PERDARAHAN
UTERUS DISFUNGSIONAL
I.
PENDAHULUAN
Perdarahan
uterus diklasifikasikan berdasarkan dua etiologi utama, yaitu (1) Anatomik dan
(2) Fungsional. Perdarahan akibat kelainan anatomi dikenal sebagai perdarahan
uterus abnormal yang merupakan perdarahan akibat adanya kelainan organik berupa
lesi pada genitalia interna, antara lain tumor dan infeksi. Perdarahan uterus
yang disebabkan oleh adanya gangguan fungsional alat reproduksi disebut sebagai
perdarahan uterus disfungsional (dysfunctional uterine bleeding/DUB).1,2
Perdarahan
Uterus Disfungsional (PUD) merupakan perdarahan dari uterus yang tidak ada
hubungannya dengan sebab organik, kelainan sistemik (seperti kelainan faktor
pembekuan darah) maupun kehamilan. PUD adalah perdarahan pada endometrium dari
rahim yang tidak didalam siklus haid dan semata akibat dari gangguan fungsi
endokrin pada salah satu bagian dari sumbu hipotalamus – hipofisis – ovarium.1,3
Perdarahan uterus disfungsional (dysfunctional
uterine bleeding/DUB) merupakan diagnosis yang dibuat setelah diagnosis
lainnya disingkirkan (diagnosis eksklusi). Pemeriksaan abdomen dan pelvis serta
kuretase uterus yang adekuat, histeroskopi atau setidaknya biopsi endometrium
sangat penting untuk menyingkirkan penyakit organik pada uterus. Perdarahan
uterus disfungsional paling sering terjadi pada awal dan akhir masa menstruasi,
tetapi dapat terjadi pada usia manapun. Manifestasi klinis dapat berupa
perdarahan akut dan banyak, perdarahan ireguler, menoragia dan perdarahan
akibat penggunaan kontrasepsi.4,5,6,7
Berdasarkan gejala klinis perdarahan uterus disfungsional dibedakan
dalam bentuk akut dan kronis. Sedangkan secara kausal perdarahan uterus
disfungsional mempunyai dasar ovulatorik (10%) dan anovulatorik (70%).8
Perdarahan uterus disfungsional akut umumnya dihubungkan
dengan keadaan anovulatorik, tetapi perdarahan uterus disfungsional kronis
dapat terjadi pula pada siklus anovulatorik. Walaupun ada ovulasi tetapi pada
perdarahan uterus disfungsional anovulatorik ditemukan umur korpus luteum yang
memendek, memanjang atau insufisiensi. Pada perdarahan uterus disfungsional
anovulatorik, akibat tidak terbentuknya korpus luteum aktif maka kadar
progesteronnya rendah dan ini menjadi dasar bagi terjadinya perdarahan.8
Penderita perdarahan uterus disfungsional akut biasanya
datang dengan perdarahan banyak, sehingga cepat ditangani karena merupakan
keadaan gawat darurat dan memerlukan perawatan di rumah sakit. Sedangkan
perdarahan uterus disfungsional kronis dengan perdarahan sedikit-sedikit dan
berlangsung lama bukan merupakan keadaan gawat darurat. Meskipun tidak darurat
tetapi perdarahan uterus disfungsional kronis justru memerlukan perhatian yang
sungguh-sungguh sehubungan dengan dampak jangka panjang yang ditimbulkannya
seperti anemia sekunder, yang dapat menganggu fungsi reproduksi.8
Tujuan pengobatan adalah untuk mengendalikan
perdarahan akut, episode perdarahan dimasa datang, dan mencegah dampak
anovulasi yang serius pada jangka panjang yaitu kanker endometrium. Pengobatan
utama adalah terapi medis meskipun intervensi bedah dibutuhkan pada sebagian
kasus. Jika perdarahan berat, dan/atau berulang, atau pengobatan
medis gagal, maka diperlukan evaluasi ulang.5,8
II.
INSIDEN
Perdarahan disfungsional dapat terjadi pada setiap umur
antara menarche dan menopause. Tetapi, kelainan ini lebih sering dijumpai
sewaktu masa permulaan dan masa akhir fungsi ovarium. Keadaan ini terjadi pada
5 – 10 % pada wanita dengan usia reproduksi wanita yaitu pada menarche dan
menopause karena pada usia ini sering terjadi gangguan fungsi ovarium.
Dilaporkan lebih dari 50% terjadi pada masa premenopause (usia 40 – 50 tahun),
sekitar 20 % terjadi pada masa remaja (masa pubertas) yang pada umumnya dapat
sembuh sendiri, 30 % terjadi pada pada usia reproduktif serta cenderung terjadi
pada wanita dengan gangguan instabilitas emosional.3,6
III.
ETIOLOGI
Perdarahan uterus disfungsional biasanya disebabkan
oleh gangguan fungsi ovarium primer atau sekunder yang disebabkan adanya
kelainan pada salah satu tempat pada sistem sumbu hipotalamus – hipofisis –
ovarium dan jarang akibat dari gangguan fungsi korteks ginjal dan kelenjar
tiroid. Perdarahan uterus disfungsional umumnya merupakan keadaan anovulator
tetapi dapat juga terjadi pada keadaan ovulatoir bila ada defek pada fase
folikular atau fase luteal.7,9,10
Pada remaja keadaan ini disebabkan fungsi hipotalamus – hipofisis –
ovarium belum matang, serta pada keadaan yang menyertai obesitas atau pada
akhir dekade ke 4 dari seorang wanita. Kadang setelah 3 tahun pubertas sering
terjadi gangguan menstruasi karena gangguan respon ovarium terhadap FSH yang
akan mengakibatkan produksi estrogen berkurang sehingga endometrium tidak cukup
menerima rangsangan dan menimbulkan perdarahan. Pada masa klimakterium terjadi
penurunan kepekaan ovarium dari rangsangan gonadtropin dan terjadi peristiwa
anovulasi.1,2
Faktor resiko dari perdarahan uterus disfungsional meliputi umur 35 tahun
atau lebih ,obesitas, sindrom polikistik ovarium, endometriosis, penggunaan
estrogen dan progesterone jangka panjang dan hipertensi. Stres, diet, tidur
yang tidak teratur, bekerja berlebihan, latihan yang bertenaga, penyalahgunaan
alkohol dan obat-obatan dapat menyebabkan gangguan keseimbangan hormon dan akan
menyebabkan perdarahan uterus disfungsional.3,6
IV.
FISIOLOGI HAID
Haid (menstruasi) ialah perdarahan secara perodik dan siklik dari uterus,
disertai pelepasan (deskuamasi) endometrium sebagai tanda bahwa alat kandungan
menunaikan faalnya. Panjang siklus haid ialah jarak antara tanggal mulainya
haid yang lalu dan mulainya haid yang baru. Hari mulainya perdarahan dinamakan
hari pertama siklus. Panjang siklus haid yang normal atau siklus dianggap
sebagai siklus yang klasik ialah 28 hari, tetapi variasinya cukup luas, bukan
saja antara beberapa wanita tetapi juga pada wanita yang sama. Juga pada kakak
beradik bahkan saudara kembar, siklusnya selalu tidak sama. Lebih dari 90%
wanita mempunyai siklus menstruasi antara 24 sampai 35 hari.2,8
Lama haid biasanya antara 3-5 hari, ada yang 1-2 hari diikuti darah
sedikit-sedikit kemuadian, dan ada yang sampai 7-8 hari. Pada setiap wanita
biasanya lama haid itu tetap.dalam proses ovulasi harus ada kerjasama antara
korteks serebri, hipotalamus, hipofisis, ovarium, glandula tiroidea, glandula
suprarenalis dan kelenjar-kelenjar endokrin lainnya. Yang memegang peranan
prnting dalam proses tersebut adalah hubungan hipotalamus, hipofisis, dan
ovarium (hypothalamic-pituitary-ovarian
axis). Hipotalamus menghasilkan faktor yang disebut Gonadotropin Releasing Hormone (GnRH) karena dapat merangsang
pelepasan Luteinizing Hormone (LH)
dan Follicle Stimulating Hormone
(FSH) dari hipofisis.11
Gambar 1. Siklus Haid
Perubahan pada Ovarium dalam Siklus Haid
Siklus haid normal sehubungan dengan perubahan pada ovarium dibagi atas 2
fase dan 1 saat, yaitu fase folikuler, saat ovulasi, dan fase luteal. Tidak
lama setelah haid mulai, pada fase folikuler dini, beberapa folikel dalam
korteks ovarium berkembang diakibatkan pengaruh FSH yang meningkat. Akan tetapi
hanya satu yang tumbuh terus sampai menjadi matang menjadi folikel de Graaf.
Pada folikel yang matang ini, mula-mula sel-sel disekeliling ovum berlipat
ganda dan kemudian di antara sel-sel itu timbul suatu rongga yang berisi cairan
yang disebut likuor folikuli yang mengandung estrogen, dan siap untuk
berovulasi. Produksi estrogen meningkat selama berkembangnya folikel. Estrogen
menyebabkan umpan balik negatif terhadap FSH menyebabkan penurunan produksi
FSH, sedangkan terhadap LH estrogen yang dengan cepat mencapai puncaknya menyebabkan
umpan balik positif. Pada pertengahan siklus terjadi lonjakan LH (LH-surge) menyebabkan terjadinya ovulasi. Empat belas hari setelah terjadi
ovulasi, terjadi haid.11,12
Pada fase luteal, setelah ovulasi, sel-sel dari membran granulosa dan
teka interna yang tinggal pada ovarium membentuk korpus rubrum yang berwarna
merah oleh karena perdarahan pada waktu ovulasi, dan yang kemudian membentuk
vakuola dan bertumpuk pigmen kuning (lutein) yang dikenal sebagai korpus
luteum. Luteinized granulose cells
dalam korpus luteum membuat progesteron banyak, dan luteinized theca cells membuat pula estrogen yang banyak, sehingga
kedua hormon itu meningkat pada fase luteal. Mulai 10-12 hari setelah ovulasi
korpus luteum mengalami regresi berangsur-angsur disertai dengan berkurangnya
kapilar-kapilar dan diikuti oleh menurunnya sekresi progesteron dan estrogen.
Korpus luteum mulai berdegenerasi dan setelah 14 hari mengalami atrofi menjadi
korpus albikans (jaringan parut). Jika terjadi konsepsi, korpus lueum akan
dipelihara oleh hormon chorionic
gonadotropin (hCG) yang dihasilkan oleh sinsisiotrofoblas dari korion. Ini
dinamakan korpus luteum graviditatis dan berlangsung 9-10 minggu kehamilan.
Kemudian, fungsi itu diambil alih oleh plasenta.11,13
Gambar 2. Ovarium dalam Siklus Haid
Perubahan pada Endometrium dalam Siklus
Haid
Pada
tiap siklus haid dikenal 3 fase utama yang terjadi pada endometrium, yaitu :
a. Fase
menstruasi atau deskuamasi selama 2 sampai 8 hari.11,13
Pada fase ini endometrium dilepaskan
dari dinding uterus disertai perdarahan. Hanya statum basal yang tinggal utuh.
Darah haid mengandung darah vena dan arteri dengan sel-sel darah merah dalam
hemolisis atau aglutinasi. Pengeluaran hormon-hormon ovarium pada fase ini paling
rendah.
b. Fase
proliferasi sampai hari ke-14 siklus haid.11,13
Pada waktu itu
endometrium tumbuh kembali setebal ± 3,5 mm, disebut juga endometrium mengadakan
proliferasi. Fase proliferasi dibagi atas 3 subfase:
1. Fase
Proliferasi dini (early proliferation
phase)
2. Fase
Proliferasi madya (mid proliferation
phase)
3. Fase
Proliferasi akhir (late proliferation
phase)
c. Fase
sekresi. Fase ini mulai sesudah ovulasi dan berlangsung dari hari ke-14 sampai
ke-28.11,13
Pada ketika itu
korpus rubrum menjadi korpus luteum yang menghasilkan progesteron. Dibawah
pengaruh progesteron ini, kelenjar endometrium yang tumbuh berkeluk-keluk mulai
bersekresi dan mengeluarkan getah yang mengandung glikogen dan lemak. Pada akhir
masa ini stroma endometrium berubah kearah sel-sel desidua, terutama yang
berada diseputar pembuluh-pembuluh arterial. Perubahan ini adalah untuk
mempersiapkan endometrium menerima telur yang dibuahi. Fase sekresi dibagi
atas: 1) fase sekresi dini; dan 2) fase sekresi lanjut.11,13
Gambar 3. Endometrium dalam Siklus Haid
V.
PATOGENESIS
Pada siklus haid (ovulatoir)
terdapat perubahan yang dialami kelenjar-kelenjar, pembuluh darah, serta epitel
dari endometrium yang dipengaruhi oleh estrogen dan progesteron yang secara
bergiliran dihasilkan oleh folikel dan korpus luteum atas pengaruh dari
gonadtropin (FSH dan LH) yang dihasilkan oleh hipofisis setelah mengalami
rangsangan dari hipotalamus11
Perubahan anatomi dan fungsional
dari endometrium ini berulang kembali setiap 28 hari dan terdiri dari 3 fase :11
1. Fase menstruasi
2. Fase Proliferasi
3. Fase sekresi
Pada
perdarahan uterus disfungsional tidak ditemukan ketiga fase ini pada
pemeriksaan patologi anatomi berdasarkan kerokan pada endometrium. Sedangkan
pada fase anovulasi tidak terdapat fase sekresi dan fase persiapan untuk
implantasi, karena endometrium dipengaruhi oleh estrogen sehingga masih terjadi
fase proliferatif dan terjadi hyperplasia endometrium (endometrium menebal) dan
bahkan jika tidak ada pengaruh progesteron sedikitpun akan menyebabkan
miometrium ikut membesar dan uterus ikut mengalami pembesaran.8
Perdarahan
uterus disfungsional dapat berlatar belakang kelainan-kelainan ovulasi, suklus
haid, jumlah perdarahan dan anemia yang ditimbulkannya. Berdasarkan kelainan
tersebut maka perdarahan uterus disfungsional dapat dibagi seperti tabel 1.8
Tabel
1. Latar belakang kelainan perdarahan uterus disfungsional (PUD) dan bentuk
kelainannya8
Dasar Kelainan
|
Bentuk Klinis
|
Ovulasi
Siklus
Jumlah perdarahan
Anemia
|
PUD ovulatorik
PUD anovulatorik
Metroragia
Polimenorea
Oligomenorea
Amenorea
Menoragia
Perdarahan bercak prahaid
Perdarahan bercak paskahaid
PUD ringan
PUD sedang
PUD berat
|
Perdarahan uterus disfungsional biasanya berhubungan dengan
satu dari tiga keadaan ketidakseimbangan hormonal, berupa: estrogen
breakthrough bleeding, estrogen withdrawal bleeding dan progesterone
breakthrough bleeding.8,12
Pada
perdarahan uterus disfungsional ovulatorik perdarahan abnormal terjadi pada
siklus ovulatorik dimana dasarnya adalah ketidakseimbangan hormonal akibat umur
korpus luteum yang memendek atau memanjang, insufisiensi atau persistensi
korpus luteum. Perdarahan uterus disfungsional pada wanita dengan siklus
anovulatorik muncul sebagai perdarahan reguler dan siklik. Sedang pada
perdarahan uterus disfungsional anovulatorik perdarahan abnormal terjadi pada
siklus anovulatorik dimana dasarnya adalah defisiensi progesteron dan kelebihan
progesteron akibat tidak terbentuknya korpus luteum aktif, karena tidak
terjadinya ovulasi. Dengan demikian khasiat estrogen terhadap endometrium tak
berlawan. Hampir 80% siklus mens anovulatorik pada tahun pertama menars dan
akan menjadi ovulatorik mendekati 18-20 bulan setelah menars.14
Perdarahan
uterus disfungsional dikatakan akut jika jumlah perdarahan pada satu saat lebih
dari 80 ml, terjadi satu kali atau berulang dan memerlukan tindakan penghentian
perdarahan segera. Sedangkan perdarahan uterus disfungsional kronis jika
perdarahan pada satu saat kurang dari 30 ml terjadi terus menerus atau tidak
tidak hilang dalam 2 siklus berurutan atau dalam 3 siklus tak berurutan, hari
perdarahan setiap siklusnya lebih dari 8 hari, tidak memerlukan tindakan
penghentian perdarahan segera, dan dapat terjadi sebagai kelanjutan perdarahan
uterus disfungsional akut.8
VI.
GAMBARAN
KLINIK
5.1
Anamnesis
Pada
pasien yang mengalami perdarahan uterus disfungsional, anamnesis perlu
dilakukan untuk menegakkan diagnosis dan menyingkirkan diagnosis banding.
Tabel 2. Keluhan dan gejala4
Keluhan dan gejala
|
Masalah
|
−
Nyeri pelvik
−
Mual, peningkatan
frekuensi berkemih
−
Peningkatan berat badan,
fatique, gangguan toleransi terhadap dingin
−
Penurunan berat badan,
banyak keringat, palpitasi
−
Riwayat konsumsi obat
antikoagulan
Gangguan
pembekuan darah
−
Hirsutisme, akne,
akantosis nigricans, obesitas
−
Perdarahan pasca koitus
−
Galaktore, sakit kepala,
gangguan lapangan pandang
|
Abortus,kehamilan ektopik
Hamil
Hipotiroid
Hipertiroid
Koagulopati
Sindrom ovarium polikistik
Displasia serviks, polip
endoservik
Tumor hipofisis
|
Perdarahan
rahim abnormal yang terjadi bermacam-macam, seperti yang disebutkan di atas,
sebaiknya seorang wanita menyebutkan karakteristik dari perdarahan yang
terjadi. Dimulai dari waktu terjadinya, untuk menentukan apakah ini perdarahan
menstruasi atau di luar siklus mentruasi; jumlahnya, yang dapat digambarkan
dari bekuan darah yang terjadi (menandakan jumlah perdarahan yang banyak),
frekuensi penggunaan pembalut dalam sehari, bercak pada pakaian dalam, dan
tanda-tanda anemia.3,15
Adapun beberapa tipe perdarahan uterus disfungsional
adalah.4,9,15 :
a.
Polimenorea yaitu frekuensi
haid yang abnormal yang berlangsung setiap < 24 hari.
b.
Menoragia yaitu haid yang
berlebihan dan berkepanjangan ( > 80 ml dan > 7 hari) namun dengan siklus
yang normal.
c.
Metroragia yaitu episode
haid yang tidak beraturan.
d.
Menometroragia yaitu
perdarahan uterus yang tidak teratur dan jumlahnya berlebihan.
5.2
Pemeriksaan
Fisik
Pemeriksaan fisik pertama kali dilakukan untuk menilai
stabilitas keadaan hemodinamik, selanjutnya dilakukan pemeriksaan untuk : 3,4,15
a.
Menilai :
1.
Indeks masa tubuh, untuk
menentukan obesitas
2.
Tanda-tanda hiperandrogen
3.
Pembesaran kelenjar tiroid
atau manifestasi hipo/hipertiroid
4.
Galaktorea (kelainan
hiperprolaktinemia)
5.
Gannguan lapang pandang
(karena adenoma hipofisis)
6.
Faktor resiko keganasan
endometrium (obesitas, nulligravida, hipertensi, diabetes mellitus, riwayat
keluarga)
b.
Menyingkirkan :
1.
Kehamilan, kehamilan
ektopik, abortus, penyakit trofoblas
2.
Servisitis, endometritis
3.
Polip dan mioma uteri
4.
Keganasan servik dan uterus
5.
Gangguan pembekuan darah
Pemeriksaan
ginekologi yang teliti perlu dilakukan termasuk
pemeriksaan Pap smear dan dengan pemeriksaan palpasi abdomen dapat disingkirkan adanya mioma uteri dan keganasan.3,4,15
VII.
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan laboratorium berupa pemeriksaan
darah lengkap serta pemeriksaan kehamilan diperlukan pada kasus ini.
Pemeriksaan lain tergantung dari usia, status ovulasi, risiko PMS (Penyakit
Menular Seksual), dan risiko penyakit lain misalnya pap smear. Pemeriksaan
ultrasonografi transvaginal adalah pemeriksaan non-invasif dan membantu dalam
mendeteksi kelainan pada rahim, seperti polip, atau mengukur ketebalan
endometrium. Pemeriksaan ini dapat dilanjutkan dengan histeroskopi (memasukkan
teropong dalam rahim) atau biopsi endometrium (mengambil sedikit jaringan
endometrium) bila diperlukan.3,4,15,16
Biopsi
endometrium merupakan tes diagnostik yang paling sering digunakan. Ini membutuhkan
sampel yang adekuat untuk mendiagnosis masalah endometrium pada 90-100% kasus,
tapi dapat gagal untuk mendeteksi polyp
dan leiomyoma. Biopsi endometrium
diindikasikan untuk semua wanita dengan perdarahan uterus disfungsional
diatas 35, yaitu ketika resiko untuk berkembang kearah keganasan lebih tinggi.
Semua wanita dengan amenorea untuk satu tahun atau lebih yang menderita
perdarahan uterus sebaiknya dilakukan biopsi endometrium.10
VIII.
TERAPI
Tujuan
terapi adalah mengontrol perdarahan, mencegah perdarahan berulang, mencegah
komplikasi, mengembalikan kekurangan zat besi dalam tubuh, dan menjaga
kesuburan. Tatalaksana awal dari perdarahan akut adalah pemulihan kondisi
hemodinamik dari ibu. Pemberian estrogen dosis tinggi adalah tatalaksana yang
sering dilakukan. Regimen estrogen tersebut efektif di dalam menghentikan
episode perdarahan. Bagaimanapun juga penyebab perdarahan harus dicari dan
dihentikan. Apabila pasien memiliki kontraindikasi untuk terapi estrogen, maka
penggunaan progesteron dianjurkan.15
Untuk
perdarahan disfungsional yang berlangsung dalam jangka waktu lama, terapi yang
diberikan tergantung dari status ovulasi pasien, usia, risiko kesehatan, dan
pilihan kontrasepsi. Kontrasepsi oral kombinasi dapat digunakan untuk
terapinya. Pasien yang menerima terapi hormonal sebaiknya dievaluasi 3 bulan
setelah terapi diberikan, dan kemudian 6 bulan untuk reevaluasi efek yang
terjadi. Terapi operasi dapat disarankan untuk kasus yang resisten terhadap
terapi obat-obatan. Secara singkat langkah-langkah tersebut
dapat diuraikan sebagai berikut:8,15,16,17,18,19
1.
Perbaikan
keadaan umum
Pada
perdarahan yang banyak sering ditemukan keadaan umum yang buruk. Pada
perdarahan uterus disfungsional akut, anemia yang terjadi harus segera diatasi
dengan transfusi darah. Pada perdarahan uterus disfungsional kronis keadaan
anemia ringan seringkali dapat diatasi dengan diberikan sediaan besi, sedangkan
anemia berat membutuhkan transfusi darah.
2.
Penghentian
perdarahan
Pemakaian hormon steroid seks
a. Estrogen
Dipakai
pada perdarahan uterus disfungsional untuk menghentikan perdarahan karena
memiliki berbagai khasiat yaitu healing effect, pembentukan mukopolisakarida
pada dinding pembuluh darah, vasokonstriksi (karena merangsang prostaglandin), meningkatkan
pembentukan thrombin dan fibrin. Dosis pemberian estrogen pada perdarahan
uterus disfungsional adalah 25 mg IV setiap 4-6 jam untuk 24 jam diikuti dengan
oral terapi yaitu 1 tablet perhari selama 5-7 hari (untuk semua produk estrogen
dengan kandungan ≤ 35 mg ethynil estradiol).
b. Progestin
Berbagai
jenis progestin sintetik telah dilaporkan dapat menghentikan perdarahan.
Beberapa sedian tersebut antara lain noretisteron, MPA, megestrol asetat,
dihidrogesteron dan linestrenol. Noretisteron dapat menghentikan perdarahan
setelah 24-48 jam dengan dosis 20-30 mg/hari, medroksiprogesteron asetat dengan
dosis 10-20 mg/hari selama 10 hari, megestrol asetat dengan didrogesteron
dengan dosis 10-20 mg/hari selama 10 hari, serta linestrenol dengan dosis 15
mg/hari selama 10 hari.
c. Androgen Merupakan pilihan lain bagi
penderita yang tak cocok dengan estrogen dan progesteron. Sediaan yang dapat
dipakai antara lain adalah isoksasol (danazol) dan metil testosteron (danazol
merupakan suatu turunan 17-α-etinil-testosteron). Dosis yang diberikan adalah
200 mg/hari selama 12 minggu. Perlu diingat bahwa pemakaian jangka panjang
sediaan androgen akan berakibat maskulinisasi.
Pemakaian
penghambat sintesis prostaglandin.
Pada peristiwa perdarahan, prostaglandin penting peranannya
pada vaskularisasi endometrium. Dalam hal ini PgE2 dan PgF2α meningkat
secara bermakna. Dengan dasar itu, penghambat sintesis prostaglandin atau obat
anti inflamasi non steroid telah dipakai untuk pengobatan perdarahan uterus
disfungsional, terutama perdarahan uterus disfungsional anovulatorik. Untuk itu
asam mefenamat dan naproksen seringkali dipakai dosis 3 x 500 mg/hari selama
3-5 hari atau ethamsylate 500 mg 4 kali sehari terbukti mampu mengurangi
perdarahan.8,16
Pemakaian
antifibrinolitik
Sistem
pembekuan darah juga ikut berperan secara lokal pada perdarahan uterus
disfungsional. Peran ini tampil melalui aktivitas fibrinolitik yang diakibatkan
oleh kerja enzimatik. Proses ini berfungsi sebagai mekanisme pertahanan dasar
untuk mengatasi penumpukan fibrin. Unsur utama pada system fibrinolitik itu
adalah plasminogen, yang bila diaktifkan akan mengeluarkan protease plasmin.
Enzim tersebut akan menghambat aktivasi palsminogen menjadi plasmin, sehingga
proses fibrinolisis akhirnya akan terhambat pula. Sediaan yang ada untuk
keperluan ini adalah asam amino kaproat (dosis yang diberikan adalah 4 x 1-1,5
gr/hari selama 4-7 hari).8
Pengobatan
operatif
Jenis
pengobatan ini mencakup: dilatasi dan kuretase, ablasi laser dan histerektomi. Dilatasi
dan kuretase merupakan tahap yang ringan dari jenis pengobatan operatif pada
perdarahan uterus disfungsional. Tujuan pokok dari kuretase pada perdarahan
uterus disfungsional adalah untuk diagnostik, terutama pada umur diatas 35
tahun atau perimenopause. Hal ini berhubungan dengan meningkatnya frekuensi
keganasan pada usia tersebut. Tindakan ini dapat menghentikan perdarahan karena
menghilangkan daerah nekrotik pada endometrium. Ternyata dengan cara tersebut
perdarahan akut berhasil dihentikan pada 40-60% kasus. Namun demikian tindakan
kuretase pada perdarahan uterus disfungsional masih diperdebatkan, karena yang
diselesaikan hanyalah masalah pada organ sasaran tanpa menghilangkan kausa.
Oleh karena itu kemungkinan kambuhnya cukup tinggi (30-40%) sehingga acapkali
diperlukan kuretase berulang. Beberapa ahli bahkan tidak menganjurkan kuretase
sebagai pilihan utama untuk menghentikan perdarahan pada perdarahan uterus
disfungsional, kecuali jika pengobatan hormonal gagal menghentikan perdarahan.8,10,16
Pada
ablasi endometrium dengan laser ketiga lapisan endometrium diablasikan dengan
cara vaporasi neodymium YAG laser. Endometrium akan hilang permanen, sehingga
penderita akan mengalami henti haid yang permanen pula. Cara ini dipilih untuk
penderita yang punya kontraindikasi pembedahan dan tampak cukup efektif sebagai
pilihan lain dari histerektomi, tetapi bukan sebagai pengganti histerektomi.8,10,16
Tindakan
histerektomi pada penderita perdarahan uterus disfungsional harus memperhatikan
usia dan paritas penderita. Pada penderita muda tindakan ini merupakan pilihan
terakhir. Sebaliknya pada penderita perimenopause atau menopause, histerektomi
harus dipertimbangkan bagi semua kasus perdarahan yang menetap atau berulang.
Selain itu histerektomi juga dilakukan untuk perdarahan uterus disfungsional
dengan gambaran histologis endometrium hiperplasia atipik dan kegagalan
pengobatan hormonal maupun dilatasi dan kuretase. Histerektomi mempunyai
tingkat mortalitas 6/ 10.000 operasi. Satu penelitian menemukan bahwa
histerektomi berhubungan dengan tingkat morbiditas dan membutuhkan waktu
penyembuhan yang lebih lama dibanding ablasi endometrium. Beberapa studi
sebelumnya menemukan bahwa fungsi seksual meningkat setelah histerektomi dimana
terdapat peningkatan aktifitas seksual. Histerektomi merupakan metode popular
untuk mengatasi perdarahan uterus disfungsional, terutama di negara-negara
industri.8,10,16
3.
Mengembalikan
keseimbangan fungsi hormon reproduksi
Usaha ini meliputi pengembalian siklus haid abnormal menjadi
normal, pengubahan siklus anovulatorik menjadi ovulatorik atau perbaikan
suasana sehingga terpenuhi persyaratan untuk pemicuan ovulasi.
Siklus ovulatorik
Perdarahan uterus
disfungsional ovulatorik secara klinis tampil sebagai polimenorea,
oligomenorea, menoragia dan perdarahan pertengahan siklus, perdarahan bercak
prahaid atau pasca haid. Perdarahan pertengahan siklus diatasi dengan estrogen
konjugasi 0,625-1,25 mg/hari atau etinilestradiol 50 mikrogram/ hari dari hari
ke 10 hingga hari ke 15. Perdarahan bercak prahaid diobati dengan progesteron
(medroksi progestron asetat atau didrogestron) dengan dosis 10 mg/hari dari
hari ke 17 hingga hari ke 26. Beberapa penulis menggunakan progesteron dan
estrogen pada polimenorea dan menoragia dengan dosis yang sesuai dengan
kontrasepsi oral, mulai hari ke 5 hingga hari ke 25 siklus haid.8
Siklus
anovulatorik
Perdarahan uterus disfungsional anovulatorik mempunyai dasar
kelainan kekurangan progesteron. Oleh karena itu pengobatan untuk mengembalikan
fungsi hormon reproduksi dilakukan dengan pemberian progesteron, seperti
medroksi progesterone asetat dengan dosis 10-20 mg/hari mulai hari ke 16-25
siklus haid. Dapat pula digunakan didrogesteron dengan dosis 10-20 mg/hari dari
hari 16-25 siklus haid, linestrenol dengan dosis 5-15 mg/hari selama 10 hari
mulai hari hari ke 16-25 siklus haid. Pengobatan hormonal ini diberikan untuk 3
siklus haid. Jika gagal setelah pemberian 3 siklus dan ovulasi tetap tak
terjadi, dilakukan pemicuan ovulasi. Pada penderita yang tidak menginginkan
anak keadaan ini diatur dengan penambahan estrogen dosis 0,625-1,25 mg/hari
atau kontrasepsi oral selama 10 hari, dari hari ke 5 sampai hari ke 25.8
4.
Penanganan
terapi berdasarkan usia
PUD banyak dijumpai pada usia perimenars,
usia reproduksi, dan usia perimenopause. Pilihan terapi dapat berbeda
tergantung pada usia dimana terjadi gangguan perdarahan uterus disfungsional.
PUD pada Usia Perimenars
Usia perimenars adalah usia sejak terjadinya menars (rata-rata
11 tahun) hingga memasuki usia reproduksi, yang biasanya berlangsung sampai 3-5
tahun setelah menars dan ditandai dengan siklus yang tidak teratur baik lama
maupun jumlah darahnya. PUD pada usia ini pada umumnya terjadi pada siklus
anovulatorik, yaitu sebanyak 95-98%. Diagnosis anovulasi dan analisa hormonal
tidak perlu dilakukan, kecuali bila PUD terjadi pada siklus haid 21-35 hari.
Perlu diketahui bahwa pada usia perimenars jarang terjadi
ovulasi. Siklus haidnya anovulatorik. Tanpa pengobatan ovulasi akan terjadi
spontan. Selama perdarahan yang terjadi tidak berbahaya, atau tidak menggangu
keadaan pasien, maka tidak perlu dilakukan tindakan apapun. Pengobatan baru
diberikan bila gangguan yang terjadi sudah 6 bulan atau 2 tahun setelah menars
belum juga dijumpai siklus haid yang berovulasi. Pengobatan harus diberikan
bila perdarahan yang terjadi sampai membuat keadaan umum pasien menjadi buruk,
atas permintaan pasien, atau bila sampai menimbulkan gangguan psikis.
Pada keadaan yang tidak akut dapat diberikan
antiprostaglandin, antiinflamasi nonsteroid, atau asam traneksamat. Pemberian
tablet estrogen-progesteron kombinasi, atau tablet progesteron saja maupun
analog GnRH (agonis atau antagonis) hanya bila dengan obat-obat tersebut diatas
tidak memperlihatkan perbaikan.
Pada keadaan akut, dimana Hb < 8 gr%, maka pasien harus
dirawat dan diberikan transfusi darah. Untuk mengurangi perdarahan diberikan
sediaan estrogen-progesteron kombinasi, misalnya 17β estradiol 2x2 mg, atau
estrogen equin konjugasi 2x1,25 mg, atau estropipete 1x1,25 mg dikombinasikan
dengan noretisteron asetat 2x5 mg, didrogesteron 2x10 mg atau
medroksiprogesteron asetat (MPA) 2x10 mg atau juga dapat diberikan normegestrol
asetat 2x5 mg dan cukup diberikan selama 3 hari. Yang paling mudah adalah
pemberian pil kontrasepsi kombinasi selama 3 hari.
Pengobatan dikatakan berhasil bila perdarahan yang terjadi
berhenti atau berkurang, dan 3-4 hari setelah pengobatan dihentikan akan
terjadi perdarahan lucut. Pada wanita yang dijumpai gangguan psikis, pengobatan
serupa dapat diteruskan selama 18 hari. Setelah perdarahan akut dapat diatasi
maka tindakan selanjutnya adalah pengaturan siklus misalnya pemberian tablet progesteron
dari hari ke 16-25 selama 3 bulan. MPA atau didrogesteron dosisnya cukup 10
mg/hari, sedangkan noretisteron asetat cukup 5 mg/hari.
Jika perdarahan tetap saja tidak teratasi,
atau bila setelah dilakukan pengaturan siklus terjadi lagi perdarahan akut,
maka perlu dipikirkan adanya kelainan organik. Selama siklus haid belum
berovulasi, perdarahan akut berulang tetap ada. Pemberian obat-obat pemicu
ovulasi kurang bermanfaat, bahkan banyak ahli tidak menganjurkan pemberian obat
pemicu ovulasi.
PUD pada Usia Reproduksi
PUD pada usia ini dapat terjadi pada siklus
yang berovulasi (65%) dan pada siklus yang tidak berovulasi. Penyebabnya belum
diketahui secara pasti. Analisa hormonal hampir selalu normal. diduga
terjadinya gangguan sentral (disregulasi) akibat adanya gangguan psikis. Untuk
mengetahui ada tidaknya ovulasi dapat dilakukan dengan pemeriksaan suhu basal
badan (SBB), sitologi vagina atau analisa hormonal (FSH, LH, Estradiol,
Prolaktin, dan Progesteron). Pada wanita > 35 tahun harus dilakukan tindakan
D&K untuk menyingkirkan keganasan.
Pada keadaan akut, penanganannya seperti penaganan PUD pada
usia perimenars. Setelah perdarahan akut dapat diatasi, tindakan selanjutnya
adalah pengaturan siklus, dan caranya sama seperti pada usia perimenars. Namun
setelah pengaturan siklus 3 bulan pada PUD usia reproduksi, maka perlu dicari
penyebab anovulatorik. Harus diusahakan siklus haid yang berovulasi, karena
selama siklus haid belum berovulasi, PUD akan berulang kembali. Obat-obat
pemicu ovulasi yang dapat diberikan berupa klomifen sitrat, epimestrol, atau
hormon gonadotropin.
PUD pada siklus yang berovulasi umumnya lebih
ringan dan jarang sampai akut. PUD yang terjadi paling sering berupa perdarahan
bercak (spotting) pada pertengahan siklus. Pengobatannya dapat diberikan 17β
estradiol 1x2 mg, atau estrogen equin konjugasi 1x1,25 mg, atau estropipete
1x1,25 mg, dari hari ke 10-15 siklus haid. Pada perdarahan bercak prahaid dapat
diberikan MPA 1x10 mg, didrogesteron 1x10 mg atau noretisteron asetat 1x5 mg,
atau juga normegestrol asetat 1x5 mg, yang diberikan mulai hari ke 16-25
siklus, sedangkan perdarahan bercak pasca haid dapat diberikan 17β estradiol
1x2 mg, atau estrogen equin konjugasi 1x1,25 mg, atau estropipete 1x1,25 mg.
Jika sulit mendapatkan tablet estrogen maupun progrsteron, dapat diberikan pil
kontrasepsi kombinasi, namun pemberiannya diberikan sepanjang siklus haid.
PUD pada Usia Perimenopause
Perimenopause adalah usia antara masa
pramenopause dan pascamenopause, yaitu sekitar menopause (usia 40-50 tahun).
PUD pada usia ini hampir 95% terjadi pada siklus yang tidak berovulasi (folikel
persisten). Perlu dilakukan analisa hormonal. Kadar FSH > 35 mIU/ml
menunjukkan pasien telah memasuki usia perimenopause, sedangkan pada kadar
estradiol yang tinggi dapat menyebabkan terjadinya penebalan endometrium. Kadar
prolaktin yang tinggi perlu dicurigai adanya prolaktinoma. Kadar normal 17-β
estradiol pada fase folikuler adalah 39-189 pg/ml, pada saat puncak ovulasi
94-508 pg/ml, pada fase luteal 48-309 pg/ml, sedangkan pada pascamenopause
adalah kurang dari 20-41 pg/ml. perlu diketahui bahwa analisa hormonal dapat
menunjukkan hasil yang normal.
Setiap perdarahan atau gangguan haid yang
terjadi pada usia perimenopause harus dipikirkan adanya keganasan pada
endometrium. Pada keadaan tidak akut, pasien dipersiapkan untuk dilakukan
tindakan D&K. perubahan pada endometrium juga dapat dilihat pada USG. Bla
ditemukan ketebalan endometrium lebih dari 5 mm berarti telah terjadi hiperplasia
endometrium. Namun untuk mengetahui ada tidaknya keganasan pada endometrium
tindakan D&K tetap yang terbaik.
Jika hasil pemeriksaan patologi anatomi
menggambarkan suatu hiperplasia kistik, atau hiperplasia adenomatosa, maka
pertama kali dapat dicoba pemberian progesteron seperti MPA dengan dosis 3x10
mg/hari selama 6 bulan, atau dapat juga diberikan depo medroksiprogesteron
asetat (DMPA).
Dewasa ini banyak pemberian analog GnRH
selama 6 bulan yang dapat diberikan intramuskuler ataupun subkutan, untuk
pengobatan hiperplasia endometrium dan hasilnya jauh lebih baik dibandingkan
pemberian progesteron. Setelah pengobatan dengan progesteron maupun dengan
analog GnRH selesai, harus dilakukan D&K ulang untuk melihat hasil
pengobatan. D&K ulang dilakukan setelah pasien mendapat haid normal
kembali, atau bila setelah pengobatan terjadi lagi perdarahan yang abnormal.
Bila tidak ditemukan lagi hiperplasia, maka pasien yang mendapat pengobatan
dengan progesteron tablet, dilanjutkan dengan tablet MPA 3x10 mg, 2 kali per
minggu selama 6 bulan, sedangkan pasien yang mendapatkan DMPA atau analog GnRH
tidak mendapatkan pengobatan lanjutan. Tindakan selanjutnya setelah selesai
pengobatan adalah mengatur kembali siklus haid seperti pengaturan siklus haid
pada usia reproduksi.
Bila hasil D&K ulang tidak menunjukkan
adanya perubahan terhadap pengobatan dengan progesteron maupun analog GnRH,
pasien dianjurkan untuk histerektomi. Pada hiperplasia atipik juga sebaiknya
dilakukan histerektomi, dan pada wanita yang menolak histerektomi dapat diberikan
progesteron maupun analog GnRH, namun perlu pengawasan ketat dan jangan sampai
tidak melakukan D&K ulang
PUD akut pada usia perimenopause
penanganannya sama dengan PUD akut yang terjadi pada usia reproduksi. Namun
setelah keadaan akut teratasi, maka tetap harus dilakukan D&K. penanganan
selanjutnya sangat bergantung dari hasil patologi anatomi yang diperoleh
IX.
DIAGNOSIS BANDING
Diagnosis banding dari
perdarahan uterus disfungsional adalah :4,14
a. Abortus
Abortus merupakan pengakhiran
kehamilan sebelum janin mencapai berat 500 gram atau kurang dari 20 minggu.
Pasien datang dengan keluhan perdarahan pervaginam setelah mengalami haid
terlambat. Dan sering terdapat rasa mules. Riwayat hasil Plano tes (+) ada.
Pada perdarahan uterus disfungsional tidak ditemukan adanya gejala-gejala
tersebut.
b. Mioma uteri
Mioma uteri merupakan tumor
jinak pada uterus yang berasal dari otot polos dan jaringan ikat. Pada mioma
uteri pasien datang dengan keluhan adanya benjolan pada perut bagian bawah dan
disertai adanya gangguan siklus haid.
c. Hipotiroid/hipertiroid
Pada hipotiroid pasien
mengeluh adanya peningkatan berat badan, fatique dan gangguan toleransi
terhadap dingin. Lain halnya dengan hipertiroid, pasien datang dengan keluhan
penurunan berat badan, banyak keringat dan palpitasi Semua gejala-gejala
tersebut tidak ditemukan pada perdarahan uterus disfungsional.
X.
KOMPLIKASI
Perdarahan
uterus disfungsional yang lama dan berat dapat menyebabkan anemia defisiensi
besi pada 30% individu. Ketidakseimbangan hormonal yang berkelanjutan yang
mungkin menghambat ovulasi dapat menyebabkan infertilitas. Pada 1-2% individu
dengan ketidakseimbangan estrogen dan progesteron yang kronik, akan
meningkatkan resiko terjadinya kanker endometrium.3,21
XI.
PROGNOSIS
Pada
dasarnya keseimbangan hormonal akan dicapai dengan pengobatan yang tepat.
Meskipun terapi medikal digunakan pertama kali, lebih dari setengah wanita
dengan menoragia akan melakukan histerektomi dalam waktu 5 tahun di
ginekologist. Beberapa pasien yang menggunakan kontrasepsi transvaginal sebagai
manajemen perdarahan uterus disfungsional dapat mengalami 89-95% perbaikan. Jika
kehamilan diinginkan, infertilitas dapat diatasi dengan obat fertilitas.
Sebaliknya, bila kehamilan tidak diinginkan dan penatalaksanaan konserfatif
tidak efektif, ablasi endometrial dapat mengurangi perdarahan uterus yang
berlebihan sampai 88%. Ablasi endometrial efektif untuk jangka pendek, dan 48
bulan setelah ablasi ,29% individu memerlukan prosedur lain.3,21
DAFTAR
PUSTAKA
1. Novak
ER, Jones GS, Jones HW. Abnormal Uterine Bleeding. In: Novak’s Texbook of
Gynecology seventh edition. Baltimore: The Williams & Wilkins Company;
1965.
2. Liu JH, Kessel B. Practical Evaluation of
Amenorrhea and Abnormal Uterine Bleeding. In: Infertility Evaluation and
Treatment. United States of America: W. B. Saunders Company; 1995.
3. Dysfunctional
Uterine Bleeding. Cited 2010 June 1st.
Available from : www.mdguidelines.com
4. Hestiantoro, Andon. Panduan Tata Laksana
Perdarahan Uterus Disfungsional. Bandung: Perkumpulan Obsteri dan Ginekologi
Indonesia: 2007.
5. Perdarahan Uterus Disfungsional dan Strategi
Penatalaksanaanya. Cited July 1st. Available from : medic-care.blogspot.com
6. Pinkerton, Joan V. Dysfunctional Uterine
Bleeding. Whitehouse Station , USA;2008. Cited 2010 July 1st..
Available from : www.merck.com
7.
Toaff,
Michael E. Dysfunctional Uterine Bleeding. In: Alternatives to Hysterectomy.Britannica,
2009. Cited 2010 July 1st. Available from : www.
Britannicamedical.com
8. Perdarahan Uterus Disfungsional. Cited 2010
July 1st. Available from : digilib.unsri.ac.id
9.
Widjanarko,
Bambang. Perdarahan Uterus Disfungsional. In : Pendidikan Klinik Obstetri
Ginekologi. 2009. Cited 2010 July 1st. Available from : obfkumj.blogspot.com
10. Mayeaux, E.J Dysfunctional Uterine
Bleeding.2005. Cited 2010 July 1st. Available from : www.sh.lsuhsc.edu
11. Wiknjosastro, Hanifa. Perdarahan Bukan Haid. In: Hanifa Wiknjosastro ed. Ilmu Kandungan edisi kedua. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo; 2005.
12. Speroff L,
Fritz MA. Dysfunctional Uterine Bleeding. In: Clinical Gynecologic
endocrinology and Infertility seventh edition. United States of America: Lippincott Williams & Wilkins;
2005.
13. Wiknjosastro, Hanifa. Anatomi dan Fisiologi Alat-Alat Reproduksi. In: Hanifa Wiknjosastro ed. Ilmu Kebidanan edisi ketiga. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo; 2006.
14.
Mansjoer, Arif. Perdarahan Uterus
Disfungsional. In : Arif Mansjoer ed. Kapita Selekta Kedokteran edisi ketiga. Jakarta:
Media Aesculapius Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2001.
15. Susantha, Inyoman R. Perdarahan Rahim Disfungsional.
Gianyar, Bali;2009. Cited 2010 July 1st. Available from :
nyomanrudi.blogspot.com
16. Casper, Robert F. Dysfunctional Uterine Bleeding.
Cited 2010 July 1st. Available from : www.ncbi.nlm.nih.gov
18. Sidhu, Simmi. Estrogen Based Therapy for
Acute Dysfunctional Uterine Bleeding. In : Focus Patient Care. 2006. Cited 2010
July 1st. Available from : www.pharmacists.ca
19. Kase, Nathan G., Benjamin Sandler., et.al.
Normal and Abnormal Menstruation. In : Nathan G Kase, Allan B Weingold, David M
Gershenson. eds. Principle and Practice of Clinical Gynecology second edition.
United States of America; 1990
20.
Baziad A. Gangguan Haid. In :
Endokrinologi Ginekologi edisi ketiga. Jakarta: : Media
Aesculapius Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2008.
21. Estephan, Amir. Dysfunctional Uterine
Bleeding. 2010. Cited 2010 July 1st. Available from : www.medscape.com