I.
PENDAHULUAN
Penyakit trofoblas, pada hakikatnya merupakan
kegagalan fungsi reproduksi. Di sini kehamilan tidak berkembang menjadi janin
yang sempurna, melainkan berkembang
menjadi keadaan yang patologik yang terjadi pada minggu-minggu pertama
kehamilan, berupa degenerasi hidropik dari jonjot khorion, sehingga menyerupai
gelembung yang disebut mola hidatidosa. Penderita dengan mola hidatidosa
ditangani dengan cara pengeluaran jaringan mola baik dengan menggunakan vakum
kuretase ataupun dengan cara histrektomi terutama umur tua dan paritas tinggi
yang merupakan faktor predisposisi untuk
terjadinya keganasan.1
Setelah dilakukan evakuasi, dianjurkan uterus
beristirahat 4 – 6 minggu dan penderita disarankan untuk tidak hamil selama 12
bulan. Diperlukan kontrasepsi yang adekuat selama periode ini. Pasien
dianjurkan untuk memakai kontrasepsi oral, sistemik atau barier selama waktu
monitoring. Pemberian pil kontrasepsi berguna dalam 2 hal yaitu mencegah
kehamilan dan menekan pembentukan LH oleh hipofisis yang dapat mempengaruhi
pemeriksaan kadar HCG. Pemasangan alat kontrasepsi dalam rahim (AKDR) tidak
dianjurkan sampai dengan kadar HCG tidak terdeteksi karena terdapat resiko
perforasi rahim jika masih terdapat mola invasif. Penggunaan pil kontrasepsi
kombinasi dan terapi sulih hormon dianjurkan setelah kadar hCG kembali normal.1,2,3
II.
PENGERTIAN
MOLA HIDATIDOSA
Mola
hidatidosa adalah suatu keadaan patologik dari villi korialis yang terdiri dari berbagai tingkat proliferasi
trofoblas dan edema stroma villi. Mola hidatidosa biasanya mengisi seluruh
kavum uteri. Tetapi meskipun jarang dapat terjadi di tuba fallopi atau bahkan
di ovarium.1,3
III.
INSIDENSI
Angka
insidensi mola hidatidosa terjadi berkisar 1 : 1000 pada wanita hamil di
Amerika Serikat dan Eropa. Angka di
Indonesia umumnya berupa data Rumah Sakit, untuk mola hidatidosa berkisar
antara 1 : 50 sampai 1 : 141 kehamilan. Pada penelitian lain ditemukan angka
untuk mola hidatidosa 2,47 : 1000 atau 1 : 405 persalinan. Angka ini jauh lebih
tinggi dari pada Negara – Negara barat, dimana insidensinya berkisar 1 : 1000
sampai 1 : 2500. Sedangkan mola partialis lebih jarang ditemukan. Faktor-faktor
lain yang berhubungan dengan mola seperti kehamilan yang keberapa, status
estrogen, pemakaian kontrasepsi oral, dan faktor-faktor diet masih belum jelas.2,4,5
Insidensi
mola hidatidosa meningkat pada wanita dengan usia 15 tahun atau lebih muda atau
pada usia 45 tahun atau lebih tua. Pada usia tersebut insidenya meningkat sebanyak
10 kali dibandingkan dengan usia 20 sampai 40 tahun. Wanita dengan adanya
riwayat mola juga merupakan faktor resiko terjadinnya mola hidatidosa pada
kehamilan selanjunya. Berdasarkan hasil penelitian ditemukan bahwa frekuensi
wanita yang rekurensi menderita mola sebanyak 1,3 % . 3
IV.
PATOGENESIS
Perkembangan
Awal Plasenta
Hertig (1962) mengamati bahwa
paling dini 72 jam setelah fertilisasi, blastula 58 sel akan berdifferensiasi
menjadi 5 sel yang akan menjadi embrio dan 53 sel lainnya akan menjadi trofoblas.
Walaupun trofoblas tidak dapat diidentifikasi sebelum nidasi dari sel telur
akan tetapi kedua macam sel diatas serta sinsitiotrofoblas telah terlihat pada
awal implantasi dari blastosis. Pada keadaan tertentu dapat dilihat bahwa
sekresi dari chorionic gonadotropin (HCG) dapat dihasilkan oleh blastosis
sebelum terjadinya implantasi. Segera setelah implantasi, trofoblas akan
berproliferasi dengan cepat dan masuk di sekitar desidua. Dengan sifatnya yang
sitolitik dan invasif, pada gambaran histologik, bila dilihat sifat vakuolisasi
sitoplasma dan ultrastrukturnya maka terlihat menyerupai khoriokarsinoma.
Setelah invasi kedalam endometrium, maka segera diikuti dengan masuknya
pembuluh – pembuluh darah ibu ke dalam vakuol sitoplasma, dan vakuol sitoplasma
itu akan menjadi satu lubang yang lebih besar (lacunae) dan berisi darah ibu.
Lacuna – lacuna ini kemudian akan bersatu menjadi bentukan yang lebih rumit dan
masing – masing dipisahkan dengan sekat – sekat yang terdiri dari sel – sel
trofoblas. Bentukan – bentukan diatas akan menjadi awal dari ruang intervillous
dan tangkai villous primer.3,4
Villi
Khorionik
Villi dapat dilihat dalam plasenta
manusia sekitar hari ke 12 setelah fertilisasi. Pada saat trofoblas tumbuh dan
masuk ke dalam jaringan mesenkim dan diduga berasal dari sinsitiotrofoblas maka
berhentilah villi sekunder. Setelah pembentukan pembuluh darah (angiogenesis)
pada mesenkim maka terbentuklah villi tersier. Sinus venosus ibu akan dirasuk
lebih dulu, tetapi sampai hari ke 14 – 15 setelah fertilisasi, darah arteri ibu
masih belum masuk ke dalam ruang intervillous. Baru pada hari ke 17 darah ibu
dan anak akan berfungsi dan sirkulasi plasenta dapat dikenal. Sirkulasi darah janin akan menjadi lengkap
apabila sistem peredaranan darah embrio telah berhubungan dengan sistem
peredaran darah korion yang terjadi dalam sitotropoblas. Pada keadaan tertentu,
beberapa tidak terbentuk angiogenesis sehingga tidak ada sirkulasi darah dan
villi – villi akan terisi cairan dan membentuk vesikel – vesikel. Bila proses
ini berlanjut, maka akan berkembang menjadi Mola hidatidosa.3,16
Sekitar hari ke 18 dan 19 dari saat
fertilisasi, blastosit sudah berdiameter 6 x 2,5. Pada saat ini embrio sampai
pada stadium primitif. Lapisan trofoblas tebal dengan villi yang terbentuk dari
tonjolan sitotrofoblas yang pada bagian tengah mesoderm tumbuh sistem pembuluh
darah, dan bagian luar dilapisi oleh sinsitiotrofoblas dan sinsitium. Embrio
sebenarnya terdiri atas tiga lapisan yaitu endoderm yang merupakan kelanjutan pertumbuhan dari kantung kuning telur.
Lapisan tengah yaitu mesoderm intraembrio dapat ditelusuri dan dijumpai pada
mesoderm ekstraembrionik.Akhirnya terbentuk sebagian dinding amnion dan kantung
kuning telur yang merupakan struktur embrio yang dihubungkan ke mesoderm
khorion dengan body stalk (ini merupakan asal usul tali pusat). Trofoblas dibedakan menjadi sel – sel
berbentuk kubus atau mendekati bundar dengan sitoplasma yng terang dan inti –
inti vesikuler yang berwarna terang (sitotrofoblas) dan bagian luar sinsitium
yang berisi banyak inti yang berwarna gelap menyebar di dalam sitoplasma yang
disebut sebagai sinsitiotrofoblas.3
Gambar 1. Implantasi blastosit. A. Hari ke 10 B.
Hari ke 12 setelah fertilisasi. Pada tahap ini terjadi hubungan antara
lacuna dengan pembuluh darah di endometrium. Pada tahap ini terdapat
kavitas yang besar pada mesodermal ekstraembrionik yang merupakan pembentukan awal dari
ekstraembrionik coelom. Terdapat
sel estraembrionik endodermal yang merupakan bentuk awal dari yolk sac (dikutip dari kepustakaan
3)
|
Walaupun penyakit ini sudah dikenal sejak abad
keenam, tetapi sampai sekarang belum diketahui dengan pasti penyebabnya.
1. Teori
missed abortion
Mudigah mati pada kehamilan 3 – 5 minggu (missed
abortion). Karena itu terjadi gangguan peredaran darah sehingga terjadi
penimbunan cairan dalam jaringan mesenkim dari villi dan akhirnya terbentuklah
gelembung – gelembung.
Menurut Reynolds, kematian mudigah itu disebabkan
kekurangan gizi berupa asam folik dan histidine pada kehamilan hari ke 13 dan
21. Hal ini kemudian menyebabkan gangguan angiogenesis.1,2
2. Teori
Neoplasma dari Park
Menyatakan bahwa yang abnormal adalah sel - sel trofoblas, yang mempunyai fungsi abnormal
juga, dimana terjadi resorpsi cairan yang berlebihan ke dalam villi sehingga
timbul gelembung. Hal ini menyebabkan gangguan peredaran darah dan kematian
mudigah.1,2
3. Teori
dari Acosta Sison
Menyatakan bahwa defisiensi protein dapat
menyebabkan mola hidatidosa, karena kenyataan membuktikan bahwa penyakit ini
lebih banyak ditemukan pada wanita dari golongan sosial ekonomi rendah.16
4. Teori
Cosanguity
Dalam teori ini dianggap bahwa kelainan tersebut
karena pembuahan sebuah sel telur dimana intinya telah hilang atau tidak aktif
lagi oleh sebuah sel sperma yang mengandung 23 x (haploid) kromosom, kemudian
membelah menjadi 46 xx, sehingga mola hidatidosa bersifat homozygote, wanita
dan androgenesis. Kadang – kadang terjadi pembuahan oleh dua sperma, sehingga
terjadi 46 xx tau 46 xy.(1,2,5) Ada beberapa teori yang diajukan untuk
menerangkan patogenesis dari penyakit trofoblas.1,2,3
V.
KLASIFIKASI
Mola hidatidosa dapat diklasifikasikan menjadi dua
yaitu Complete Mole dan Partial Mole. Menurut Vassilakos,
Complete Mole dan Partial Mole merupakan kesatuan yang berbeda, antara keduanya
ada perbedaan klinik, histopatologik, sitogenik, maupun prognostik.3,4,5
1. Mola
hidatidosa Komplit ( Complete Mole)
Yaitu kehamilan yang berkembang
tidak wajar dimana tidak ditemukan janin dan hampir seluruh villi korialis
mengalami perubahan hidropik. Villi korialis diubah menjadi gelembung –
gelembung bening. Gelembung yang besarnya berbeda – beda, ada yang hampir tidak
terlihat dan ada yang diameternya beberapa sentimeter. Massa tersebut dapat
tumbuh besar dan mengisi uterus yang besarnya sama dengan kehamilan normal.17,18
Gambaran Makroskopik
:
Secara makroskopik mola hidatidosa mudah dikenal
yaitu berupa gelumbung – gelembung putih, tembus pandang, berisi cairan jernih,
dengan ukuran bervariasi dari beberapa millimeter sampai satu atau dua sentimeter.1,3,17
2. Mola
hidatidosa Inkomplit (Partialis Mole)
yaitu bila perubahan mola hanya
fokal, dan tidak berlanjut, dan terdapat janin atau setidaknya kantung amnion.1,11
Gambaran histopatologik:
Terdapat pembengkakan villi yang yang kemajuannya
lambat, sedangkan villi yang mengandung pembuluh darah yang lain yang berperan
dalam sirkulasi feto plasental. Hiperplasia trofoblas hanya fokal, tidak
menyeluruh.1,3,9
Perbandingan antara Mola Hidatidosa
Komplit dan Inkomplit
|
||
Komplit
|
Inkomplit
|
|
Karyotype
|
Diploid
(46,XX or 46,XY)
|
Triploid
(69,XXX or 69,XXY)
|
Embrio
|
Tidak
ada
|
Ada
|
Villi
|
Hidrofik
|
Sedikit
hidrofik
|
Trofoblas
|
Hiperplasia
difus
|
Hiperfplasia
fokal
|
Sisi-implantasi
tropoblast
|
Atipia
difus
|
Atipia
fokal
|
RBCs
fetus
|
Tidak
ada
|
Ada
|
Hcg
|
High
(> 50,000)
|
Slight
elevation (< 50,000)
|
Gejala
klinis yang ditimbulkan
|
Selalu
ada
|
Jarang
|
Resiko
untuk terkenanya tumor gestasional
|
20–30%
|
<
5%
|
Tabel
1. Perbedaan Mola komplit dan Mola inkomplit.
(Dikutip
dari kepustakaan 8,10,14)
Gambar 2. Mola Hidatidosa
Komplit
(Dikutip dari
kepustakaan 3)
Gambar 3. Mola
Hidatidosa Inkomplit
(Dikutip dari
kepustakaan 16)
Gambar 4.
Gambaran histologik Mola Hidatodosa
(Dikutip dari
kepustakaan 5 )
VI.
GEJALA
KLINIS
Pada
permulaannya gejala mola hidatidosa tidak seberapa berbeda dengan kehamilan
biasa yaitu mual, muntah, pusing dan lain lain,
hanya saja derajat keluhannya sering lebih hebat.Gejala klinis yang
timbul antara lain :1-4,15,16
-
Perdarahan
Gejala utama dari
mola adalah perdarahan. Gejala perdarahan ini biasanya terjadi antara bulan
pertama sampai ke tujuh dengan rata - rata 12 – 14 minggu. Sifat perdarahan
bisa intermiten berminggu – minggu, atau malahan berbulan – bulan, sedikit –
sedikit atau sekalian banyak sehingga menyebabkan syok atau kematian. Terkadang
terjadi perdarahan tersembunyi yang banyak dalam uterus. Karena perdarahan ini
maka pada umumnya pasien mola hidatidosa masuk dalam keadaan anemia.
-
Pembesaran Uterus
Uterus yang
tumbuh sering lebih besar dari umur kehamilan yang sebenarnya. Ada pula kasus –
kasus yang uterusnya lebih kecil atau sama besar walaupun jaringannya belum
dikeluarkan. Dalam hal ini perkembangan jaringan trofoblas tidak begitu aktif
sehingga perlu difikirkan kemungkinan adanya jenis dying mole. Besarnya uterus
sukar ditentukan secara pasti melalui palpasi terutama pada nullipara, karena
konsistensi uterus yang lunak di bawah dinding abdomen yang tegang. Terkadang,
ovarium membesar karena kista lutein multipel, sukar dibedakan dengan uterus yang
membesar. Ovarium pada palpasi terasa nyeri.
-
Aktivitas janin.
Meskipun uterus
membesar hingga mencapai diatas simfisis, biasanya tidak dapat ditemukan gerak
jantung janin meskipun dengan menggunakan alat yang paling peka. Meskipun
jarang, dapat terjadi adanya dua plasenta , yang satu dengan mola hidatidosa
kompleta, sedangkan yang lain dengan janin yang tampak normal. Keadaan yang
sangat jarang adalah perubahan mola yang ekstenif, tetapi tidak komplit pada
plasenta disertai dengan adanya janin yang hidup.
-
Hipertensi akibat kehamilan.
Seperti
kehamilan biasa, mola hidatidosa juga bisa disertai dengan preklampsia
(eklampsia), hanya perbedaannya bahwa preklampsia mola hidatidosa terjadinya lebih muda
daripada kehamilan biasa.Yang sangat penting adalah seringnya timbul hipertensi
akibat kehamilan pada kehamilan mola yang menetap sampai trimester kedua.
Karena sindrom hipertensi akibat kehamilan jarang sekali timbul sebelum minggu
ke-24 kehamilan, kecuali pada keadaan ini, hipertensi yang terjadi sebelum minggu
ke-24 menyatakan adanya mola hidatidosa atau perubahan molar yang sangat
ekstensif.
-
Fungsi tiroid yang terganggu.
Sebagai
akibat dari efek hCG dalam merangsang reseptor tirotropin maka kadar tiroksin
plasma meningkat dan mengakibatkan penurunan kadar TSH. Penyulit yang akhir –
akhir ini banyak dipermasalahkan adalah tirotoksikosis. Kadar tiroksin plasma
dapat meningkat tetapi hipertiroid yang secara klinis tampak, jarang terjadi.
Peningkatan konsentrasi tiroksin plasma pada kasus mola hidatidosa, mungkin
akibat pengaruh estrogen, seperti pada kehamilan normal dimana kadar tiroksin
bebas tidak meningkat dan presentase tiroidotironine yang terikat resin (T3 uptake) meningkat. Mola yang disertai
dengan tirotoksikosis mempunyai prognosis yang lebih buruk, baik dari segi
kematian maupun dari segi kemungkinan terjadinya keganasan. Bisanya penderita
meninggal karena krisis tiroid.
-
Ekspulsi Spontan.
Gelembung mola,
atau buah anggur terkadang keluar sebelum terjadinya abortus mola secara
spontan atau dikeluarkan secara operatif. Ekspulsi spontan biasanya terjadi
pada bulan keempat dan jarang tertunda sampai bulan ketujuh.
-
Kista teka lutein
Pembesaran ovarium bilateral atau
unilateral yang disebabkan oleh kista teka lutein biasanya didapatkan
seperempat atau sepertiga pasien dengan mola hidatidosa komplit dengan kadar
hCG lebih dari 100.000 mIU/ml.
VII.
PEMERIKSAAN
PENUNJANG
a. Ultrasonografi
Ketepatan diagnostik yang paling
besar dapat diperoleh dengan sonogram mola hidatidosa yang khas yaitu
memperlihatkan snow flake pattern (badai salju), multiple diffuse
echoes pada uterus yang membesar. Struktur janin ataupun plasenta tidak
tampak. Kista lutein dapat diamati didaerah adneksa atau kavum douglasi. 1,2,3
Gambar 5. Gambaran
sonogram potongan sagital uterus dengan usia kehamilan 20 minggu dengan mola
hidatidosa komplit (snow flake pattern)
panah hitam disertai dengan kista teka lutein (Dikutip dari kepustakaan 3)
b. Pengukuran
Chorionic Gonadotropin (HCG)
Uji untuk chorionic gonadotropin
bermanfaat bila digunakan cara assay yang secara kuantitatif dapat dipercaya
dan adanya variasi yang besar dalam sekresi gonadotropin pada kehamilan normal
diperhatikan, terutama adanya kenaikan kadar yang terkadang terjadi pada
kehamilan multipel. Assay yang dilakukan pada kadar HCG serum tidak banyak
dipengaruhi oleh berbagai variabel dibandingkan pengukuran kadar chorionic
gonadotropin urin. Hasilnya harus dibandingkan dengan kadar gonadotropin serum
kehamilan normal pada umur kehamilan yang sama. Bila jauh lebih tinggi dari
rentangan kadar normal pada tingkat kehamilan tersebut , kecurigaan adanya mola
dapat dibuat. Jelas bahwa karena adanya variasi yang mencolok kadar
gonadotropin pada kehamilan normal, bahwa tidak ada harga tunggal yang dapat
dipakai sebagai batas antara kehamilan normal dan tidak normal. Kadar yang
tinggi pada 2 atau 3 bulan pertama mempunyai arti yang kecil, karena hal
tersebut terkadang dijumpai pada kehamilan normal terutama pada janin multipel.
Melewati 100 hari setelah menstruasi terakhir, pada kehamilan normal terdapat
penurunan chorionic gonadotropin, sehingga kadar yang tetap tinggi, terutama
bila terjadi peningkatan setelah waktu tersebut merupakan bukti adanya
pertumbuhan trofoblas yang abnormal. Bila terdapat keraguan, dilakukan ulangan
assay satu minggu kemudian untuk melihat kecendrungannya. 1,3,16
Gambar 6. Serum hCG
pada kehamilan normal. Pada diagram
tersebut tampak bahwa peningkatan kadar bHCG terjadi setelah 48 jam sampai
hari ke 70) dan mencapai kadar maksimal hingga 200.000 mIU/ml pada usia 8-9
minggu dan kembali menurun pada usia kehamilan selanjutnya (dikutip dari
kepustakaan 16)
|
c. Fungsi
Tiroid
Tes ini dapat menunjukkan
hipertiroidisme.2
VIII. TERAPI
Terapi mola hidatidosa terdiri
atas 4 tahap yaitu 1-4:
1. Perbaikan
keadaan umum
Yang termasuk
dalam usaha ini adalah pemberian transfusi darah untuk memperbaiki syok atau
anemia dan menghilangkan atau mengurangi penyulit seperti preeklampsia dan
tirotoksikosis. Preeklampsia diobati seperti pada kehamilan biasa sedang
tirotoksikosis diobati sesuai dengan protokol bagian penyakit dalam, antara
lain dengan inderal.
2. Pengeluaran
jaringan mola
Ada dua cara yang dapat digunakan :
a. Vakum
kuretase
Setelah keadaan
umum diperbaiki dilakukan vakum kuretase tanpa pembiusan. Untuk memperbaiki
kontraksi diberikan pula uterotonika. Vakum kuretase dilanjutkan dengan
sendok kuret yang tumpul. Tindakan
kuret cukup dilakukan satu kali saja, asal bersih. Kuret kedua hanya dilakukan
bila ada indikasi. Sebelum dilakukan kuretase sebaiknya disediakan darah untuk menjaga kemungkinan perdarahan
yang banyak.
b. Histerektomi
Tindakan ini
dilakukan pada wanita yang telah cukup umur dan cukup mempunyai anak. Alasan untuk
melakukan histerektomi ialah karena umur tua dan paritas tinggi merupakan
faktor predisposisi untuk terjadinya
keganasan. Batasan yang dipakai adalah
umur 35 tahun dengan anak hidup tiga. Tidak jarang bahwa ada sediaan
histerektomi bila dilakukan pemeriksaan histopatologik sudah tampak adanya
tanda – tanda keganasan berupa mola invasiv. Ada beberapa ahli yang
menganjurkan agar pengeluaran jaringan dilakukan melalui histerotomi. Tetapi
cara ini tidak begitu populer dan sudah ditinggalkan.
3. Terapi
profilaksis dengan sitostatika
Terapi
profilaksis diberikan pada kasus mola dengan resiko tinggi akan terjadinya
keganasan misalnya umur tua dan paritas tinggi yang menolak untuk dilakukan
histerektomi atau kasus mola dengan hasil histopatologi yang mencurigakan.
Biasanya diberikan methotrexate atau actynomycin D. Ada beberapa ahli yang
tidak meyetujui terapi profilaksis ini dengan alasan bahwa jumlah kasus mola
yang menjadi ganas tidak banyak dan sitostatika merupakan obat berbahaya.
Goldstein berpendapat bahwa pemberian sitostatika profilaksis dapat
menghindarkan keganasan dengan metastasis, serta mengurangi khoriokarsinoma di
uterus sebanyak 3 kali.
4. Pemeriksaan
tindak lanjut
Hal ini perlu
dilakukan mengingat adanya kemungkinan keganasan setelah mola hidatidosa. Lama
pengawasan berkisar antara satu atau dua tahun. Untuk tidak mengacaukan
pemeriksaan selama periode ini pasien dianjurkan untuk tidak hamil dulu dengan
menggunakan kondom, diafragma, atau pil anti hamil.
Jadi kapan
penderita mola dapat dikatakan sehat
kembali, sampai sekarang belum ada kesepakatan. Curry menyatakan sehat bila HCG
dua kali berturut – turut normal. Selama pengawasan, secara berkala dilakukan
pemeriksaan ginekologik, kadar HCG dan radiologik. Cara yang paling peka untuk
menentukan adanya keganasan dini adalah dengan pemeriksaan HCG yang menetap
untuk beberapa lama, apalagi kalau meninggi. Hal ini menunjukkan masih ada sel
– sel trofoblas yang aktif. Cara yang umum dipakai sekarang adalah dengan
radioimmunoassay (RIA) terhadap beta HCG – sub unit.
Pemeriksaan kadar hCG diselenggarakan
tiap minggu sampai kadar menjadi negatif selama 3 minggu, dan selanjutnya tiap
bulan selama 6 bulan, dan tiap 2 bulan selama 1 tahun sampai kadar hCG menjadi negatif.
Pemeriksaan ini dapat dimulai 48 jam setelah evakuasi mola. Monitoring kadar
hCG ini penting untuk memantau terjadinya penyakit trofoblas persisten. Kadar
hCG harus turun sampai dengan tidak terdeteksi sesuai dengan gambar kurva di
bawah ini.3
Gambar 7. Kurva regresi kadar hCG pada wanaita
dengan mola komplit dan inkomplit
|
IX. KONTRASEPSI PADA PENDERITA POST MOLA
Tujuan
pemberian kontrasepsi pada penderita mola yaitu 1) mencegah kehamilan baru 2)
menekan pembentukan LH oleh hipofisis, yang dapat mempengaruhi kadar hCG yang
dapat mengaburkan follow up kadar hCG tersebut. Pasien-pasien yang tidak
diterapi dengan histerktomi harus menggunakan kontrasepsi selama follow up
kadar β-hCG. Hal ini bertujuan untuk menghindari peningkatan kadar β-hCG dari
kehamilan atau dari perkembangan mola hiatidosa ke tumor trofoblas gestasional.
Penderita post mola disarankan untuk tidak hamil selama 1 tahun. Kontrasepsi
sawar mekanik (berupa kondom atau cervical
cap) merupakan pilihan pertama kepada penderita dengan post mola. Walaupun
beberapa penelitian dari UK mengatakan bahwa kontrasepsi oral dapat menjadi
faktor resiko perubahan post molar ke tumor trofoblas gestasional, namun
beberapa penelitian selanjutnya di Unites States dan Kanada, termasuk
penelitian secara random Gynecologic
Oncology Group mengatakan bahwa tidak ada peningkatan resiko pasien
postmolar pada pasein yang menggunakan kontrasepsi oral dengan dosis yang
rendah sampai sedang. Hingga saat ini masih direkomendasikan kontrasepsi oral
dengan kadar estrogen yang rendah walaupun estrogen merupakan kontraindikasi
spesifik dalam penggunaannya. Sedangkan penggunaan IUD merupakan kontraindikasi
karena akan menyebabkan perforasi. 16,18,19
Mengenai
pemberian pil anti hamil ini ada dua pendapat yang saling bertentangan. Satu
pihak mengatakan bahwa pil kombinasi, disamping dapat menghindarkan kehamilan
juga dapat menahan LH dari hipofisis sehingga tidak terjadi reaksi silang
dengan HCG. Pihak lain menentangnya justru karena estrogen dapat mengaktifkan
sel – sel trofoblas ganas. Begshawe beranggapan bila pil anti hamil diberikan
sebelum kadar HCG jadi normal dan kemudian wanita itu mendapat khoriokarsinoma,
maka biasanya resisten terhadap sitostatika.15
Beberapa
penelitian telah dijalankan oleh Morrow P. et.all dan Berkowitz et all. untuk
meneliti tentang pengaruh kontrasepsi oral pada pasien post mola dan peningkatan
kadar hCG pada pasien post mola yang menggunakan kontrasepsi oral. Hasil
penelitian tersebut memaparkan bahwa kontraepsi oral tidak meningkatkan resiko
terjadinya tumor trofoblastik post mola, sehingga aman digunakan setelah
evakuasi mola dan pada masa follow up kadar hCG.12,13,14
Berdasarkan
suatu penelitian di China dan US mengajukan hipotesis bahwa penggunaan
kontrasepsi oral jangka panjang dapat meningkatkan faktor resiko terjadinya
penyakit tumor trofoblas dalam kehamilan. Penjelasan yang memuaskan secara
biologik tentang hubungan antara kontrasepsi oral dan perkembagan tumor
trofoblas dalam kehamilan belum terlalu berkembang. Suatu penelitian genetik
terhadap mola hidatidosa komplit, yang merupakan tipe yang paling banyak
ditemukan, ternyata berasal dari proses androgenesis, inti sel menjadi tidak
ada atau tidak aktif. Berdasarkan penelitian deskriptif epidemiologi, penyakit
trofoblas diduga berkembang karena adanya gangguan pada siklus ovarium yang
merupakan salah satu etiologi. Insidensi meningkat pada wanita muda, yang memiliki
riwayat menarke pada masa lalu yang tidak teratur, dan pada wanita yang lebih tua yang juga memiliki riwayat
siklus ovarium yang disfungsional hingga mencapai masa menopause. Hal ini
menunjukkan bahwa terganggunya siklus ovarium, baik karena gangguan fisiologis
ataupun adanya bahan-bahan eksogen seperti kontrasepsi oral. Salah satu
kemungkinan yang lain yaitu dengan pemakaian kontrasepsi oral secara jangka
panjang dapat merusak ovarium atau menghambat proses miosis yang menghasilkan
ovarium tampa adanya inti sel atau inti sel yang tidak aktif. 14,16
Berdasarkan
klasifikasi WHO, untuk semua penyakit trofoblast, selama kadar ß-hCG meningkat
kontrasepsi hormonal kombinasi harus dihindari. Pemakaian kontrsepsi oral
kombinasi, diberikan pada pasien-pasien 6 :
-
Wanita yang tidak disarankan untuk
memakai alat kontrasepsi ini adalah :
o
Setidaknya 12 bulan setelah pemberian
kempoterapi (karena resiko rekuren an efek teratogenik dari kemoterapi
Jadi
kontrasepsi yang disarankan adalah 6 :
-
Apabila kadar ß-hCG lebih dari 5000 IU/l,
dimana keadaan tidak terjadi proses ovulasi, jadi kontrasepsi yang disarankan
adalah kontrasepsi mekanik dan merupakan kontrasepsi pilihan utama dan
digunakan dalam waktu singkat
-
Berdasarkan WHO 3, kontrasepsi
progesterone-only dapat digunakan walaupun kadar ß-hCG meningkat dan dapat
digunakan sebagai kontrasepsi emergensi.
-
Kombinasi hormonal dapat digunakan
setelah kadar ß-hCG dalam batas normal (dalam jangka waktu 1 bulan)
-
IUD tidak direkomendasikan (WHO 4 )
sampai sikulus menstrusi kembali normal
-
Untuk penggunaan implan, merupakan
kontraindikasi relatif terhadap penderita dengan penyakit trofoblast hingga
kadar ß-hCG tidak terdeteksi dalam darah
dan urin
Berdasarkan medical
eligibility criteria for contraceptive use WHO tahun 2009, penggunaan
kontrasepsi hormonal dapat digunakan walaupun kadar hCG masih meningkat namun
kadar estrogen dan progesterone dalam dosis yang lebih kecil. Berikut rangkuman
tabel penggunaan kontrasepsi pada pasien dengan penyakit trofoblast :
Tabel 2. Tabel
penggunaan kontrasepsi pada pasien dengan penyakit trofoblastik gestasional
(dikutip dari kepustakaan 8)
Notes
: COC (combined Oral Contraception) / P
(Patch)/ R (Ring), POP (progesterone-only pill), depot medroxyprogesterone, acetate
(DMPA), norethisterone enantate, (NET-EN), levonorgestrel (LNG) and etonogestrel (ETG)
implants, copper-bearing intrauterine devices (Cu-IUDs),
levonorgestrel-releasing IUDs (LNG-IUDs) CONDITION COC/P/R CIC POP DMPA
1 A condition for which there is no
restriction for the use of the contraceptive method
2 A condition where the advantages
of using the method generally outweigh the theoretical or proven risks
3 A condition where the theoretical
or proven risks usually outweigh the advantages of using the method
4 A condition which represents an
unacceptable health risk if the contraceptive method is used
KONTRASEPSI
SECARA MEKANIS
1.
Kondom
Kondom merupakan
kontrasepsi mekanis padda pria. Kondom sebagai alat kontrasepsi yang bertujuan
sebagai perisai penis sewaktu melakukan koitus, dan mencegah pengumpulan sperma
dalam vagina. Bentuk kondom adalah silindris dengan pinggiran yang tebal dan
ujung yang terbuka, sedang ujung bunting sebagai penampung sperma. Kondom
dilapisi pelican yang mempunya sifat spermatisid. Keuntungan kondom selain
untuk memberikan perlindungan terhadap penyakit kelamin, ialah bahwa ia juga
dapat digunakan untuk tujuan kontrasepsi. Kekurangannya adalah ada kalanya
pasangan yang mempergunakan merasakan selaput karet tersebut sebagai penghalang
kenikmatan sewaktu melakukan koitus. 2,7
Gambar 8. Kondom (dikutip
dari kepustakaan 7)
|
2.
Pessarium
Pessarium
merupakan kontrasepsi pada wanit. Pessarium dapat dibagi atas dua golongan (1) diafragma
vaginal (2) cervical cap
Diafragma
vaginal
Diafragma vaginal terdiri atas kantong
karet yang berbentuk mangkuk dengan per elastis pada pinggirnya. Per ini
terbuat dari logam tipis yang tidak dapat berkarat, ada pula dari kawat halus
yang tergulung sebagai spiral dan mempunyai sifat seperti per. Ukuran diafragma
vaginal yang beredar di pasaran mempunyai diameter masing-masing 55 sampai 100
mm. Tiap ukuran mempunyai perbedaan diameter masing-masing 5 mm. Besarnya ukuran
diafragma yang akan dipakai oleh akseptor ditentukan secara individual. Diafragma
dimasukkan dalam vagina sebelum koitus untuk menjaga jangan sampai sperma masuk
ke uterus. Cara pemakannya jika akspetor
setuju untuk menggunakan kondom jenis ini, terlebih dahulu ditentukan ukuran
diafragma yang akan diapakai, dengan mengukur jarak antara simfisis bagian
bawah dan forniks vaginae posterior dengan menggunakan jari telunjuk dari jari
tengah tangan dokter, yang dimasukkan kedalam vagina akseptor. Pinggir mangkuk
dijepit antara ibu jari dan jari telunjuk, dan diagragma dimasukkan ke dalam
vagina sesuai dengan sumbunya. Setelah selesai pemasangannya, akseptor harus
meraba dengan jarinya bahwa porsio servisis uteri terletak di atas mangkuk,
pinggir atas diafragma di forniks vagina posterior, dan pinggir bawah di bawah
simfisis.2
Gambar
9. Kondom (dikutip dari kepustakaan 7)
|
Cervical
cap
Cervical cap dibuat dari karet atau plastic, dan
mempunyai bentuk mangkuk yang dalam pinggirnya terbuat dari karet yang tebal.
Ukurannya ialah dari diameter 22 mm sampai 33 mm, jadi lebih kecil dari
diafrgma vaginal. Cap ini dipasang pada porsio servisis uteri seperti memasang
topi. Dewasa ini alat ini jarang dipakai untuk kontrasepsi.2
Gambar 10. Kondom (dikutip
dari kepustakaan 7)
|
HORMONAL
KONTRASEPSI
Ada tiga jenis pil KB yaitu
pil kombinasi, pil mini dan pil kontrasepsi darurat. Pil kontrasepsi hormonal
tidak terbuat dari hormon estrogen dan progesteron alamiah, melainkan dari
steroid sintetik. Ada dua jenis progesteron sintetik yang dipakai, yaitu 19
nortestosteron dan 17 alfa-asetoksi-progesteron. Sedangkan estrogen yang banyak
dipakai sebagai pil kontrasepsi ialah etinil estradiol dan mestranol.2
Mekanisme
Kerja Pil Hormonal
Pil kontrasepsi
hormonal terdiri atas komponen estrogen dan progestagen atau salah satu dari
komponen tersebut. Hormon steroid sintetik metabolismenya sangat berbeda dari
hormon steroid alamiah. Mekanisme kerja pil yang mengandung estrogen yaitu
menekan sekresi FSH sehingga menghalangi maturasi folikel. Hal ini akibat
pengaruh estrogen dari ovarium tidak ada dan tidak terdapat pengeluaran LH
sehingga ovulasi terganggu. Efek progestagen dalam pil kombinasi memperkuat
efek estrogen untuk mencegah ovulasi yaitu sekitar 95-98%. Selain itu, estrogen
dosis tinggi dapat mempercepat perjalanan ovum dan menyulitkan terjadinya
implantasi zigot di dinding endometrium. Progestagen sendiri dalam
dosis tinggi dapat menghambat ovulasi, akan tetapi tidak dalam dosis rendah.2
Gambar 11. Siklus hormonal pada
pasien yang menggunakan pil kombinasi (dikutip dari kepustakaan 7)
|
Gambar 12. Diagram perbandingan siklus menstruasi yang menunjukkan
perubahan endometrium, ovarium dan kaar hormon pada wanita yang tidak
hamil, awal kehamilan dan wanita yang menggunakan kontrasepsi hormonal (dikutip
dari kepustakaan 7)
|
Pil
Kombinasi
Saat ini pil kombinasi merupakan pil kontrasepsi yang dianggap
paling efektif yaitu mencegah terjadinya ovulasi, menimbulkan
perubahan-perubahan pada lendir serviks menjadi kurang banyak dan kental
sehingga sel sperma tidak dapat memasuki kavum uteri. Selain itu terjadi
perubahan-perubahan pada motilitas tuba Fallopi dan uterus.1
Kontrasepsi
Oral Kombinasi (Combined Oral Contraceptives = Cocs) Post Mola
pada
penderita dengan mola disarankan
memiliki kadar estrogen yagne rendah yiatu sekitar < 35 μg etinylestraiol.8
Efek
Samping
Efek samping yang ditimbulkan umumnya ditemukan pada pil
kombinasi dengan kelebihan estrogen atau progesteron. Selain itu, antara
jenis-jenis progestagen terdapat perbedaan mengenai efek tambahan, yaitu efek
estrogenik, efek androgenik, dan efek metabolik.1
Efek karena kelebihan estrogen
Efek-efek yang sering muncul yaitu
rasa mual, retensi cairan, sakit kepala, nyeri pada mamma, fluor albus. Dimana
efek samping tersebut mengganggu akseptor, sehingga ia hendak menghentikan
minum pil. Dalam hal ini, ia dianjurkan meneruskan minum pil dengan pil
kombinasi yang mengandung dosis estrogen rendah. Bagi pasien yang minum pil
dalam jangka waktu lama dengan dosis estrogen yang tinggi dapat menyebabkan
pembesaran mioma uteri, akan tetapi biasanya pembesaran dapat berhenti apabila
pemakaian pil dihentikan. Selain itu pemakaian pil dapat menyembuhkan
pertumbuhan dinding endometrium yang berlebihan dibawah pengaruh estrogen.
Rendahnya dosis estrogen dalam pil dapat mengakibatkan spotting dan breakthrough bleeding.2
Efek
karena kelebihan progestagen
Progestagen dosis tinggi
menyebabkan perdarahan tidak teratur, akne,
nafsu makan meningkat disertai berat badan yang meningkat, alopesia,
fluor albus, mamma mengecil, dan hipomenorea.2
Gambar 13. Pil kombinasi (dikutip
dari kepustakaan 7)
|
MINI-PILL
(continuous low-dose progesterone
treatment)
Mini-pill
(progestagen) bukan menghambat proses ovulasi oleh karena selama minum pil
mini, ovulasi kadang-kadang masih dapat terjadi. Efek utamanya yaitu
mengentalkan lendir serviks dan mencegah nidasi blastokista pada dinding
endometrium.Dosis uang diberikan berupa 0,5 mg per hari2
Gambar 14. Pil kombinasi (dikutip
dari kepustakaan 7)
|
Kontrasepsi Kombinasi Injeksi (Combined
Injectable Contraceptives =
CICs)
Kontrasepsi kombinasi injeksi merangsang untuk
dikeluarkannya estrogen dan progesterone natural dan pada akhirnya menghambat
proses ovulasi. Dua-duanya diberikan dengan interval waktu 4 minggu, yang
mengandung 8 :
1)
Cyclofem = medroxyprogesterone acetate 25 mg plus estradiol cypionate 5 mg
2)
Mesigyna = norethisterone enantate 50 mg plus estradiol valerate 5 mg
CICs
mengandung estrogen, estradiol natural. Estradiol memilki potensi kerja yang
rendah, memilki durasi efek yang lebih pendek, dan lebih cepat dimetabolisme
daripada estrogen sintetik pada kontrasepsi oral kombinasi, kontrasepsi patch,
dan kontrasepsi ring. Hal ini mengakibatkan kontrasepsi kombinasi injeksi
memiliki efek samping yang berbeda dibandingkan kontrasepsi oral, patch ataupun
ring. Berdasarkan penelitian , kontrasepsi hormonal injeksi memiliki efek yang
rendah terhadap tekanan darah, proses homeostasis, dan koagulasi, metabolism
lemak, dan fungsi hati dibandingkan dengan kontrasepsi oral. Kontrasepsi
kombinasi injeksi, pada saat dimasukkan tidak dimetabilisme di hati pertama
kali, sehingga meminimalisir efek estradiol di hati. Namun demikian,
kontrasepsi ini merupakan kontrasepsi yang baru dan belum ada penelitian
epidemiologi lebih lajut mengenai efek jangka panjang. 8
Kontrasepsi Kombinasi Patch (P) dan vaginal Ring (R)
Kontrasepsi kombinasi patch dan vaginal ring
merupakan suatu alat kontrasepsi yang baru. Informasi tentang keamanan metode
dengan suatu keadaan kesehatan tertentu masih sangat terbatas. Berdasarkan
eviden, kontrasepsi kombinasi patch
memiliki tingkat keamanaan dan famakokinetik yang hampir sama dengan
kontrasepsi kombinasi oral. Beberapa laporan tentang efek samping biasanya
dikeluahkan oleh penggunaan kontrasepsi patch,
seperti payudara yang tidak nyaman, dan terjadi reaksi kulit.8
Kontrasepsi kombinasi vaginal ring juga memiliki
keamanan dan latar farmakokinetik dan memiliki efek yang hampir sama pada
ovarium jika dibandingkan dengan kontrasepsi oral pada wanita yang sehat.8
IUD
X. KEHAMILAN SELANJUTNYA
Pasien yang telah mengalami
kehamilan mola hidatidosa, maka akan memilki resiko besar untuk terkena pada
kehamilan selanjutnya. Kebanyakan pasien dengan riwayat mola sebelumnya dapat
kembali hamil normal, namun resiko untuk hamil mola dapat terjadi. Resiko pasti
terjadinya kehamilan mola pada kehamilan selanjutnya berkisar 1 % setelah 1
satu mola dan sekitar 15-18 % setelah dua mola. 16,18
TErjadinya peningkatan
faktor resiko setelah kehamilan mola, USG kehamilan direkomendasikan pada
trisemester pertama kehamolan pada kehamilan selanjutnya untuk mengkonfirmasi
kehamilan tersebut normal. Hal yang harus diperhatikan bahwa pasien telah
selesai menjalani test follow up kadar hCG dan dinyatakan normal. 16,18
-DAFTAR PUSTAKA
1. Prawirohardjo, S., Wiknjosastro, H. Penyakit serta Kelainan Plasenta dan Selaput Janin dalam Ilmu Kebidanan.
Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo.Jakarta : 2006. Hal. 339 - 348.
2. Prawiharjo,S, Wiknjosastro, H.. Mola
Hidatidosa. Ilmu Kandungan. Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo.Jakarta:
1999. Hal . 262-264
3.
MacDonald, P. et. all,. 23rd ed. Williams Obstetric.
U.S. : The McGraw-Hill Companies. 2005. P. 200 – 220.
4.
Fortner, Kimberly B., et.all,. 3rd edition John Hopkins of
Gynecology and Obstetric. U.S. : Lippincot William & Wilkins. 2007. p
536 – 546.
5.
Alan H. DeCherney., et. all. Current Diagnosis and Treatments in
Obstetric and Gynecology. U.S. : McGraw-Hill Companies. 2007. p 489 – 497.
6.
Guillebaud, John. Contraceptive
Today. U.K. : Informa Ltd. 2007. p. 11 – 20.
7.
Pramilla, Senanayake and Malcolm Potts. Atlas of Contraception 2nd ed..
U.K. : Informa Healthcare. 2008. p : 39 – 57.
8.
World Health Organization. Medical Eligibility Criteria for
Contraception Use 4th ed.. U.S. : WHO Library Cataloguing. 2010.
9. Moore,Lisa,MD,.
Hydatidiform Mole. [online] 2000 May [cited 22 July 22].
Available from URL : www.emedicine.com
10. Berkowitz RS, et. all. Oral
Contraceptives and Postmolar Trophoblastic Disease. [online] 1995 May [cited 22 July 22].
Available from URL : www.pubmed.com
11. Seckl, Michael J et all. Gestational Trophoblastic Disease. [online] 2003 September [cited
22 July 22]. Available from URL : www.medpedia. com
12. Morrow P. et. all. The Influence Of Oral Contraceptives On The Postmolar Human Chorionic
Gonadotropin Regression Curve. [online] 2000 April [cited 22 July 22].
Available from URL : www.pubmed.com
13. Berkowitz RS
et. all. Oral Contraceptives And Postmolar Trophoblastic Disease. [online] 2000 September [cited 22 July 22].
Available from URL : www.pubmed.com
14. Palmer, Julie et. all. Oral
Contraceptive Use and Risk of Gestational Trophoblastic Tumors. [online]
2000 February [cited 22 July 22]. Available from URL : www.pubmed.com
15. Berkowitz, Ross and Donald P
Goldstein. Cancer medicine 5th ed : Gestational Trophoblastic Disease. U.S.
: National Library of Medicine. 2000
16. Hammond, Charles. Gestational Trophoblastic Diseases. [online] 2008 August [cited 22
July 22]. Available from URL : www. glob. libr. women's med.com
17. Women's Health and
Education Center. Gestational Trophoblastic Disease: A Comprehensive Review.
[online] 2009 August [cited 22 July 22]. Available
from URL : www. whec.com
18. Berkowitz, Ross and Donald P
Goldstein. Molar Pregnancy.
[online] 2009 April [cited 22 July 22]. Available from URL : www.nejm.com
19. Snyman LC. Gestational
trophoblastic disease: An overview in SA Journal of Gynaecological Oncology. University of
Pretoria : U.K. 2009
Tidak ada komentar:
Posting Komentar