OBAT-OBAT
TERATOGENIK PADA KEHAMILAN
I. Pendahuluan
Kehamilan adalah masa di mana seorang
wanita membawa embrio atau fetus di dalam tubuhnya. Proses kehamilan di dahului
oleh proses pembuahan satu sel telur yang bersatu dengan sel spermatozoa dan hasilnya
akan terbentuk zigot. Zigot mulai membelah diri satu sel menjadi dua sel, dari
dua sel menjadi empat sel dan seterusnya. Pada hari ke empat zigot tersebut
menjadi segumpal sel yang sudah siap untuk menempel / nidasi pada lapisan dalam
rongga rahim (endometrium). Kehamilan dimulai sejak terjadinya proses nidasi
ini. Pada hari ketujuh gumpalan tersebut sudah tersusun menjadi lapisan sel
yang mengelilingi suatu ruangan yang berisi sekelompok sel di bagian dalamnya.1
Lamanya kehamilan mulai dari ovulasi sampai partus adalah kira-kira
280 hari (40 minggu) dan tidak lebih dari 300 hari (43 minggu). Kehamilan 40
minggu ini disebut kehamilan matur (cukupbulan). Bila kehamilan lebih dari 43
minggu disebut kehamilan postmatur. Kehamilan antara 28 dan 36
minggu disebut kehamilan prematur.Kehamilan yang
terakhir ini akan mempengaruhi viabilitas (kelangsungan hidup) bayi yang dilahirkan,
karena bayi terlalum udaakan mempunyai prognosis yang buruk.Ditinjau dari tuanya kehamilan,
kehamilan dibagi dalam 3 bagian, masing-masing 1) kehamil antriwulan pertama (antara
0 – 12 minggu), 2)kehamilan triwulan kedua (antara 12 sampai 28 minggu), dan 3)
kehamilan triwulan terakhir (antara 28 sampai 40 minggu).
Pemakaian obat pada
wanita hamil dapat menimbulkan masalah bukan saja akibat reaksi obat yang tidak
diharapkan pada ibu, akan tetapi fetus juga harus dipertimbangkan sebagai
target potensial. Tipe reaksi yang timbul pada fetus bergantung pada tahap
perkembangan pada saat pemaparan obat yang bersangkutan. Ada 4 tahap utama
gestasi pada manusia yaitu :2
1.
Preimplantasi yang berlangsung
12 hari sejak konsepsi sampai implantasi.
2. Organogenesis
selama hari ke-13 sampai ke-56 kehamilan.
3. Triwulan
kedua dan ketiga-perkembangan fungsional dan pertumbuhan nyata terjadi pada
gigi, sistem syaraf pusat, endokrin, genital dan sistem imun.
4.
Tahap kelahiran yang
relatif singkat yang mengakhiri kemungkinan pengaruh pemakaian obat ibu pada
fetus.
Teratogenik berasal
dari bahasa Yunani yang berarti menghasilkan monster, lebih tepat disebut
dismorfogenik. Obat dapat menimbulkan respon teratogen bila diberikan selama
periode organogenesis yang berlangsung dari hari ke-13 sampai hari ke-56 masa
kehamilan. Pemaparan lebih dini dapat memberikan efek embriosida (membunuh
embrio). Pemaparan fetus terhadap obat terjadi karena obat melewati jalur plasenta
ibu-fetus. Suatu bahan teratogen tunggal dapat menimbulkan berbagai malformasi
dan suatu malformasi tunggal dapat diinduksi oleh sejumlah teratogen. 2
II.
Definisi Teratologi
Teratogen adalah setiap
zat yang bekerja selama masa
perkembangan mudigah atau janin untuk menimbulkan perubahan bentuk atau fungsi
yang menetap. Teratologi adalah ilmu tentang semua kontribusi lingkungan
terhadap terjadinya kelainan perkembangan. Teratogen yang saat ini diketahui
antara lain adalah zat kimia, virus, agen lingkungan, faktor fisik dan obat.
Wanita sering mengkonsumsi obat sewaktu hamil. Dalam sebuah studi terhadap
hampir 900 pasien pranatal di Michigan, melaporkan bahwa setiap wanita rata-rata
menerima 3 resep untuk obat selain vitamin. Obat-obat yang sering digunakan
adalah antiemetik, antisid, antihistamin, analgesik, antimikroba,
antihipertensi, obat penenang, hipnotik dan diuretik. Cukup banyak wanita hamil
yang juga menyalahgunakan obat-obat terlarang selama kehamilan mereka. Sebuah
studi oleh Vega dkk. mendapatkan bahwa 5,2 persen dari 29.494 wanita yang
datang untuk melahirkan di 202 rumah sakit di California pernah menggunakan
satu atau lebih obat-obat terlarang, termasuk amfetamin, barbiturat,
benzodiazepin, kanabinoid, kokain, metadon, opiat, atau fensiklidin. Sebanyak
6,7 persen lainnya mengonsumsi alkohol, dan 8,8 persen merokok sebelum
melahirkan.3
Kata teratogen berasal
dari bahasa Yunani yaituteratos,
yang berarti monster. Karena penurunan kata ini mengisyaratkan adanya cacat
yang nyata, maka teratogen paling tepat didefinisikan sebagai suatu zat yang
menimbulkan kelainan struktural. Karena kelainan struktural saat lahir sering
langsung dikenali, keterkaitan hal tersebut dengan suatu zat tertentu sering
mudah diperkirakan. Namun, sebagian
kelainan kongenital belum muncul sampai beberapa waktu kemudian. Suatuhadegen
diambil dari kata hades, yang berartidewa
yang memiliki helm yang membuatnya tak terlihat sehingga zatinidapat
menggangu pematangan dan fungsi normal suatu organ. Trofogen adalah zat yang mengganggu pertumbuhan. Hadegen dan
trofogen umumnya mempengaruhi proses-proses yang terjadi setelah organogenesis
atau bahkan setelah lahir. Zat kimia atau pajanan fisik yang merupakan hadegen
atau trofogen jauh lebih sulit dibuktikan. Untuk penyederhanaan, sebagian besar
penulis menggunakan kata teratogen untuk menyebut jenis zat diatas.3
III.
Epidemiologi
Cacat lahir didefinisikan sebagai penyimpangan besar dari
morfologi atau fungsi normal yang bersifat kongenital. Cacat lahir sering
dijumpai, dan 3 persen dari semua anak yang lahir di Amerika Serikat mengalami
malformasi struktur mayor yang diketahui sejak lahir. Selain itu pada usia 1 tahun,
7 persen teridentifikasi memiliki gangguan perkembangan, dan angka ini
meningkat hingga 12 sampai 14 persen pada saat mereka masuk sekolah serta 17
persen sebelum usia 18 tahun. Kurang dari sepertiga pasien yang menjalani
konsultasi genetik atas indikasi cacat lahir menderita penyakit genetik primer.
Sebagian besar kelainan kongenital disebabkan oleh faktor-faktor non-herediter. Hanya
sekitar 10 persen malformasi yang diketahui sejak lahir disebabkan oleh
teratogen. Hanya sedikit dari yang terakhir ini yang teridentifikasi positif.3
IV.
Evaluasi Teratogen
Cacat lahir pada
seorang anak yang pada masa pranatal terpajan obat, zat kimia, atau bahan
lingkungan tertentu biasanya menimbulkan kecurigaan bahwa zat tersebut adalah
suatu teratogen. Sebelum dugaan tersebut dibuktikan, dan seperti diperlihatkan
di tabel 1 dan akan dijelaskan selanjutnya, ada sejumlah kriteria tertentu yang
harus dipenuhi.3
Tabel 1. Kriteria untuk Membuktikan
Teratogenisitas pada Manusia yaitu :3
1.
Terbukti adanya pajanan
suatu zat pada masa kritis perkembangan pranatal dari resep obat, rekam medis,
tanggal.
2. Temuan
yang konsisten berdasarkan dua atau lebih studi epidemiologis berkualitas
tinggi: pengendalian faktor-faktor perancu, jumlah memadai, eksklusi faktor
bias positif dan negatif, studi prospektif apabila mungkin, risiko relatif enam
atau lebih.
3. Penjelasan
klinis yang cermat mengenai kasus cacat atau sindrom spesifik, apabila ada
sangat membantu.
4. Pajanan
lingkungan yang jarang terjadi yang menyebabkan cacat yang juga jarang dijumpai.
Mungkin tiga atau lebih kasus, contoh: antikoagulan oral dan hipoplasia hidung,
metimazol dan cacat kulit kepala, serta blok jantung ibu.
5. Teratogenisitas
pada hewan percobaan penting tetapi tidak esensial.
6. Keterkaitan
harus masuk akal secara biologis.
7.
Pembuktian dalam suatu
sistem eksperimen bahwa zat bekerja pada keadaan yang tidak berubah. Informasi
yang penting untuk pencegahan.
Catatan:
Nomor 1, 2 dan 3 atau 1, 3 dan 4 adalah kriteria esensial.
Nomor 5, 6 dan 7 bermanfaat tetapi tidak esensial.
a.
Cacat harus dicirikan
secara Lengkap
Hal
ini sebaiknya dilakukan oleh ahli genetik atau ahli dismorfologi. Berbagai
faktor genetik dan lingkungan dapat sering menimbulkan kelainan yang sama.
Sebagai contoh, walaupun bibirsumbing dan langit-langit dikaitkan dengan
pajananhidantoin antenatal, terdapat juga lebih dari 300 kausa genetik lain.3
b.
Zat harus melewati
plasenta
Obat
atau bahan kimia harus melewati plasenta dalam jumlah memadai untuk secara
langsung mempengaruhi perkembangan janin, atau mengubah metabolisme ibu atau
plasenta dan menimbulkan efek tidak langsung pada janin. Penyaluran melalui
plasenta bergantung pada pengikatan protein dan penyimpanan metabolisme ibu,
ukuran molekul, muatan listrik dan kelarutan dalam lemak. Selain itu, jaringan
plasenta mengandung serangkaian enzim, termasuk sitokrom P-450, yang mungkin
memetabolisme zat yang menyerang, dan pada trimester pertama memiliki membran
yang relatif tebal sehingga memperlambat difusi.3
c. Pajanan
harus terjadi selama periode kritis perkembangan
Gestasi
dibagi menjadi periode-periode berikut:3
1.Periode
praimplantasi, 2 minggu sejak pembuahan sampai implantasi
2.Periode
mudigah, dari minggu kedua sampai kedelapan
3.Periode
janin, dari minggu sembilan sampai aterm
Sindrom-sindrom akibat pajanan obat
diberi nama yang sesuai, efek mayor yang terjadi dalam 8 minggu pertama
menyebabkan suatu embriopati, setelah usia gestasi 8 minggu, fetopati.3
Periode
praimplantasi juga disebut sebagai periode “tuntas atau gagal”. Zigot mengalami
pembelahan dari
sel-sel membelah menjadi massa sel dalam dan luar. Cedera yang merusak sejumlah
besar sel biasanya menyebabkan kematian mudigah. Apabila hanya beberapa sel
yang cedera, biasanya terjadi kompensasi sehingga perkembangan berlanjut secara
normal.3
Periode mudigah adalah yang paling
kritis dalam kaitannya dengan malformasi struktural karena pada masa ini
terjadi organogenesis. Gambar.1
memperlihatkan periode kritis perkembangan struktural untuk setiap organ.
Sebagai contoh, jantung mengalami perkembangan struktur yang pesat antara
minggu ke-3,5 sampai 6, dan sudah terbentuk lengkap pada minggu kedelapan. Obat
–obat yang menyebabkan malformasi jantung hanya menimbulkan efek apabila
dikonsumsi selama periode ini. Karena itu, apabila pada seorang wanita yang
mengkonsumsi suatu teratogen jantung didiagnosis hamil pada minggu ke-10,
penghentian obat tidak akan bermanfaat.3
Sepanjang periode janin, proses
pematangan yang penting untuk perkembangan fungsi berlanjut, tetapi janin tetap
rentan. Sebagai contoh, sepanjang kehamilan otak tetap rentan terhadap pengaruh
lingkungan, misalnya pajanan alkohol.3
d.
Sebab dan Akibat harus
Logis secara Biologis
Setelah
mempertimbangkan farmakologi obat serta metabolisme ibu dan janin, apakah zat
yang dicurigai secara biologis dapat menimbulkan kecacatan yang bersangkutan?
Karena baik cacat lahir maupun pajanan obat dan lingkungan adalah hal yang
sering terjadi, dapat saja suatu pajanan dan suatu cacat berkaitan secara
temporal tetapi tidak secara kausatif. Sebagai contoh, wanita hamil sering
mengutarakan kekhawatiran mengenai konsumsi makanan atau minuman yang
mengandung aspartam. Namun, aspartam dimetabolisme menjadi asam aspartat yang
tidak menembus plasenta.3
e. Studi
Epidemiologis harus Konsisten
Temuan
berulang kelainan khas yang berkaitan dengan kemungkinan pajanan lingkungan
seyogyanya menimbulkan kecurigaan. Kelainan-kelainan tersebut mencakup kematian
janin, hambatan pertumbuhan janin, kelainan struktural dan perubahan fungsi
neurologis. Evaluasi awal pajanan teratogen biasanya bersifat retrospektif, dan
kemungkinan besar mengalami kendala bias ingatan, pelaporan yang kurang memadai
dan penilaian populasi terpajan yang tidak lengkap. Hal ini semakin dipersulit
oleh adanya perbedaan dosis, pemberian obat lain dan penyakit-penyakit pada
ibu. Faktor keluarga dan lingkungan juga dapat mempengaruhi berkembangnya cacat
lahir. Dengan demikian, salah satu kriteria penting untuk membuktikan
teratogenisitas adalah bahwa dua studi epidemiologis atau lebih yang
berkualitas tinggi melaporkan temuan yang sama.3
f. Teratogen
yang dicuriga menyebabkan kecacatan pada hewan
Apabila
menyebabkan cacat lahir pada hewan percobaan, suatu teratogen yang dicurigai
mungkin membahayakan janin manusia. Semakin banyak spesies hewan yang mengalami
efek suatu obat, terutama apabila percobaan dilakukan juga pada hewan yang strukturnyamiripmanusia,maka semakin besar
kemungkinan obat tersebut berefek pada manusia. Namun, obat yang sedang dalam
pengembangan sering diujikan ke hewan pada dosis yang sama dengan dosis toksik
pada manusia, sehingga hasil pada janin sulit di interpretasi. Selain itu,
spesies hewan yang berbeda sering memberi respon yang berlainan terhadap obat
yang sama. Mengandalkan data hewan semata bukanlah suatu tindakan yang tepat.3
a)
Farmakokinetika1,4,5
Sebagian besar obat
yang digunakan oleh wanita hamil dapat menembus plasenta, sehingga embrio dan
janin dalam masa perkembangan terpapar terhadap efek farmakologis dan
teratogenik agen tersebut. Faktor-faktor kritis yang mempengaruhi transfer obat
menembus plasenta dan efek obat terhadap janin yaitu: 1) sifat fisikokimiawi,
2) kecepatan menembus plasenta dan jumlah yang mencapai janin, 3) durasi
paparan, 4) sifat distribusi pada jaringan janin yang berbeda, 5) tahap
perkembangan janin dan plasenta pada saat pemaparan, dan 6) efek obat yang
digunakan secara kombinasi. 1,4,5
1.Kelarutan lipid
Sebagaimana
halnya pada membran biologis lainnya, lintasan obat melalui plasenta tergantung
pada kelarutan dalam lipid dan tingkat ionisasi obat. Obat lipofilik cederung
menyebar dengan mudah menembus plasenta dan memasuki sirkulasi janin. Misalnya,
thiopental, suatu obat yang lazim digunakan untuk seksio cesarean, dapat segera
menembus plasenta dan dapat menyebabkan sedase atau apne pada bayi yang baru
lahir. Obat yang sangat mudah mengion seperti succinylcholine dan tubocurarine,
yang juga digunakan untuk seksio cesarean, menembus plasenta secara perlahan-lahan
dan mencapai konsentrasi yang sangat rendah pada janin. Impermeabilitas
plasenta terhadap senyawa polar lebih bersifat relatif dan tidak mutlak.
Apabila gradien konsentrasi ibu-janin yang dicapai cukup tinggi, maka senyawa
polar dapat menembus plasenta dalam jumlah yang dapat diukur. Salicylate, yang
hampir seluruhnya mengion pada ph fisiologis, menembus plasenta dengan cepat.
Hal ini terjadi karena sejumlah kecil salicylate yang tidak mengion sangat
larut dalam lipid. 1,4,5
2.Ukuran molekul
Berat molekul obat juga
mempengaruhi laju transfer dan jumlah obat yang ditransfer melalui plasenta.
Obat dengan berat molekul 250-500 dapat menembus plasenta dengan mudah,
tergantung pada kelarutannya dalam lipid serta derajat ionisasinya. Obat dengan
berat 500-1000 lebih sulit menembus plasenta, dan obat dengan berat molekul
lebih besar dari 1000 sangat sedikit dapat menembus plasenta. 1,4,5
3.Ikatan protein
Derajat
ikatan obat dengan protein plasma khususnya albumin, diduga juga mempengaruhi
kecepatan dan jumlah obat yang ditransfer. Walaupun demikian, jika suatu
senyawa memiliki kelarutan dalam lipid tinggi, senyawa tersebut tidak akan
banyak dipengaruhi oleh ikatan protein. 1,4,5
4.Metabolisme obat pada
plasenta dan janin
Terdapat
dua mekanisme yang membantu melindungi janin dari obat yang terdapat dalam
sirkulasi maternal 1) plasenta itu sendiri berperan sebagai suatu sawar
semipermeabel dan sebagai tempat metabolisme beberapa obat yang melaluinya.
Beberapa jenis reaksi oksidasi aromatis yang berbeda (misal, hidroksilasi,
N-dealklasi, demetilasi) telah terbukti terjadi dalam jaringan plasenta.
Penobarbital dioksidasi dengan cara ini. Sebaliknya, diduga kapasitas metabolik
plasenta dapat menyebabkan pembentukan metabolit yang bersifat toksik, sehingga
plasenta meningkatkan toksisitas (misalnya etanol, benzpyrene). 2) obat yang
telah menembus plasenta kemudian memasuki sirkulasi janin melalui vena
umbilikus. Kira-kira 40-60 % aliran darah vena umbilikus masuk ke hati janin, sedangkan
sisanya tanpa melalui hati dan memasuki sirkulasi umum janin. 1,4,5
b)
Farmakodinamika1,4,5
1.Kerja obat maternal
Efek
obat pada jaringan reproduksi (payudara, rahim dan sebagainya) pada wanita
hamil kadang–kadang diubah oleh lingkungan endokrin yang disesuaikan dengan
tahapan kehamilan. Efek obat pada jaringan maternal lainnya tidak berubah
secara bermakna karena terjadinya kehamilan, meskipun dalam konteks fisiologis
mungkin berubah dan memerlukan penggunaan obat yang tidak diperlukan oleh wanita
yang sama pada saat ia tidak hamil. 1,4,5
2.Kerja obat terapeutik
pada janin
Terapeutik janin
merupakan suatu bidang baru dalam farmakologi perinatal. Bidang ini meliputi
pemberian obat pada wanita hamil dengan janin sebagai target obat. Saat ini,
kortikosteroid digunakan untuk menstimulasi maturasi paru janin apabila diduga
akan terjadi kelahiran kurang bulan. 1,4,5
3.Kerja obat toksik
yang diprediksi dalam janin
Penggunaan opioid
secara kronis oleh ibu diduga menimbulkan ketergantungan pada janin dan bayi
yang baru lahir. Ketergantungan tersebut diduga menjadi nyata setelah kelahiran
sebagai suatu sindrom putus obat neonatus. Toksisitas obat yang kurang dipahami
dengan baik disebabkan oleh penggunaan penghambat enzim pengubah angiotensin
(ACE Inhibitor) selama kehamilan. Obat tersebut dapat menimbulkan kerusakan
ginjal yang bermakna dan ireversibel dalam janin, sehingga merupakan
kontraindikasi pada wanita hamil. Efek yang tidak diinginkan juga mungkin
tertunda atau muncul dalam waktu yang lebih lambat, seperti dalam kasus janin
perempuan yang terpapar diethylstilbestrol (DES), yang dapat meningkatkan
risiko terjadinya adenokarsinoma pada vagina setelah masa puber. 1,4,5
4.Kerja obat
teratogenik
Suatu paparan tunggal
intrauterin pada suatu obat dapat mempengaruhi struktur janin yang mengalami
perkembangan pesat pada saat paparan. Thalidomide adalah salah satu contoh obat
yang dapat sangat mempengaruhi perkembangan anggota badan hanya setelah
pemaparan singkat. Paparan tersebut harus terjadi pada periode kritis dalam
perkembangan anggota badan. Risiko phocomelia
karena thalidomide terjadi selama
minggu keempat sampai ketujuh masa kehamilan karena pada masa tersebut terjadi
perkembangan lengan dan kaki.
Mekanisme teratogenik.
Mekanisme dari berbagai obat untuk menimbulkan efek teratogenik masih sangat
kurang dipahami dan kemungkinan bersifat multifaktor. Misalnya obat dapat
memiliki efek langsung pada jaringan maternal dengan efek sekunder atau efek
tidak langsung pada jaringan janin. Obat dapat mengganggu penyaluran oksigen
atau zat makanan melaui plasenta sehingga menimbulkan efek pada jaringan janin
yang mengalami metabolisme dengan cepat. Pada akhirnya, obat dapat memiliki
efek langsung yang penting pada proses diferensiasi dalam jaringan yang sedang
berkembang. 1,4,5
Perumusan suatu
teratogen. Untuk dapat digolongkan dalam teratogen, suatu calon substansi atau
proses seyogianya (1) menimbulkan suatu tatanan malformasi yang khas,
menunjukkan suatu selektivitas untuk target organ tertentu, (2) muncul efek pada
suatu tahapan khusus dari perkembangan janin, yaitu selama waktu organogenesis
yang terbatas pada organ target dan (3) terbukti terdapat hubungan dengan
dosis. 1,4,5
VI.
Klasifikasi Food and Drug Administration
Sistem pengurutan yang dikembangkan untuk
memberikan petunjuk terapeutik berdasarkan kemungkinan manfaat dan risiko bagi
ibu dan janin diperlihatkan pada tabel 2. Namun, pengurutan ini mungkin
didasarkan pada laporan-laporan kasus atau data hewan yang terbatas, dan
pembaruan terhadap urutan
ini kadang-kadang berjalan lamban. The Teratology Society Public Affairs
Committee (1994) menganjurkan bahwa sistem pemeringkatan yang sekarang
ditinggalkan untuk digantikan dengan sistem pengurutan berbasis ilmiah yang saat ini sedang
dikembangkan.1,3,6,7,8
Tabel 2. Kategori obat berdasarkan
Food And Drug Administration1,3,6,7,8
1.Kategori A
Obat yang telah dipakai
oleh sejumlah wanita hamil dan wanita mampu hamil tanpa disertai kenaikan
frekuensi malformasi janin atau pengaruh buruk, baik secara langsung maupun
tidak langsung terhadap janin. Contoh obat yang masuk kategori ini misalnya
antipiretik parasetamol, antibiotika penisilin, isoniazid, glikosida jantung,
eritromisin , bahan-bahan hemopoetik seperti besi dan asam folat, dan
lain-lain.
2.Kategori B
Obat-obat dimana
pengalaman pemakaian oleh wanita hamil atau mampu hamil masih terbatas tetapi
tidak ada kenaikan frekuensi malformasi janin atau pengaruh buruk secara
langsung maupun tidak langsung terhadap janin. Karena riwayat pengalaman
pemakaian pada manusia terbatas, maka kelompok ini terbagi-bagi berdasarkan
penemuan-penemuan studi toksikologi pada binatang.
a.
B1: Penelitian pada
binatang tidak menunjukkan adanya kenaikan kejadian kerusakan janin (fetal
damage). Misalnya obat-obat simetidin, dipiridamol, spektinomisin.
b. B2
: Penelitian pada binatang tidak memadai dan masih kurang, tetapi data yang ada
juga tidak menunjukkan peningkatan kejadian kerusakan janin. Sebagai contoh
adalah amfoterisin, dopamine, asetil kistein, alkaloid beladona, dan lain-lain.
c. B3:
Penelitian pada binatang menunjukkan peningkatan kejadian kerusakan janin,
tetapi belum tentu bermakna pada manusia. Contoh karbamasepin, pirimetamin,
griseofulvin, trimetoprim, dan mebendazol.
3.Kategori C
Obat-obat yang karena
efek farmakologiknya dapat menyebabkan pengaruh buruk pada janin tanpa disertai
malformasi anatomik. Pengaruh
ini kemungkinan dapat membaik kembali (reversible). Misalnya fenotiazin,
analgetika narkotika, antiinflamasi non steroid, aspirin, rifampisin,
antiaritmia, Ca-channel blocker, diuretika dan lain-lain.
4.Kategori D
Obat-obat yang telah
menyebabkan kenaikan kejadian malformasi janin pada manusia atau menyebabkan
menyebabkan kerusakan pada janin yang tidak dapat membaik lagi (ireversibel).
Obat-obat ini juga mempunyai efek farmakologik yang merugikan terhadap janin .
Contoh : Fenitoin, pirimidon, fenobarbiton, valproat, klonasepam, kinine,
kaptopril, obat-obat sitotoksik, antikoagulan, androgen, dan steroid anabolik dan lain-lain.
Pemakaian pada kehamilan harus dihindari sedapat mungkin.
5.Kategori X
Obat-obat
yang telah terbukti mempunyai resiko tinggi untuk dipakai pada kehamilan karena
pengaruh yang menetap (ireversibel) terhadap janin. Kontraindikasi mutlak pada
kehamilan atau kemungkinan hamil. Termasuk disini misalnya isotretionin.
VII.
Mekanisme Genetik dan Fisiologis Teratogenisitas
Teratogen
kemungkinan bekerja dengan cara mengganggu proses-proses patogenetik spesifik
yang menyebabkan kematian sel, perubahan pertumbuhan jaringan, kelainan
diferensiasi sel, atau gangguan terhadap perkembangan normal. Mekanisme
bagaimana sebagian besar teratogen ini mengganggu proses-proses tersebut tidak
diketahui. Untuk beberapa zat, mekanisme yang diperkirakan diperoleh dari
pengamatan klinis dan riset pada hewan. Sebagian teratogen mengganggu satu atau
lebih proses diatas, dan kombinasi beberapa obat dapat saling menguatkan. Dua
mekanisme teratogenisitas yang sudah dipastikan adalah gangguan metabolisme
asam folat dan pembentukan zat antara oksidatif.3
a.
Gangguan metabolisme
asam folat
Beberapa
kelainan kongenital, termasuk defek tabung saraf, cacat jantung, serta bibir sumbingdan
langitan diperkirakan disebabkan oleh gangguan pada jalur metabolisme asam
folat. Asam folat adalah zat esensial untuk pembentukan metionin, yang
merupakan suatu kofaktor dalam sintesis RNA dan DNA, dan diperlukan untuk
metilasi protein, lemak dan mielin. Hidantoin, karbamazepin, asam valproat dan
fenobarbital semuanya mengganggu penyerapan folat atau bekerja sebagai
antagonis.3
b. Zat
antara oksidatif
Hidantoin,
karbamazepin, dan fenobarbital dimetabolisasi oleh mikrosom menjadi berbagai
epoksida dan oksida aren. Zat-zat antara oksidatif ini mengalami detoksifikasi
oleh epoksida hidrolase sitoplasma. Janin membentuk oksida-oksida aren dari
obat antikonvulsan, tetapi karena aktivitas epoksida hidrolase janin lemah
terjadi penimbunan zat-zat antara oksidatif di jaringan janin. Berbagai radikal
oksida bebas ini memiliki efek karsinogenik, mutagenik, dan toksik lainnya.
Efek-efek ini bergantung pada dosis dan meningkat pada terapi multi obat. Kerusakan
akibat zat-zat antara toksik mungkin sering terjadi pada pemberian teratogen
lain.3
c. Efek
penyakit ibu
Interaksi
penyakit ibu dan susunan genetik ibu dan janin akan menentukan beberapa efek
obat. Sebagai contoh, wanita pecandu alkohol sering mengalami kekurangan gizi
dan menyalahgunakan obat lain. Janin yang terpajan ke berbagai pengaruh yang
merugikan ini berisiko lebih tinggi mengalami malformasi dari pada mereka yang
terpajan alkohol.3
d. Komposisi
genetik janin
Mungkin
banyak kelainan yang sekarang digolongkan sebagai kelainan multifaktorial
disebabkan oleh interaksi lingkungan dan beberapa gen yang mengalami perubahan.
Sebagai contoh, janin yang terpajan hidantoin lebih besar kemungkinannya
mengalami kelainan apabila janin tersebut bersifat homozigot untuk suatu mutasi
gen yang menyebabkan rendahnya kadar epoksida hidrolase.3
e. Gen
sentral
Tempat
kerja obat sebagai bahan teratogenik dapat melalui gen sentral, yaitu pusat yang akan
mengatur dan mengendalikan pertumbuhan gen berikutnya, merupakan protein inti
yang bertindak sebagai pengatur dan pengontro turunan gen. Gangguan dari gen sentral dapat menyebabkan
pengendalian turunan gen berikutnya tidak terkontrol sehingga menyimpang dari
pertumbuhan normal dan menimbulkan gangguan fungsi.3,9
f. Pajanan
ayah
Terpajannya
ayah ke obat atau pengaruh lingkungan mungkin meningkatkan risiko kelainan pada
janin. Beberapa mekanisme diperkirakan berperan. Salah satunya adalah induksi
suatu mutasi gen atau kelainan kromosom di sperma. Karena proses pematangan
sel-sel germinativum menjadi spermatogonia fungsional memerlukan waktu 64 hari,
pajanan obat pada setiap saat selama 2 bulan sebelum konsepsi dapat menyebabkan
mutasi. Kemungkinan kedua adalah obat dicairan seminalis dapat terpajan kelanin saat koitus. Ketiga, sel
germinativum pria yang terpajan obat atau agen lingkungan dapat mengubah
cetakan genom atau menyebabkan perubahan lain pada ekspresi gen.3
VIII.
Obat-Obat Teratogenik1,3,4,7,9
Jumlah
obat atau pengobatan yang diduga kuat atau terbukti merupakan teratogen pada
manusia masih sedikit (tabel 3). Obat yang baru atau jarang digunakan harus
dianggap memiliki potensi teratogenik, dan hanya diberikan pada kehamilan
apabila manfaatnya melebihi semua risiko teoritis.
Tabel 3. Obat atau zat yang
dicurigai atau terbukti merupakan teratogen pada manausia.3
ACE Inhibitor Danazol
Alkohol Dietilstilbestrol
Aminopterin Etretinat
Androgen Litium
Busulfan Metimazol
Karbamazepin Metotreksat
Klorbifenil Penisilamin
Kumarin Fenitoin
Siklofosfamid Iodium
radioaktif
Tetrasiklin Asam
Valproat
Trimetadion
a)
Alkohol
Etil alkohol adalah
salah satu teratogen yang paling poten. Hampir 70 persen orang Amerika minum
alkohol dalam pergaulan. Selama kehamilan, pemakaian alkohol bervariasi sesuai
populasi, tetapi prevalensinya dilaporkan 1 sampai 2 persen. Efek
penyalahgunaan alkohol pada janin telah diketahui sejak tahun 1800-an, dan
akibat dari pajanan antenatal pertama kali dilaporkan disebuah jurnal
kedokteran pada tahun 1900. Lemoine dkk, melaporkan spektrum luas cacat janin
terkait alkohol yaitu dikenal sebagai sindrom alkohol janin. Gambaran sindrom
alkohol janin yaitu : hambatan pertumbuhan, gangguan perilaku, cacat otak,
cacat jantung, cacat spinal, filtrum tidak ada atau hipoplastik, bibir atas
lebar, batang hidung mendatar, batas merah bibir atas hipoplastik, mikrognatia,
mikroftalmia, hidung pendek, dan jaringan palpebra pendek. Di Amerika Serikat,
alkohol adalah salah satu kausa retardasi mental yang paling sering ditemukan.
Anak yang terkena biasanya mengalami hiperaktivitas dan iritabilitas persisten
pada tahun pertama.3,9
Dosis
pajanan. Dosis ambang yang aman untuk pemakaian alkohol selama kehamilan belum
pernah diketahui. Wanita yang berisiko paling tinggi memiliki anak yang cacat
adalah mereka yang secara kronis mengkonsumsi alkohol dalam jumlah besar dan
mereka melakukan pesta minuman keras.3,9
b)
Pengobatan
antikonvulsan
Telah
dipastikan bahwa wanita epilepsi memiliki peningkatan risiko mengalami
malformasi janin bahkan tanpa terpajan pengobatan antikonvulsan. Cacat yang
paling sering sering dilaporkan, tanpa memandang apakah ibu mendapat obat atau
tidak adalah sumbing orofasial dan penyakit jantung kongenital.3,9
Fenitoin.
Hanson dan Smith, merupakan penulis pertama yang melaporkan bahwa antikonvulsan
yang sering diresepkan ini menyebabkan cacat kraniofasialis, kelainan
ekstremitas, dan defisiensi mental. Hanson dkk memperkirakan bahwa 7 sampai 10
persen bayi yang terpajan cukup memperlihatkan gambaran sindrom hidantoin janin
yaitu kelainan kraniofasialis, sumbing bibir, batang hidung lebar,
hipertelorisme, lipatan epikantus, cacat ekstremitas, hipoplasia falang distal
kuku, defisiensi pertumbuhan dan defisiensi mental. Teratogenisitas sangat
dipengaruhi oleh susunan genetik janin, ketidakmampuan menghasilkan epoksida
hidrolase dalam kadar normal.3,9
Karbamazepin.
Antikonvulsan yang sering diresepkan ini selama bertahun-tahun dianggap merupakan obat pilihan pada
kehamilan. Namun, Jones dkk, kemudian melaporkan peningkatan bermakna tiga
malformasi minor atau lebih pada anak yang terpajan karbamazepin. Gambaran
sindrom karbamazepin yaitu: kelainan kraniofasialis, fisura palpebra miring
keatas, hidung pendek, lipat epikantus, cacat ekstremitas, hipoplasia falang
distal, kuku, defisiensi pertumbuhan, defisiensi mental.3,9
Trimetadion
dan Parametadion. Obat-obat ini kadang digunakan untuk mengobati epilepsi petit
mal. Karena potensi teratogenisitasnya yang tinggi, kedua obat ini dihindari.
3,9
Asam
valproat. Janin yang terpajan obat ini pada trimester pertama memiliki risiko 1
sampai 20 persen untuk mengalami spina bifida. Karena cacat ini hampir selalu
terletak didaerah lumbosacral, besar kemungkinan bahwa obat ini bekerja secara
langsung pada sebuah gen homebox yang mengendalikan perkembangan struktur
kaudal. Asam valproat juga dilaporkan menyebabkan beberapa kelainan wajah
minor.3,9
c)
Senyawa Warfarin
Obat–obat golongan ini
memiliki berat molekul rendah, mudah menembus plasenta, dan dapat menyebabkan
efek yang signifikan pada janin serta bersifat teratogenik. Hall dkk,
memperkirakan bahwa seperenam dari janin yang terpajan akan lahir cacat, dan
seperenam lainnya akan mengalami abortus atau lahir mati. Ginsberg dan Hirsh
mengkaji 186 studi yang mencakup 1325 kehamilan yang terpajan dan melaporkan
bahwa 9 persen dari janin yang terpajan mengalami deformitas atau kecacatan
permanen, dan 17 persen dari mereka meninggal.3,7,9
Cacat yang terjadi
apabila pajanan terjadi antara minggu keenam dan kesembilan, janin berisiko
mengalami embriopati warfarin yang ditandai hipoplasia hidung serta epifisis
femur dan vertebra yang berbintik-bintik. Selama trimester kedua dan ketiga,
menyebabkan disharmoni pertumbuhan dan pembentukan jaringan parut disejumlah
organ. Cacat dapat ektensif diregio tertentu dan mencakup displasia susunan
saraf pusat garis tengah dorsal misalnya agenesis korpus kallosum, malformasi
Dandy Walker, dan atrofi serebellum garis tengah, displasia garis tengah
ventral misalnya mikroftalmia, atrofi optikus, dan kebutaan, serta perlambatan
perkembangan dan retardasi mental. 3,7,9
d)
Inhibitor Enzim
Pengubah Angiotensin (ACE Inhibitor)
Banyak laporan yang
mengaitkan obat-obat anti hipertensi ini dengan cacat janin. Obat yang paling
sering dikaitkan adalah enalapril, walaupun kaptopril dan lisinopril
diperkirakan juga terlibat. Belum pernah dilaporkan adanya malformasi
struktural dari pajanan trimester pertama. Umumnya terjadi hambatan pertumbuhan
awitan lambat dan oligohidramnion, diikuti oleh anuri dan hipotensi neonatus yang berat dan berkepanjangan.
Konsekuensi paling berat adalah disgenesis tubulus ginjal, yang menyebabkan
oligohidramnion awitan dini, hipoplasia paru dan kontraktur ekstremitas serta
kematian perinatal. Hipokalvaria, hipoplasia tulang tengkorak membranosa diduga
kuat berkaitan dengan pajanan ACEI. Pemendekan ekstremitas relatif juga pernah
dilaporkan. 3,7,9
Semua kelainan ini
diperkirakan disebabkan oleh hipotensi dan hipoperfusi janin berkepanjangan
yang menyebabkan iskemia ginjal, disgenesis tubulus ginjal, dan kemudian anuri.
Oligohidramnion yang terjadi menghambat perkembangan normal paru dan
menyebabkan kontraktur ekstremitas. Penurunan perfusi juga menyebabkan hambatan
pertumbuhan. 3,7,9
Tidak semua janin
terkena, dan tidak tersedianya data epidemiologis menghambat penghitungan
risiko. Namun, bervariasinya respon janin mungkin disebabkan oleh variasi
genetik dalam gen ACE. Individu yang homozigot untuk delesi 50 bp dalam gen ini
memiliki aktivitas ACE serum yang tinggi, sementara mereka yang homozigot untuk
suatu inversi fragmen yang sama memperlihatkan
aktivitas yang rendah. Hubungan antara pajanan ACE dan gen ACE janin
belum dikaji. 3,7,9
e)
Retinoid
Golongan retinoid,
khususnya vitamin A, adalah zat esensial untuk pertumbuhan normal, deferensiasi
jaringan, reproduksi dan penglihatan. Retinoid dipercaya mengaktifkan empat
kelompok gen homebox selama embriogenesis. Defisiensi vitamin A adalah suatu
masalah kesehatan diseluruh dunia namun di Amerika Serikat hal ini jarang
dijumpai. 3,9
Vitamin A. Terdapat dua
bentuk vitamin A dialam. Beta karoten adalah prekursor provitamin A. Zat ini
ditemukan dalam buah dan sayur serta belum pernah dibuktikan menyebabkan cacat
lahir. Retinol adalah vitamin A bentuk jadi. Banyak makanan mengandung vitamin
A, tetapi hanya hati hewan yang dibesarkan di Eropa dan hati beruang kutub yang
mengandung dosis toksik. Belum jelas apakah vitamin A dosis tinggi bersifat
teratogenik. Penelitian prospektif paling besar mengevaluasi sebuah kohort yang
terdiri dari 423 wanita yang mengkonsumsi 10.000 sampai 30.000 IU vitamin A
setiap hari selama 9 minggu pertama dan yang mengontak salah satu dari 13
Europan Teratology Service. Hanya tiga
anak yang mengalami cacat lahir, dan tidak terdapat hubungan antara dosis
vitamin dan hasil. Kesimpulan mereka menunjang pandangan bahwa di negara-negara
maju tidak ada dasar ilmiah bahwa suplementasi vitamin A dan dosis yang lebih tinggi dari pada asuhan
harian harus dihindari (American College of Obstetrician and
Gynecologist,1995). 3,9
Isotretinoin. Beberapa
isomer memperlihatkan aktivitas biologis vitamin A, dan karena merangsang
diferensiasi sel epitel, zat-zat ini terutama digunakan untuk kelainan kulit.
Isotretinoin adalah asam 13-cis-retinoat dan sangat efektif mengobati akne
kistik. Obat ini juga dianggap sebagai salah satu teratogen paling poten jika
sering digunakan. Pajanan pada trimester pertama menyebabkan tingginya angka
kematian janin dan malformasi pada janin yang bertahan hidup dengan frekuensi
setara dengan yang dijumpai pada pemakaian talidomid. Kelainan yang pernah
dilaporkan hanya pada pemakaian trimester pertama. Rata-rata waktu paruh di
dalam serum adalah 12 jam, dan kelainan tidak meningkat pada wanita yang
menghentikan terapi sebelum konsepsi. Malformasi yang khas biasanya mengenai
kranium dan wajah, jantung, susunan saraf pusat, dan timus. Malformasi
kraniofasial yang paling berkaitan dengan isotretinoin adalah mikrotia atau
anotia bilateral tetapi sering asimetris yang sering disertai agenesis atau
stenosis kanalis aurikularis eksterna. Cacat lain mencakup gangguan
perkembangan tulang wajah dan tengkorak serta sumbing palatum. Cacat jantung
tersering adalah konotrunkal (batang arteri berbentuk kerucut), dan
hidrosefalus adalah cacat susunan saraf pusat tersering. Kelainan timus
mencakup aplasia, hipoplasia, atau malposisi. Tampaknya tidak terdapat dosis
atau periode pajanan trimester pertama yang aman. Insidensi tidak dipengaruhi
oleh lama pajanan, dan sepertiga wanita yang menggunakan obat ini selama kurang
dari satu minggu melahirkan anak yang cacat. 3,9
f)
Hormon
Struktur primordial
yang akan menjadi genitalia eksterna memiliki potensi ganda selama 9 minggu
pertama. Antara minggu ke-9 sampia 14, testis mengeluarkan androgen dan janin
laki-laki membentuk fenotipe perineum laki-laki. Karena ovarium tidak mengeluarkan
androgen, maka janin perempuan terus membentuk fenotipe perempuan yang lengkap
pada minggu 20. Pemajanan hormon seks eksogen sebelum 7 minggu penuh umumnya
tidak menimbulkan efek pada struktur eksternal. Namun, antara usia gestasi 7
dan 12 minggu jaringan genital perempuan sangat peka terhadap androgen eksogen
dan pemajanan dapat menyebabkan terjadinya maskulinisasi penuh. Jaringan terus
memperlihatkan respon sampai usia 20 minggu, dan sampai saat itu dapat terjadi
maskulinisasi parsial atau ketidakjelasan genitalia.3,9
Androgen. Salah satu
contoh efek pajanan dini androgen adalah hiperplasia adrenal kongenital resesif
otosom. Kelenjar adrenal janin biasanya mulai berfungsi pada gestasi 12 minggu,
tetapi karena defisiensi enzim tertentu, kelenjar tidak mampu menghidroksilasi
prekursor-prekursor kortisol. Terjadi penimbunan zat antara androgenik sehingga
genitalia eksterna perempuan mengalami maskulinisasi dan menghasilkan
pertumbuhan genitalia laki-laki yang abnormal. Pajanan androgen secara dini
juga dapat menyebabkan orientasi yang lebih maskulin disertai ketertarikan
homoseks yang lebih besar dan atau heteroseks yang melemah, serta meningkatnya
identitas jenis kelamin laki-laki. Terpajannya ibu ke androgen dapat memicu
terjadinya efek janin yang serupa, namun, berbeda dengan hiperplasia adrenal
kongenital, maskulinisasi tidak berlanjut setelah lahir.3,9
Testosteron dan steroid Anabolik. Pajanan
androgen pada wanita usia subur terutama terjadi akibat pemakaian steroid
anbolik oleh atlet yang ingin meningkatkan massa tubuh nonlemak dan kekuatan
otot. Obat paling efektif adalah testosteron sintetik, yang dikonsumsi dalam
dosis 10-40 kali lebih besar dari pada yang digunakan untuk terapi. Hal ini
menyebabkan virilisasi yang ekstrim dan ireversibel, disfungsi hati, serta
gangguan suasana hati dan libido pada wanita. Terpajannya janin perempuan
menyebabkan virilisasi dengan derajat bervariasi, termasuk fusi labiaskrotal
setelah pajanan trimester pertama dan pembesaran klitoris pada pajanan yang
terjadi lebih belakangan. Pematangan perempuan normal akan terjadi saat
pubertas, walaupun mungkin diperlukan koreksi bedah untuk cacat genitalnya.
3,9
Estrogen. Dari banyak
senyawa, sebagian besar zat estrogenik tidak mempengaruhi perkembangan janin.3,9
Dietilstilbestrol.
Sejak tahun 1940 sampai 1971, antara 2 sampai 10 juta wanita hamil mengkonsumsi
DES untuk menguatkan kehamilan risiko tinggi. Obat ini kemudian dibuktikan
tidak menghasilkan efek bermanfaat, dan pemakiannya untuk tujuan ini
ditinggalkan. Herbest dkk, kemudian menyajikan studi klasik mereka yang
memperlihatkan bahwa adenokarsinoma vagina terjadi antara usia 15 sampai 22
tahun pada delapan wanita yang terpajan pada masa pranatal. Pengamatan ini
kemudian dikonfirmasi. Selain itu, apabila dikonsumsi sebelum minggu ke-18,
obat ini mempengaruhi perkembangan normal struktur reproduksi perempuan dan
laki-laki. Karenanya, DES bersifat karsinogenik sekaligus teratogenik.3,9
g)
Obat Antineoplastik
Siklofosfamid. Zat
pengalkil ini menimbulkan kerusakan kimiawi pada jaringan janin yang sedang
berkembang, menyebabkan kematian sel dan perubahan DNA yang dapat diturunkan
pada se yang berthan hidup. Kelainan janin pernah dilaporkan terjadi setelah
pajanan selama awl kehamilan. Cacat yang paling sering dilaporkan adalah
hipoplasia jari tangan dan kaki. Cacat ini diperkirakan terjadi akibat nekrosis
tunas ekstermitas dan kerusakan DNA pada sel-sel yang bertahan hidup. Cacat
lain mencakup sumbing langitan, arteri koroner tunggal, anus imperforata, dan
hambatan pertumbuhan janin disertai mikrosefali. 3,9
h)
Antimikroba
Tetrasiklin. Obat
golongan ini, termasuk Doksisiklin dan minosiklin, dapat menyebabkan
diskolorasi kuning-coklat pada gigi susu atau mengendap di tulang-tulang
panjang janin. Tetrasiklin menyebabkan perlemakan hati akut pada wanita hamil
dengan insufisiensi ginjal. Salah satu pemakaiannya yang dapat diterima adalah
terapi sifilis maternal pada ibu yang alergi penisilin dan tidak dapat
menjalani desensitisasi karena tidak praktis.3,9
Aminoglikosida.
Pemberian kepada ibu hamil menyebabkan peningkatan bermakna kadar obat ini
dalam janin. Streptomisin menyebabkan kerusakan saraf kranialis VIII pada janin
apabila diberikan untuk jangka panjang. Risiko ototoksisitas pada pemberian
semua aminoglikosida adalah sekitar 1-2 persen.3,9
Sulfonamid.
Walaupun obat golongan ini mudah melewati plasenta, kadarnya didalam darah
janin lebih rendah dari pada kadar di ibu. Obat ini bersaing dengan bilirubin
memperebutkan tempat pengikatan dan dapat menyebabkan hiperbilirubinemia
apabila digunakan menjelang persalinan pada bayi prematur. Belum ada penelitian
yang mengkaji kemungkinan keterkaitan obat-obat sulfa dengan kelainan
kongenital. Trimetropim digunakan bersama dengan suatu sulfonamid, dan karena
merupakan antagonis folat, beberapa penulis menganjurkan agar pemberian obat
ini dilakukan dengan hati-hati, namun, kelainan kongenital tidak dilaporkan
meningkat.3,9
Griseofulvin.
Fungisida oral ini digunakan untuk mengobati infeksi jamur di kulit, kuku dan
kulit kepala. Terdapat satu laporan tentang kemungkinan keterkaitan dengan
kembar siam. Penelitian-penelitian pada hewan menunjukkan peningkatan kelainan
susunan saraf pusat dan tulang rangka.3,9
Ribavirin.
Obat antivirus ini diberikan melalui inhalasi aerosol untuk mengobati infeksi
virus sinsitium saluran nafas pada bayi dan anak. Wanita hamil mungkin terpajan
obat selagi bekerja di ruang perawatan anak intensif. Berdasarkan penelitian
pada hewan, obat ini memiliki potensi teratogenik yang bermakna. Obat ini
secara konsisten menyebabkan hidrosefalus dan kelainan ekstremitas pada model
hewan pengerat.3,9
i)
Talidomid
Ini adalah obat ansiolitik
dan sedatif yang tersohor sebagai teratogen manusia. Obat ini menyebabkan
malformasi pada sekitar 20 persen kehamilan yang terpajan, terutama terbatas
pada struktur-struktur yang berasal dari lapisan mesoderm seperi ekstremitas,
telinga, sistem kardiovaskuler, dan otot usus. Cacat tulang dapat berkisar dari
kelainan bentuk atau ukuran sampai tidak adanya secara total satu tulang atau
segmen ekstremitas.3,9
IX.
Kesimpulan
Selama pertumbuhan
embrio dalam rahim kepekaan terhadap bahaya lingkungan paling tinggi
dibandingkan dengan periode lain dalam siklus kehidupan dan dengan demikian
dapat menimbulkan kelainan bawaan, gangguan morfologis tetap waktu lahir atau
efek lain yang tidak diharapkan yang baru akan tampak pada kehidupan lebih
lanjut.2
Suatu obat bersifat
embriotoksik atau dismorfogenik bila berakumulasi pada embrio yang secara
genetik peka. Timbul serta beratnya kelainan bawaan bergantung pada banyak
faktor antara lain: sifat obat (poten, lemah atau non-teratogenik), kemampuan
obat mencapai embrio/fetus dalam bentuk bebas, perioda gestasi waktu obat
digunakan, dosis dan lama pemakaian obat, susunan genetik dan kepekaan fetus
yang sebaliknya juga bergantung pada usia, status nutrisi dan kesehatan ibu.2
Secara
umum semua obat yang masuk ke dalam sirkulasi ibu mungkin menembus plasenta
meskipun dalam jumlah yang berlainan, oleh karena itu sebaiknya dalam masa
kehamilan obat hanya digunakan apabila memang terbukti ada manfaat spesifik
bagi ibu maupun fetus.2
Tidak ada komentar:
Posting Komentar