tinggi) dan
menjadi konsentrasi gula darah yang
lebih tinggi. Pada saat yang seimbang kadar
gula darah plasma fetus dua kali lebih tinggi dibanding kadar gula darah ibu,
hal ini merefleksikan bahwa fetus menggunakan glukosa pada tingkat yang lebih
tinggi. Zat dengan molekul rendah, muatan elektris yang minimal dan tingkat
kelarutan tinggi dalam lemak akan dengan
sangat mudah dapat melewati plasenta
(Alan H; Lauren T; Murphy T, 2007)
Ketika molekul kompleks
seperti asam amino dan vitamin ditemukan
konsentrasinya lebih tinggi pada darah fetus dibanding maternal, dan ketika
perbedaan ini tidak dibedakan oleh
efek perbedaan protein pembawa, dengan fakta ini diyakini adanya system transport aktif (Alan H; Lauren T;
Murphy T, 2007)
Mikroskop elektron telah menunjukkan penolakan oleh
pseudopodial dari sinsisiotrofoblas terhadap sesuatu yang berusaha mencapai
lapisan sekeliling plasma maternal. Partikel-partikel dapat diangkut secara
nyata melewati sel yang intak untuk diseberangkan dan dilepaskan pada sisi
sebelah sehingga dapat masuk ke dalam aliran darah bayi, protein-protein
tertentu ( antigen asing) secara imunologi di tolak, proses ini dapat bekerja pada dua arah.
Walaupun demikian selektivitas belum dapat ditentukan. Protein kompleks,
sebagian kecil lemak, beberapa jenis immunoglobulin dan bahkan virus dapat
melintasi plasenta dengan cara ini. Untuk
protein kompleks proesesnya dilakukan secara ketat dan menggunakan reseptor, misalnya antibodi maternal kelas IgG dapat ditranfer
dengan bebas sementara antibod yang lain tidak dapat. (Alan H; Lauren T; Murphy
T, 2007)
Kerusakan pada membrane plasenta dapat terjadi, memungkinkan
lewatnya sel-sel. Walaupun demikian perbedaan tekanan hidrostatik adalah normal dari bayi keibu, sel darah
merah dan sel darah putih telah didapatkan
transfer dua arah. Kerusakan seperti ini biasanya dapat terjadi selama
persalinan atau pada ibu yang mengalami plasenta previa atau solusio plasenta
maupun trauma, seksio sesar, atau kematian janin dalam rahim. Mekanisme ini
memungkinkan terjadinya sensitisasi antigen sel darah merah bayi terhadap
ibu seperti antigen rhesus. (Alan H;
Lauren T; Murphy T(2007)
Gambar 3.
Sirkulasi air ketuban (Alan H; Lauren T; Murphy T(2007)
diduga adanya proses partus pervaginam (perinatal) terjadi kerusakan barier ditingkat plasenta sehingga dapat dicurigai melalui sirkulasi air ketuban diatas dapat terjadi transmisi... adakah partus pervaginam akan meningkatkan transmisi transplasental jika dibandingkan dengan partus perabdominam?... tunggu hasilnya sementara saya sedang lakukan penelitian...
sementara diduga lebih banyak transmisi transplasentap pervaginam dibanding perabdominam?????
DAFTAR
PUSTAKA
EMIROGLU
N (2010)Viral hepatitis B burden policy in the Europe region.World Health
Organization, Brussel
HADI
SUJONO (2002) Gastroenterologi, edisi ke-2 hal 449-452, penerbit PT Alumni,
Bandung
CUNNINGHAM;
LEVENO ; BLOOM; HAUTH (2010) Williams Obstetrics 23rd Chapter. 21. Ed.Mc. Graw-Hills Company. United
state of America
ALAN
H; LAUREN T; MURPHY T(2007), Current Diagnosis & Treatment Obstetrics & Gynecology, Tenth
Edition
MULJONO DH (2011) Membangun kapasitas riset kedokteran
melalui integrasi ilmu dasar dan kedokteran klinik, Makassar, Universitas hasanuddin.
Soewigno;
Stephanus (2008),Hepatis Virus B Edisi ke-2 Penerbit Buku Kedokteran EGC,
Jakarta
CONTAG SA (2011) Hepatitis in pregnancy.
MULYANTO (2009) Epidemiologi hepatitis B di indonesia. IN
SULAIMAN AS; SULAIMAN BS; SULAIMAN A; LOHO IM; STEPHANIE A (Ed.) Pendekatan terkini hepatitis B dan C dalam
praktik klinis sehari-hari. Jakarta, Sagung seto.
CUNNINGHAM FG; GANT NF; LEVEMO KJ; GILLSTRAP LC; HAUTH
JC; WENSTROM KD (2006) Penyakit saluran cerna. Obstetri williams. 21 ed. Jakarta, EGC.
Ulmer
(2010).Recommendation of Hepatitis b expert, Bristbol-Meyer, International
Longevity Centre-UK
BUDIHUSODO U (2009) Patogenesis dan diagnosis hepatitis B
kronik. IN A, S. A. S. B. S. A. L. I. S. (Ed.) Pendekatan terkini hepatitis B dan C dalam praktik klinis sehari-hari.
Jakarta, Sagung seto.
SIEVERT
W; KORMAN M (2010), Segala sesuatu tentang hepatitis, Penerbit PT Arcan,
Jakarta
SUDIPTA
CD; EAPEN C(2004) Perinatal transmission of Hepatitis B, Departement of GI
Sciences Tamil Nadu, India
BAI H; ZHANG L; MA L; DOU XG; FENG GH; ZHAO GZ (2007)
Relationship of hepatitis B virus infection of placental barrier and hepatitis
B virus intrauterine transmission mechanism. world journal of gastroenterology,
JONAS MM (2009) Hepatitis B and pregnancy: an
underestimated issue. Liver international
journal, 29, 133-139.14, 3625-3630.
CANDOTTI D; DANSO K; ALLAIN JP (2007) Maternal
transmission of hepatitis B virus genotype E in ghana, west africa. journal of general virology, 28, 2686-2695.
BART PA; JACQUIER P; ZUBER PLF; LAVANCHY D; FREI PC
(1996) Seroprevalence of HBV (anti Hbc, HbsAg and anti-Hbs) and HDV infections
among 9006 women at delivery. Liver
international journal, 16,
110-116.
CASERTA MT (2009) Neonatal Hepatitis B Virus Infection.
USA.
CASSART YE (1997) The outcome of hepatitis B virus
infection in pregnancy. postgraduate
medical journal, 53, 610-613.
CHOWDURY SD; EAPEN CE (2009) Perinatal transmission of
Hepatitis B. India.
D MANISHA; P SRI; M VATSLA; PANDEY A; PANT S; SINGH R
(2011) Seroprevalence of hepatitis B infection during pregnancy and risk of
perinatal transmission. Indian Journal
Gastroenterology, 30, 66-71.
EFFENDI JS (2004) Evaluasi plasenta. IN HARIADI R (Ed.) Ilmu kedokteran fetomaternal. 1 ed.
Surabaya, Himpunan kedokteran fetomaternal perkumpulan obstetri dan ginekologi
indonesia.
ELEFSINIOSIS I;PAPADAKIS M; VLAHOS G; DASKALAKIS G;
SAROGLOU G; ANTSAKLIS A (2009) Clinical significance of Hepatitis B surface
antigen in cord blood of hepatitis B e-antigen-negative chronic hepatitis B
virus-infected mothers. intervirology
journal, 52, 132-134.
GAITHERSBURG (2009) Cellular, tissue and gene therapies
advisory committee. CTGTAC meeting.
USA.
GHANY MG (2011) Hepatitis B Epidemiology, Pathogenesis,
Diagnosis, and Natural History Global Overview of Hepatitis B Virus Infection.
USA.
GUO Y; LIU J; MENG L; MEINA H; YUKAI D (2010) Survey of
HBsAg-positive pregnant women and their infants regarding measures to prevent
maternal-infantile transmission. BMC
infectious disease journal.
LIAW YI (2009) Natural history of chronic hepatitis B
virus infection and long-term outcome under treatment. Liver international journal, 29,
100-107.
MARVIN T (2010) Mengobati penyakit hepatitis B. Jakarta.
PAPAEVANGELOU G; KREMASTINOU T; KASKAROLIS D (1994)
Hepatitis B antigen and antibodi in maternal blood, cord blood and amniotic
fluid. Archives of disease in childhood
journal, 49.
S GEDE (2008) Penyakit infeksi. IN S ABDUL; RACHIMCHADI
T; WIKNJOSASTRO G (Ed.) Ilmu Kebidanan. empat
ed. Jakarta, PT BIna pustaka sarwono prawirodihardjo.
SERUDJI J; SULIN D (2004) Implantasi dan perkembangan
plasenta. IN R, H. (Ed.) Ilmu kedokteran
fetomaternal. 1 ed. Surabaya, Himpunan kedokteran fetomaternal perkumpulan
obstetri dan ginekologi indonesia.
SHARMA Y; MALIK A; RATTAN A; IRAQI A; MAHESWARI V; DHAWAN
R (1996) Hepatitis B virus infection in pregnant women and its transmission to
infants. journal of tropical pediatrics,
42.
SULAIMAN HA; SULAIMAN BS (2009) Perkembangan terkini
dalam diagnosis dan penatalaksanaan hepatitis B dan hepatitis C kronik. IN A,
S. A. S. B. S. A. L. I. S. (Ed.) Pendekatan
terkini hepatitis B dan C dalam praktik klinis sehari-hari. Jakarta, Sagung
seto.
T TRAM (2009) Management of hepatitis B in pregnancy:
Weighing the options. CLEVELAND CLINIC
JOURNAL OF MEDICINE, 76.
WISEMAN E; FRASSER MA; HOLDEN S; GLASS A; KIDSON BL;
HERON LG; MALEY MW; ET AL (2009) Perinatal transmission of hepatitis B virus:
an Australian experience. Medical Journal
of Australia, 190, 489-492.
ZOULIN F; MIMMS L; FLAVENANI M; ET AL (1992) New assay
for quantitative determination of viral markers in management of chronic
hepatitis B virus infection. Journal of
clinical microbiology, 30,
1111-1119.
teman2 boleh sharing pendapat dan referensi tentang hepatitis B pada kehamilan, boleh juga diskusi hehe...salam sukses darisaya acholder
BalasHapus