Minggu, 01 Juli 2012

KONTRASEPSI PASCA MOLA HIDATIDOSA


I.       PENDAHULUAN
Penyakit trofoblas, pada hakikatnya merupakan kegagalan fungsi reproduksi. Di sini kehamilan tidak berkembang menjadi janin yang sempurna, melainkan  berkembang menjadi keadaan yang patologik yang terjadi pada minggu-minggu pertama kehamilan, berupa degenerasi hidropik dari jonjot khorion, sehingga menyerupai gelembung yang disebut mola hidatidosa. Penderita dengan mola hidatidosa ditangani dengan cara pengeluaran jaringan mola baik dengan menggunakan vakum kuretase ataupun dengan cara histrektomi terutama umur tua dan paritas tinggi yang merupakan faktor predisposisi untuk  terjadinya keganasan.1
Setelah dilakukan evakuasi, dianjurkan uterus beristirahat 4 – 6 minggu dan penderita disarankan untuk tidak hamil selama 12 bulan. Diperlukan kontrasepsi yang adekuat selama periode ini. Pasien dianjurkan untuk memakai kontrasepsi oral, sistemik atau barier selama waktu monitoring. Pemberian pil kontrasepsi berguna dalam 2 hal yaitu mencegah kehamilan dan menekan pembentukan LH oleh hipofisis yang dapat mempengaruhi pemeriksaan kadar HCG. Pemasangan alat kontrasepsi dalam rahim (AKDR) tidak dianjurkan sampai dengan kadar HCG tidak terdeteksi karena terdapat resiko perforasi rahim jika masih terdapat mola invasif. Penggunaan pil kontrasepsi kombinasi dan terapi sulih hormon dianjurkan setelah kadar hCG kembali normal.1,2,3

II.                PENGERTIAN MOLA HIDATIDOSA
Mola hidatidosa adalah suatu keadaan patologik dari villi korialis  yang terdiri dari berbagai tingkat proliferasi trofoblas dan edema stroma villi. Mola hidatidosa biasanya mengisi seluruh kavum uteri. Tetapi meskipun jarang dapat terjadi di tuba fallopi atau bahkan di ovarium.1,3

III.             INSIDENSI
Angka insidensi mola hidatidosa terjadi berkisar 1 : 1000 pada wanita hamil di Amerika Serikat dan Eropa.  Angka di Indonesia umumnya berupa data Rumah Sakit, untuk mola hidatidosa berkisar antara 1 : 50 sampai 1 : 141 kehamilan. Pada penelitian lain ditemukan angka untuk mola hidatidosa 2,47 : 1000 atau 1 : 405 persalinan. Angka ini jauh lebih tinggi dari pada Negara – Negara barat, dimana insidensinya berkisar 1 : 1000 sampai 1 : 2500. Sedangkan mola partialis lebih jarang ditemukan. Faktor-faktor lain yang berhubungan dengan mola seperti kehamilan yang keberapa, status estrogen, pemakaian kontrasepsi oral, dan faktor-faktor diet masih belum jelas.2,4,5
Insidensi mola hidatidosa meningkat pada wanita dengan usia 15 tahun atau lebih muda atau pada usia 45 tahun atau lebih tua. Pada usia tersebut insidenya meningkat sebanyak 10 kali dibandingkan dengan usia 20 sampai 40 tahun. Wanita dengan adanya riwayat mola juga merupakan faktor resiko terjadinnya mola hidatidosa pada kehamilan selanjunya. Berdasarkan hasil penelitian ditemukan bahwa frekuensi wanita yang rekurensi menderita mola sebanyak 1,3 % . 3

IV.             PATOGENESIS
Perkembangan Awal Plasenta
Hertig (1962) mengamati bahwa paling dini 72 jam setelah fertilisasi, blastula 58 sel akan berdifferensiasi menjadi 5 sel yang akan menjadi embrio dan 53 sel lainnya akan menjadi trofoblas. Walaupun trofoblas tidak dapat diidentifikasi sebelum nidasi dari sel telur akan tetapi kedua macam sel diatas serta sinsitiotrofoblas telah terlihat pada awal implantasi dari blastosis. Pada keadaan tertentu dapat dilihat bahwa sekresi dari chorionic gonadotropin (HCG) dapat dihasilkan oleh blastosis sebelum terjadinya implantasi. Segera setelah implantasi, trofoblas akan berproliferasi dengan cepat dan masuk di sekitar desidua. Dengan sifatnya yang sitolitik dan invasif, pada gambaran histologik, bila dilihat sifat vakuolisasi sitoplasma dan ultrastrukturnya maka terlihat menyerupai khoriokarsinoma. Setelah invasi kedalam endometrium, maka segera diikuti dengan masuknya pembuluh – pembuluh darah ibu ke dalam vakuol sitoplasma, dan vakuol sitoplasma itu akan menjadi satu lubang yang lebih besar (lacunae) dan berisi darah ibu. Lacuna – lacuna ini kemudian akan bersatu menjadi bentukan yang lebih rumit dan masing – masing dipisahkan dengan sekat – sekat yang terdiri dari sel – sel trofoblas. Bentukan – bentukan diatas akan menjadi awal dari ruang intervillous dan tangkai villous primer.3,4

Villi Khorionik
Villi dapat dilihat dalam plasenta manusia sekitar hari ke 12 setelah fertilisasi. Pada saat trofoblas tumbuh dan masuk ke dalam jaringan mesenkim dan diduga berasal dari sinsitiotrofoblas maka berhentilah villi sekunder. Setelah pembentukan pembuluh darah (angiogenesis) pada mesenkim maka terbentuklah villi tersier. Sinus venosus ibu akan dirasuk lebih dulu, tetapi sampai hari ke 14 – 15 setelah fertilisasi, darah arteri ibu masih belum masuk ke dalam ruang intervillous. Baru pada hari ke 17 darah ibu dan anak akan berfungsi dan sirkulasi plasenta dapat dikenal.  Sirkulasi darah janin akan menjadi lengkap apabila sistem peredaranan darah embrio telah berhubungan dengan sistem peredaran darah korion yang terjadi dalam sitotropoblas. Pada keadaan tertentu, beberapa tidak terbentuk angiogenesis sehingga tidak ada sirkulasi darah dan villi – villi akan terisi cairan dan membentuk vesikel – vesikel. Bila proses ini berlanjut, maka akan berkembang menjadi Mola hidatidosa.3,16
Sekitar hari ke 18 dan 19 dari saat fertilisasi, blastosit sudah berdiameter 6 x 2,5. Pada saat ini embrio sampai pada stadium primitif. Lapisan trofoblas tebal dengan villi yang terbentuk dari tonjolan sitotrofoblas yang pada bagian tengah mesoderm tumbuh sistem pembuluh darah, dan bagian luar dilapisi oleh sinsitiotrofoblas dan sinsitium. Embrio sebenarnya terdiri atas tiga lapisan yaitu endoderm yang merupakan kelanjutan  pertumbuhan dari kantung kuning telur. Lapisan tengah yaitu mesoderm intraembrio dapat ditelusuri dan dijumpai pada mesoderm ekstraembrionik.Akhirnya terbentuk sebagian dinding amnion dan kantung kuning telur yang merupakan struktur embrio yang dihubungkan ke mesoderm khorion dengan body stalk (ini merupakan asal usul tali pusat).  Trofoblas dibedakan menjadi sel – sel berbentuk kubus atau mendekati bundar dengan sitoplasma yng terang dan inti – inti vesikuler yang berwarna terang (sitotrofoblas) dan bagian luar sinsitium yang berisi banyak inti yang berwarna gelap menyebar di dalam sitoplasma yang disebut sebagai sinsitiotrofoblas.3
 


Gambar 1. Implantasi blastosit. A. Hari ke 10 B. Hari ke 12 setelah fertilisasi. Pada tahap ini terjadi hubungan antara lacuna dengan pembuluh darah di endometrium. Pada tahap ini terdapat kavitas yang besar pada mesodermal ekstraembrionik  yang merupakan pembentukan awal dari ekstraembrionik coelom. Terdapat sel estraembrionik endodermal yang merupakan bentuk awal dari yolk sac (dikutip dari kepustakaan 3)
 





Walaupun penyakit ini sudah dikenal sejak abad keenam, tetapi sampai sekarang belum diketahui dengan pasti penyebabnya.
1.      Teori missed abortion
Mudigah mati pada kehamilan 3 – 5 minggu (missed abortion). Karena itu terjadi gangguan peredaran darah sehingga terjadi penimbunan cairan dalam jaringan mesenkim dari villi dan akhirnya terbentuklah gelembung – gelembung.
Menurut Reynolds, kematian mudigah itu disebabkan kekurangan gizi berupa asam folik dan histidine pada kehamilan hari ke 13 dan 21. Hal ini kemudian menyebabkan gangguan angiogenesis.­1,2
2.      Teori Neoplasma dari Park
Menyatakan bahwa yang abnormal adalah sel -  sel trofoblas, yang mempunyai fungsi abnormal juga, dimana terjadi resorpsi cairan yang berlebihan ke dalam villi sehingga timbul gelembung. Hal ini menyebabkan gangguan peredaran darah dan kematian mudigah.1,2



3.      Teori dari Acosta Sison
Menyatakan bahwa defisiensi protein dapat menyebabkan mola hidatidosa, karena kenyataan membuktikan bahwa penyakit ini lebih banyak ditemukan pada wanita dari golongan sosial ekonomi rendah.16
4.      Teori Cosanguity
Dalam teori ini dianggap bahwa kelainan tersebut karena pembuahan sebuah sel telur dimana intinya telah hilang atau tidak aktif lagi oleh sebuah sel sperma yang mengandung 23 x (haploid) kromosom, kemudian membelah menjadi 46 xx, sehingga mola hidatidosa bersifat homozygote, wanita dan androgenesis. Kadang – kadang terjadi pembuahan oleh dua sperma, sehingga terjadi 46 xx tau 46 xy.(1,2,5) Ada beberapa teori yang diajukan untuk menerangkan patogenesis dari penyakit trofoblas.1,2,3

V.          KLASIFIKASI
Mola hidatidosa dapat diklasifikasikan menjadi dua yaitu Complete Mole dan Partial Mole. Menurut Vassilakos, Complete Mole dan Partial Mole merupakan kesatuan yang berbeda, antara keduanya ada perbedaan klinik, histopatologik, sitogenik, maupun prognostik.3,4,5
1.      Mola hidatidosa Komplit ( Complete Mole)
Yaitu kehamilan yang berkembang tidak wajar dimana tidak ditemukan janin dan hampir seluruh villi korialis mengalami perubahan hidropik. Villi korialis diubah menjadi gelembung – gelembung bening. Gelembung yang besarnya berbeda – beda, ada yang hampir tidak terlihat dan ada yang diameternya beberapa sentimeter. Massa tersebut dapat tumbuh besar dan mengisi uterus yang besarnya sama dengan kehamilan normal.17,18
Gambaran Makroskopik :
Secara makroskopik mola hidatidosa mudah dikenal yaitu berupa gelumbung – gelembung putih, tembus pandang, berisi cairan jernih, dengan ukuran bervariasi dari beberapa millimeter sampai satu atau dua sentimeter.1,3,17


2.      Mola hidatidosa Inkomplit (Partialis Mole)
yaitu bila perubahan mola hanya fokal, dan tidak berlanjut, dan terdapat janin atau setidaknya kantung amnion.1,11
Gambaran histopatologik:
Terdapat pembengkakan villi yang yang kemajuannya lambat, sedangkan villi yang mengandung pembuluh darah yang lain yang berperan dalam sirkulasi feto plasental. Hiperplasia trofoblas hanya fokal, tidak menyeluruh.1,3,9

Perbandingan antara Mola Hidatidosa Komplit dan Inkomplit

Komplit
Inkomplit
Karyotype
Diploid (46,XX or 46,XY)
Triploid (69,XXX or 69,XXY)
Embrio
Tidak ada
Ada
Villi
Hidrofik
Sedikit hidrofik
Trofoblas
Hiperplasia difus
Hiperfplasia fokal
Sisi-implantasi tropoblast
Atipia difus
Atipia fokal
RBCs fetus
Tidak ada
Ada
Hcg
High (> 50,000)
Slight elevation (< 50,000)
Gejala klinis yang ditimbulkan
Selalu ada
Jarang
Resiko untuk terkenanya tumor gestasional
20–30%
< 5%
Tabel 1. Perbedaan Mola komplit dan Mola inkomplit.
(Dikutip dari kepustakaan  8,10,14)
Gambar 2. Mola Hidatidosa Komplit
(Dikutip dari kepustakaan 3)
                                                     
Gambar 3. Mola Hidatidosa Inkomplit
(Dikutip dari kepustakaan 16)

Gambar 4. Gambaran histologik Mola Hidatodosa
(Dikutip dari kepustakaan 5 )


VI.          GEJALA KLINIS
Pada permulaannya gejala mola hidatidosa tidak seberapa berbeda dengan kehamilan biasa yaitu mual, muntah, pusing dan lain lain,  hanya saja derajat keluhannya sering lebih hebat.Gejala klinis yang timbul antara lain :1-4,15,16
-          Perdarahan
Gejala utama dari mola adalah perdarahan. Gejala perdarahan ini biasanya terjadi antara bulan pertama sampai ke tujuh dengan rata - rata 12 – 14 minggu. Sifat perdarahan bisa intermiten berminggu – minggu, atau malahan berbulan – bulan, sedikit – sedikit atau sekalian banyak sehingga menyebabkan syok atau kematian. Terkadang terjadi perdarahan tersembunyi yang banyak dalam uterus. Karena perdarahan ini maka pada umumnya pasien mola hidatidosa masuk dalam keadaan anemia.
-          Pembesaran Uterus
Uterus yang tumbuh sering lebih besar dari umur kehamilan yang sebenarnya. Ada pula kasus – kasus yang uterusnya lebih kecil atau sama besar walaupun jaringannya belum dikeluarkan. Dalam hal ini perkembangan jaringan trofoblas tidak begitu aktif sehingga perlu difikirkan kemungkinan adanya jenis dying mole. Besarnya uterus sukar ditentukan secara pasti melalui palpasi terutama pada nullipara, karena konsistensi uterus yang lunak di bawah dinding abdomen yang tegang. Terkadang, ovarium membesar karena kista lutein multipel, sukar dibedakan dengan uterus yang membesar. Ovarium pada palpasi terasa nyeri. 
-          Aktivitas janin.
Meskipun uterus membesar hingga mencapai diatas simfisis, biasanya tidak dapat ditemukan gerak jantung janin meskipun dengan menggunakan alat yang paling peka. Meskipun jarang, dapat terjadi adanya dua plasenta , yang satu dengan mola hidatidosa kompleta, sedangkan yang lain dengan janin yang tampak normal. Keadaan yang sangat jarang adalah perubahan mola yang ekstenif, tetapi tidak komplit pada plasenta disertai dengan adanya janin yang hidup.
-          Hipertensi akibat kehamilan.
Seperti kehamilan biasa, mola hidatidosa juga bisa disertai dengan preklampsia (eklampsia), hanya perbedaannya bahwa preklampsia  mola hidatidosa terjadinya lebih muda daripada kehamilan biasa.Yang sangat penting adalah seringnya timbul hipertensi akibat kehamilan pada kehamilan mola yang menetap sampai trimester kedua. Karena sindrom hipertensi akibat kehamilan jarang sekali timbul sebelum minggu ke-24 kehamilan, kecuali pada keadaan ini, hipertensi yang terjadi sebelum minggu ke-24 menyatakan adanya mola hidatidosa atau perubahan molar yang sangat ekstensif.


-          Fungsi tiroid yang terganggu.
Sebagai akibat dari efek hCG dalam merangsang reseptor tirotropin maka kadar tiroksin plasma meningkat dan mengakibatkan penurunan kadar TSH. Penyulit yang akhir – akhir ini banyak dipermasalahkan adalah tirotoksikosis. Kadar tiroksin plasma dapat meningkat tetapi hipertiroid yang secara klinis tampak, jarang terjadi. Peningkatan konsentrasi tiroksin plasma pada kasus mola hidatidosa, mungkin akibat pengaruh estrogen, seperti pada kehamilan normal dimana kadar tiroksin bebas tidak meningkat dan presentase tiroidotironine yang terikat resin (T3 uptake) meningkat. Mola yang disertai dengan tirotoksikosis mempunyai prognosis yang lebih buruk, baik dari segi kematian maupun dari segi kemungkinan terjadinya keganasan. Bisanya penderita meninggal karena krisis tiroid.
-          Ekspulsi Spontan.
Gelembung mola, atau buah anggur terkadang keluar sebelum terjadinya abortus mola secara spontan atau dikeluarkan secara operatif. Ekspulsi spontan biasanya terjadi pada bulan keempat dan jarang tertunda sampai bulan ketujuh.
-           Kista teka lutein
Pembesaran ovarium bilateral atau unilateral yang disebabkan oleh kista teka lutein biasanya didapatkan seperempat atau sepertiga pasien dengan mola hidatidosa komplit dengan kadar hCG lebih dari 100.000 mIU/ml.

VII.       PEMERIKSAAN PENUNJANG
a.       Ultrasonografi
Ketepatan diagnostik yang paling besar dapat diperoleh dengan sonogram mola hidatidosa yang khas yaitu memperlihatkan snow flake pattern (badai salju), multiple diffuse echoes pada uterus yang membesar. Struktur janin ataupun plasenta tidak tampak. Kista lutein dapat diamati didaerah adneksa atau kavum douglasi. 1,2,3
 
Gambar 5. Gambaran sonogram potongan sagital uterus dengan usia kehamilan 20 minggu dengan mola hidatidosa komplit (snow flake pattern) panah hitam disertai dengan kista teka lutein (Dikutip dari kepustakaan 3)
 
b.      Pengukuran Chorionic Gonadotropin (HCG)
Uji untuk chorionic gonadotropin bermanfaat bila digunakan cara assay yang secara kuantitatif dapat dipercaya dan adanya variasi yang besar dalam sekresi gonadotropin pada kehamilan normal diperhatikan, terutama adanya kenaikan kadar yang terkadang terjadi pada kehamilan multipel. Assay yang dilakukan pada kadar HCG serum tidak banyak dipengaruhi oleh berbagai variabel dibandingkan pengukuran kadar chorionic gonadotropin urin. Hasilnya harus dibandingkan dengan kadar gonadotropin serum kehamilan normal pada umur kehamilan yang sama. Bila jauh lebih tinggi dari rentangan kadar normal pada tingkat kehamilan tersebut , kecurigaan adanya mola dapat dibuat. Jelas bahwa karena adanya variasi yang mencolok kadar gonadotropin pada kehamilan normal, bahwa tidak ada harga tunggal yang dapat dipakai sebagai batas antara kehamilan normal dan tidak normal. Kadar yang tinggi pada 2 atau 3 bulan pertama mempunyai arti yang kecil, karena hal tersebut terkadang dijumpai pada kehamilan normal terutama pada janin multipel. Melewati 100 hari setelah menstruasi terakhir, pada kehamilan normal terdapat penurunan chorionic gonadotropin, sehingga kadar yang tetap tinggi, terutama bila terjadi peningkatan setelah waktu tersebut merupakan bukti adanya pertumbuhan trofoblas yang abnormal. Bila terdapat keraguan, dilakukan ulangan assay satu minggu kemudian untuk melihat kecendrungannya. 1,3,16

Gambar 6. Serum hCG pada kehamilan normal.  Pada diagram tersebut tampak bahwa peningkatan kadar bHCG terjadi setelah 48 jam sampai hari ke 70) dan mencapai kadar maksimal hingga 200.000 mIU/ml pada usia 8-9 minggu dan kembali menurun pada usia kehamilan selanjutnya (dikutip dari kepustakaan 16)
 






c.       Fungsi Tiroid
Tes ini dapat menunjukkan hipertiroidisme.2

VIII.       TERAPI
Terapi mola hidatidosa terdiri atas  4 tahap yaitu 1-4:
1.      Perbaikan keadaan umum
Yang termasuk dalam usaha ini adalah pemberian transfusi darah untuk memperbaiki syok atau anemia dan menghilangkan atau mengurangi penyulit seperti preeklampsia dan tirotoksikosis. Preeklampsia diobati seperti pada kehamilan biasa sedang tirotoksikosis diobati sesuai dengan protokol bagian penyakit dalam, antara lain dengan inderal.



2.      Pengeluaran jaringan mola
Ada dua cara yang dapat digunakan :
a.       Vakum kuretase
Setelah keadaan umum diperbaiki dilakukan vakum kuretase tanpa pembiusan. Untuk memperbaiki kontraksi diberikan pula uterotonika. Vakum kuretase dilanjutkan dengan sendok      kuret yang tumpul. Tindakan kuret cukup dilakukan satu kali saja, asal bersih. Kuret kedua hanya dilakukan bila ada indikasi. Sebelum dilakukan kuretase sebaiknya disediakan  darah untuk menjaga kemungkinan perdarahan yang banyak.
b.      Histerektomi
Tindakan ini dilakukan pada wanita yang telah cukup umur dan cukup mempunyai anak. Alasan untuk melakukan histerektomi ialah karena umur tua dan paritas tinggi merupakan faktor predisposisi untuk  terjadinya keganasan. Batasan yang dipakai  adalah umur 35 tahun dengan anak hidup tiga. Tidak jarang bahwa ada sediaan histerektomi bila dilakukan pemeriksaan histopatologik sudah tampak adanya tanda – tanda keganasan berupa mola invasiv. Ada beberapa ahli yang menganjurkan agar pengeluaran jaringan dilakukan melalui histerotomi. Tetapi cara ini tidak begitu populer dan sudah ditinggalkan.

3.      Terapi profilaksis dengan sitostatika
Terapi profilaksis diberikan pada kasus mola dengan resiko tinggi akan terjadinya keganasan misalnya umur tua dan paritas tinggi yang menolak untuk dilakukan histerektomi atau kasus mola dengan hasil histopatologi yang mencurigakan. Biasanya diberikan methotrexate atau actynomycin D. Ada beberapa ahli yang tidak meyetujui terapi profilaksis ini dengan alasan bahwa jumlah kasus mola yang menjadi ganas tidak banyak dan sitostatika merupakan obat berbahaya. Goldstein berpendapat bahwa pemberian sitostatika profilaksis dapat menghindarkan keganasan dengan metastasis, serta mengurangi khoriokarsinoma di uterus sebanyak 3 kali.


4.      Pemeriksaan tindak lanjut
Hal ini perlu dilakukan mengingat adanya kemungkinan keganasan setelah mola hidatidosa. Lama pengawasan berkisar antara satu atau dua tahun. Untuk tidak mengacaukan pemeriksaan selama periode ini pasien dianjurkan untuk tidak hamil dulu dengan menggunakan kondom, diafragma, atau pil anti hamil.
Jadi kapan penderita mola dapat dikatakan  sehat kembali, sampai sekarang belum ada kesepakatan. Curry menyatakan sehat bila HCG dua kali berturut – turut normal. Selama pengawasan, secara berkala dilakukan pemeriksaan ginekologik, kadar HCG dan radiologik. Cara yang paling peka untuk menentukan adanya keganasan dini adalah dengan pemeriksaan HCG yang menetap untuk beberapa lama, apalagi kalau meninggi. Hal ini menunjukkan masih ada sel – sel trofoblas yang aktif. Cara yang umum dipakai sekarang adalah dengan radioimmunoassay (RIA) terhadap beta HCG – sub unit.
         Pemeriksaan kadar hCG diselenggarakan tiap minggu sampai kadar menjadi negatif selama 3 minggu, dan selanjutnya tiap bulan selama 6 bulan, dan tiap 2 bulan selama 1 tahun sampai kadar hCG menjadi negatif. Pemeriksaan ini dapat dimulai 48 jam setelah evakuasi mola. Monitoring kadar hCG ini penting untuk memantau terjadinya penyakit trofoblas persisten. Kadar hCG harus turun sampai dengan tidak terdeteksi sesuai dengan gambar kurva di bawah ini.3
Gambar  7. Kurva regresi kadar hCG pada wanaita dengan mola komplit dan inkomplit
 





IX.  KONTRASEPSI PADA PENDERITA POST MOLA
Tujuan pemberian kontrasepsi pada penderita mola yaitu 1) mencegah kehamilan baru 2) menekan pembentukan LH oleh hipofisis, yang dapat mempengaruhi kadar hCG yang dapat mengaburkan follow up kadar hCG tersebut. Pasien-pasien yang tidak diterapi dengan histerktomi harus menggunakan kontrasepsi selama follow up kadar β-hCG. Hal ini bertujuan untuk menghindari peningkatan kadar β-hCG dari kehamilan atau dari perkembangan mola hiatidosa ke tumor trofoblas gestasional. Penderita post mola disarankan untuk tidak hamil selama 1 tahun. Kontrasepsi sawar mekanik (berupa kondom atau cervical cap) merupakan pilihan pertama kepada penderita dengan post mola. Walaupun beberapa penelitian dari UK mengatakan bahwa kontrasepsi oral dapat menjadi faktor resiko perubahan post molar ke tumor trofoblas gestasional, namun beberapa penelitian selanjutnya di Unites States dan Kanada, termasuk penelitian secara random Gynecologic Oncology Group mengatakan bahwa tidak ada peningkatan resiko pasien postmolar pada pasein yang menggunakan kontrasepsi oral dengan dosis yang rendah sampai sedang. Hingga saat ini masih direkomendasikan kontrasepsi oral dengan kadar estrogen yang rendah walaupun estrogen merupakan kontraindikasi spesifik dalam penggunaannya. Sedangkan penggunaan IUD merupakan kontraindikasi karena akan menyebabkan perforasi. 16,18,19
Mengenai pemberian pil anti hamil ini ada dua pendapat yang saling bertentangan. Satu pihak mengatakan bahwa pil kombinasi, disamping dapat menghindarkan kehamilan juga dapat menahan LH dari hipofisis sehingga tidak terjadi reaksi silang dengan HCG. Pihak lain menentangnya justru karena estrogen dapat mengaktifkan sel – sel trofoblas ganas. Begshawe beranggapan bila pil anti hamil diberikan sebelum kadar HCG jadi normal dan kemudian wanita itu mendapat khoriokarsinoma, maka biasanya resisten terhadap sitostatika.15 
Beberapa penelitian telah dijalankan oleh Morrow P. et.all dan Berkowitz et all. untuk meneliti tentang pengaruh kontrasepsi oral pada pasien post mola dan peningkatan kadar hCG pada pasien post mola yang menggunakan kontrasepsi oral. Hasil penelitian tersebut memaparkan bahwa kontraepsi oral tidak meningkatkan resiko terjadinya tumor trofoblastik post mola, sehingga aman digunakan setelah evakuasi mola dan pada masa follow up kadar hCG.12,13,14

Berdasarkan suatu penelitian di China dan US mengajukan hipotesis bahwa penggunaan kontrasepsi oral jangka panjang dapat meningkatkan faktor resiko terjadinya penyakit tumor trofoblas dalam kehamilan. Penjelasan yang memuaskan secara biologik tentang hubungan antara kontrasepsi oral dan perkembagan tumor trofoblas dalam kehamilan belum terlalu berkembang. Suatu penelitian genetik terhadap mola hidatidosa komplit, yang merupakan tipe yang paling banyak ditemukan, ternyata berasal dari proses androgenesis, inti sel menjadi tidak ada atau tidak aktif. Berdasarkan penelitian deskriptif epidemiologi, penyakit trofoblas diduga berkembang karena adanya gangguan pada siklus ovarium yang merupakan salah satu etiologi. Insidensi meningkat pada wanita muda, yang memiliki riwayat menarke pada masa lalu yang tidak teratur, dan pada wanita  yang lebih tua yang juga memiliki riwayat siklus ovarium yang disfungsional hingga mencapai masa menopause. Hal ini menunjukkan bahwa terganggunya siklus ovarium, baik karena gangguan fisiologis ataupun adanya bahan-bahan eksogen seperti kontrasepsi oral. Salah satu kemungkinan yang lain yaitu dengan pemakaian kontrasepsi oral secara jangka panjang dapat merusak ovarium atau menghambat proses miosis yang menghasilkan ovarium tampa adanya inti sel atau inti sel yang tidak aktif. 14,16
Berdasarkan klasifikasi WHO, untuk semua penyakit trofoblast, selama kadar ß-hCG meningkat kontrasepsi hormonal kombinasi harus dihindari. Pemakaian kontrsepsi oral kombinasi, diberikan pada pasien-pasien 6 :
-          Wanita yang tidak disarankan untuk memakai alat kontrasepsi ini adalah :
o   Setidaknya 12 bulan setelah pemberian kempoterapi (karena resiko rekuren an efek teratogenik dari kemoterapi
Jadi kontrasepsi yang disarankan adalah 6 :
-          Apabila kadar ß-hCG lebih dari 5000 IU/l, dimana keadaan tidak terjadi proses ovulasi, jadi kontrasepsi yang disarankan adalah kontrasepsi mekanik dan merupakan kontrasepsi pilihan utama dan digunakan dalam waktu singkat
-          Berdasarkan WHO 3, kontrasepsi progesterone-only dapat digunakan walaupun kadar ß-hCG meningkat dan dapat digunakan sebagai kontrasepsi emergensi.
-          Kombinasi hormonal dapat digunakan setelah kadar ß-hCG dalam batas normal (dalam jangka waktu 1 bulan)
-          IUD tidak direkomendasikan (WHO 4 ) sampai sikulus menstrusi kembali normal
-          Untuk penggunaan implan, merupakan kontraindikasi relatif terhadap penderita dengan penyakit trofoblast hingga kadar  ß-hCG tidak terdeteksi dalam darah dan urin
Berdasarkan medical eligibility criteria for contraceptive use WHO tahun 2009, penggunaan kontrasepsi hormonal dapat digunakan walaupun kadar hCG masih meningkat namun kadar estrogen dan progesterone dalam dosis yang lebih kecil. Berikut rangkuman tabel penggunaan kontrasepsi pada pasien dengan penyakit trofoblast :
Tabel 2. Tabel penggunaan kontrasepsi pada pasien dengan penyakit trofoblastik gestasional (dikutip dari kepustakaan 8)









           Notes :  COC (combined Oral Contraception) / P (Patch)/ R (Ring), POP (progesterone-only pill), depot medroxyprogesterone, acetate (DMPA), norethisterone enantate, (NET-EN),  levonorgestrel (LNG) and etonogestrel (ETG) implants, copper-bearing intrauterine devices (Cu-IUDs), levonorgestrel-releasing IUDs (LNG-IUDs)   CONDITION COC/P/R CIC POP DMPA
1 A condition for which there is no restriction for the use of the contraceptive method
2 A condition where the advantages of using the method generally outweigh the theoretical or proven risks
3 A condition where the theoretical or proven risks usually outweigh the advantages of using the method
4 A condition which represents an unacceptable health risk if the contraceptive method is used


KONTRASEPSI SECARA MEKANIS
1.      Kondom
Kondom merupakan kontrasepsi mekanis padda pria. Kondom sebagai alat kontrasepsi yang bertujuan sebagai perisai penis sewaktu melakukan koitus, dan mencegah pengumpulan sperma dalam vagina. Bentuk kondom adalah silindris dengan pinggiran yang tebal dan ujung yang terbuka, sedang ujung bunting sebagai penampung sperma. Kondom dilapisi pelican yang mempunya sifat spermatisid. Keuntungan kondom selain untuk memberikan perlindungan terhadap penyakit kelamin, ialah bahwa ia juga dapat digunakan untuk tujuan kontrasepsi. Kekurangannya adalah ada kalanya pasangan yang mempergunakan merasakan selaput karet tersebut sebagai penghalang kenikmatan sewaktu melakukan koitus. 2,7






Gambar 8. Kondom (dikutip dari kepustakaan 7)
 



2.      Pessarium
Pessarium merupakan kontrasepsi pada wanit. Pessarium dapat dibagi atas dua golongan (1) diafragma vaginal (2) cervical cap
Diafragma vaginal
Diafragma vaginal terdiri atas kantong karet yang berbentuk mangkuk dengan per elastis pada pinggirnya. Per ini terbuat dari logam tipis yang tidak dapat berkarat, ada pula dari kawat halus yang tergulung sebagai spiral dan mempunyai sifat seperti per. Ukuran diafragma vaginal yang beredar di pasaran mempunyai diameter masing-masing 55 sampai 100 mm. Tiap ukuran mempunyai perbedaan diameter masing-masing 5 mm. Besarnya ukuran diafragma yang akan dipakai oleh akseptor ditentukan secara individual. Diafragma dimasukkan dalam vagina sebelum koitus untuk menjaga jangan sampai sperma masuk ke uterus.  Cara pemakannya jika akspetor setuju untuk menggunakan kondom jenis ini, terlebih dahulu ditentukan ukuran diafragma yang akan diapakai, dengan mengukur jarak antara simfisis bagian bawah dan forniks vaginae posterior dengan menggunakan jari telunjuk dari jari tengah tangan dokter, yang dimasukkan kedalam vagina akseptor. Pinggir mangkuk dijepit antara ibu jari dan jari telunjuk, dan diagragma dimasukkan ke dalam vagina sesuai dengan sumbunya. Setelah selesai pemasangannya, akseptor harus meraba dengan jarinya bahwa porsio servisis uteri terletak di atas mangkuk, pinggir atas diafragma di forniks vagina posterior, dan pinggir bawah di bawah simfisis.2







Gambar 9. Kondom (dikutip dari kepustakaan 7)
 



Cervical cap
Cervical cap dibuat dari karet atau plastic, dan mempunyai bentuk mangkuk yang dalam pinggirnya terbuat dari karet yang tebal. Ukurannya ialah dari diameter 22 mm sampai 33 mm, jadi lebih kecil dari diafrgma vaginal. Cap ini dipasang pada porsio servisis uteri seperti memasang topi. Dewasa ini alat ini jarang dipakai untuk kontrasepsi.2

Gambar 10. Kondom (dikutip dari kepustakaan 7)
 










HORMONAL KONTRASEPSI
Ada tiga jenis pil KB yaitu pil kombinasi, pil mini dan pil kontrasepsi darurat. Pil kontrasepsi hormonal tidak terbuat dari hormon estrogen dan progesteron alamiah, melainkan dari steroid sintetik. Ada dua jenis progesteron sintetik yang dipakai, yaitu 19 nortestosteron dan 17 alfa-asetoksi-progesteron. Sedangkan estrogen yang banyak dipakai sebagai pil kontrasepsi ialah etinil estradiol dan mestranol.2
Mekanisme Kerja Pil Hormonal
Pil kontrasepsi hormonal terdiri atas komponen estrogen dan progestagen atau salah satu dari komponen tersebut. Hormon steroid sintetik metabolismenya sangat berbeda dari hormon steroid alamiah. Mekanisme kerja pil yang mengandung estrogen yaitu menekan sekresi FSH sehingga menghalangi maturasi folikel. Hal ini akibat pengaruh estrogen dari ovarium tidak ada dan tidak terdapat pengeluaran LH sehingga ovulasi terganggu. Efek progestagen dalam pil kombinasi memperkuat efek estrogen untuk mencegah ovulasi yaitu sekitar 95-98%. Selain itu, estrogen dosis tinggi dapat mempercepat perjalanan ovum dan menyulitkan terjadinya implantasi zigot di dinding endometrium. Progestagen sendiri dalam dosis tinggi dapat menghambat ovulasi, akan tetapi tidak dalam dosis rendah.2
Gambar 11. Siklus hormonal pada pasien yang menggunakan pil kombinasi (dikutip dari kepustakaan 7)




Gambar 12. Diagram perbandingan  siklus menstruasi yang menunjukkan perubahan endometrium, ovarium dan kaar hormon pada wanita yang tidak hamil, awal kehamilan dan wanita yang menggunakan  kontrasepsi hormonal (dikutip dari kepustakaan 7)
 






Pil Kombinasi
     Saat ini pil kombinasi merupakan pil kontrasepsi yang dianggap paling efektif yaitu mencegah terjadinya ovulasi, menimbulkan perubahan-perubahan pada lendir serviks menjadi kurang banyak dan kental sehingga sel sperma tidak dapat memasuki kavum uteri. Selain itu terjadi perubahan-perubahan pada motilitas tuba Fallopi dan uterus.1
Kontrasepsi Oral Kombinasi  (Combined Oral Contraceptives = Cocs) Post Mola
pada penderita dengan  mola disarankan memiliki kadar estrogen yagne rendah yiatu sekitar < 35 μg etinylestraiol.8

Efek Samping
     Efek samping yang ditimbulkan umumnya ditemukan pada pil kombinasi dengan kelebihan estrogen atau progesteron. Selain itu, antara jenis-jenis progestagen terdapat perbedaan mengenai efek tambahan, yaitu efek estrogenik, efek androgenik, dan efek metabolik.1
     Efek karena kelebihan estrogen
Efek-efek yang sering muncul yaitu rasa mual, retensi cairan, sakit kepala, nyeri pada mamma, fluor albus. Dimana efek samping tersebut mengganggu akseptor, sehingga ia hendak menghentikan minum pil. Dalam hal ini, ia dianjurkan meneruskan minum pil dengan pil kombinasi yang mengandung dosis estrogen rendah. Bagi pasien yang minum pil dalam jangka waktu lama dengan dosis estrogen yang tinggi dapat menyebabkan pembesaran mioma uteri, akan tetapi biasanya pembesaran dapat berhenti apabila pemakaian pil dihentikan. Selain itu pemakaian pil dapat menyembuhkan pertumbuhan dinding endometrium yang berlebihan dibawah pengaruh estrogen. Rendahnya dosis estrogen dalam pil dapat mengakibatkan spotting dan breakthrough bleeding.2
            Efek karena kelebihan progestagen
Progestagen dosis tinggi menyebabkan perdarahan tidak teratur, akne,  nafsu makan meningkat disertai berat badan yang meningkat, alopesia, fluor albus, mamma mengecil, dan hipomenorea.2


Gambar 13. Pil kombinasi (dikutip dari kepustakaan 7)
 


MINI-PILL (continuous low-dose progesterone treatment)
Mini-pill (progestagen) bukan menghambat proses ovulasi oleh karena selama minum pil mini, ovulasi kadang-kadang masih dapat terjadi. Efek utamanya yaitu mengentalkan lendir serviks dan mencegah nidasi blastokista pada dinding endometrium.Dosis uang diberikan berupa 0,5 mg per hari2
                

Gambar 14. Pil kombinasi (dikutip dari kepustakaan 7)
 


Kontrasepsi Kombinasi Injeksi (Combined Injectable Contraceptives = CICs)
Kontrasepsi kombinasi injeksi merangsang untuk dikeluarkannya estrogen dan progesterone natural dan pada akhirnya menghambat proses ovulasi. Dua-duanya diberikan dengan interval waktu 4 minggu, yang mengandung 8 :
1) Cyclofem = medroxyprogesterone acetate 25 mg plus estradiol cypionate 5 mg
2) Mesigyna = norethisterone enantate 50 mg plus estradiol valerate 5 mg
CICs mengandung estrogen, estradiol natural. Estradiol memilki potensi kerja yang rendah, memilki durasi efek yang lebih pendek, dan lebih cepat dimetabolisme daripada estrogen sintetik pada kontrasepsi oral kombinasi, kontrasepsi patch, dan kontrasepsi ring. Hal ini mengakibatkan kontrasepsi kombinasi injeksi memiliki efek samping yang berbeda dibandingkan kontrasepsi oral, patch ataupun ring. Berdasarkan penelitian , kontrasepsi hormonal injeksi memiliki efek yang rendah terhadap tekanan darah, proses homeostasis, dan koagulasi, metabolism lemak, dan fungsi hati dibandingkan dengan kontrasepsi oral. Kontrasepsi kombinasi injeksi, pada saat dimasukkan tidak dimetabilisme di hati pertama kali, sehingga meminimalisir efek estradiol di hati. Namun demikian, kontrasepsi ini merupakan kontrasepsi yang baru dan belum ada penelitian epidemiologi lebih lajut mengenai efek jangka panjang. 8

Kontrasepsi Kombinasi Patch (P) dan vaginal Ring (R)
Kontrasepsi kombinasi patch dan vaginal ring merupakan suatu alat kontrasepsi yang baru. Informasi tentang keamanan metode dengan suatu keadaan kesehatan tertentu masih sangat terbatas. Berdasarkan eviden, kontrasepsi kombinasi patch memiliki tingkat keamanaan dan famakokinetik yang hampir sama dengan kontrasepsi kombinasi oral. Beberapa laporan tentang efek samping biasanya dikeluahkan oleh penggunaan kontrasepsi patch, seperti payudara yang tidak nyaman, dan terjadi reaksi kulit.8
Kontrasepsi kombinasi vaginal ring juga memiliki keamanan dan latar farmakokinetik dan memiliki efek yang hampir sama pada ovarium jika dibandingkan dengan kontrasepsi oral pada wanita yang sehat.8
IUD
X.     KEHAMILAN SELANJUTNYA
Pasien yang telah mengalami kehamilan mola hidatidosa, maka akan memilki resiko besar untuk terkena pada kehamilan selanjutnya. Kebanyakan pasien dengan riwayat mola sebelumnya dapat kembali hamil normal, namun resiko untuk hamil mola dapat terjadi. Resiko pasti terjadinya kehamilan mola pada kehamilan selanjutnya berkisar 1 % setelah 1 satu mola dan sekitar 15-18 % setelah dua   mola. 16,18
TErjadinya peningkatan faktor resiko setelah kehamilan mola, USG kehamilan direkomendasikan pada trisemester pertama kehamolan pada kehamilan selanjutnya untuk mengkonfirmasi kehamilan tersebut normal. Hal yang harus diperhatikan bahwa pasien telah selesai menjalani test follow up kadar hCG dan dinyatakan normal. 16,18
-DAFTAR PUSTAKA
1.   Prawirohardjo, S., Wiknjosastro, H. Penyakit serta Kelainan Plasenta dan Selaput Janin dalam Ilmu Kebidanan. Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo.Jakarta : 2006. Hal. 339 - 348.
2.   Prawiharjo,S, Wiknjosastro, H.. Mola Hidatidosa. Ilmu Kandungan. Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo.Jakarta: 1999. Hal . 262-264
3.      MacDonald, P. et. all,. 23rd ed. Williams Obstetric. U.S. : The McGraw-Hill Companies. 2005. P. 200 – 220.

4.      Fortner, Kimberly B., et.all,. 3rd edition John Hopkins of Gynecology and Obstetric. U.S. : Lippincot William & Wilkins. 2007. p 536 – 546.

5.      Alan H. DeCherney., et. all. Current Diagnosis and Treatments in Obstetric and Gynecology. U.S. : McGraw-Hill Companies. 2007. p 489 – 497.

6.      Guillebaud,  John. Contraceptive Today. U.K. : Informa Ltd. 2007. p. 11 – 20.

7.      Pramilla, Senanayake and Malcolm Potts. Atlas of Contraception 2nd ed.. U.K. : Informa Healthcare. 2008. p : 39 – 57.

8.      World Health Organization. Medical Eligibility Criteria for Contraception Use 4th ed.. U.S. : WHO Library Cataloguing. 2010.

9.      Moore,Lisa,MD,. Hydatidiform Mole. [online] 2000 May [cited 22 July 22]. Available from URL : www.emedicine.com

10.  Berkowitz RS, et. all. Oral Contraceptives and Postmolar Trophoblastic Disease. [online] 1995 May [cited 22 July 22]. Available from URL : www.pubmed.com

11.  Seckl, Michael J et all. Gestational Trophoblastic Disease. [online] 2003 September [cited 22 July 22]. Available from URL : www.medpedia. com

12.  Morrow P. et. all. The Influence Of Oral Contraceptives On The Postmolar Human Chorionic Gonadotropin Regression Curve. [online] 2000 April [cited 22 July 22]. Available from URL : www.pubmed.com

13.  Berkowitz RS et. all. Oral Contraceptives And Postmolar Trophoblastic Disease. [online] 2000 September [cited 22 July 22]. Available from URL : www.pubmed.com

14.  Palmer, Julie et. all.  Oral Contraceptive Use and Risk of Gestational Trophoblastic Tumors. [online] 2000 February [cited 22 July 22]. Available from URL : www.pubmed.com

15.  Berkowitz, Ross and Donald P Goldstein.  Cancer medicine 5th ed : Gestational Trophoblastic Disease.  U.S. : National Library of Medicine. 2000

16.  Hammond, Charles. Gestational Trophoblastic Diseases. [online] 2008 August [cited 22 July 22]. Available from URL : www. glob. libr. women's med.com

17.  Women's Health and Education Center. Gestational Trophoblastic Disease: A Comprehensive Review. [online] 2009 August [cited 22 July 22]. Available from URL : www. whec.com

18.  Berkowitz, Ross and Donald P Goldstein. Molar Pregnancy. [online] 2009 April [cited 22 July 22]. Available from URL : www.nejm.com

19. Snyman LC. Gestational trophoblastic disease: An overview in SA Journal of Gynaecological Oncology. University of Pretoria : U.K. 2009

Tidak ada komentar:

Posting Komentar